Senin, 18 Juni 2012

Rasa Sayang itu Hari itu seorang rijal melintas di depan saya. Sosoknya mungil, sekitar 162 cm dengan berat badan yang mestinya perlu ditambah agar tampak berimbang. Wajahnya teduh, dengan sepasang mata tertutup lensa minus yang tertunduk. Jas lab putihnya sedikit melambai terkena angin Rumah Sakit Muwardi yang terkadang bandel. Hm, coass mungkin, begitu gumam saya. Tak ada yang istimewa dari sosok itu karena saya sama sekali tidak mengenalnya. Tampangnya memang lumayan jamil, tetapi saya sering bertemu dengan rijal yang relatif lebih jamil dari dia. Lagipula, apa sih arti tampang jamil jika batinnya ternyata penuh borok ? Ya, saya tidak mengenalnya. Namun entah mengapa, tiba-tiba ada desir aneh yang hinggap di hati saya, membuat saya sejenak menyingkir ke tepi, terengah dan mengutuki hati. Adakah saya sedang jatuh cinta ? Ow, tidak ! Saya yakin seratus persen, bahwa desir itu bukan sejenis bentuk “ naksir cowok “ alias falling in love. Bukan ! Tetapi sejenis perasaan apa ? Saya tiba-tiba merasakan sebuah firasat : sosok tawadhu yang melintas barusan adalah calon suami saya. Nah, error bukan ? Ketika saya beranjak masuk ke ruang tempat seorang perempuan dhu’afa binaan LSM kami (PPAP Seroja) dirawat karena melahirkan bayi kelimanya bersamaan dengan TBC yang diderita, bayangan rijal itu masih melintas, membuat saya semakin heran. Keyakinan bahwa dia adalah calon suami saya semakin menguat. Padahal saya sama sekali tidak mengenal, dan tidak pernah bertemu sebelumnya. Alhamdulillah, Allah memberikan kemurahan kasih-Nya kepada saya begitu melimpah, sehingga hati saya selama ini lumayan terjaga dari segala pernak pernik “merah jambu”. Namun sekarang ? Virus merah jambukah ? Allah, jika memang betul virus merah jambu, tolong selamatkan hati ini. Tetapi saya bersikeras : itu bukan virus merah jambu. ( Lantas apa dong ? Firasat kali yee ? ). Beberapa hari kemudian, pembimbing saya memanggil saya untuk menghadap. Tanpa prolog yang berbelit belit, ia memberikan sepucuk amplop berwarna coklat. Saya mahfum, Lajnah Munakahat DPD Partai Keadilan Sejahtera Surakarta kembali memfasilitasi seorang ikhwan yang bermaksud mengajukan proposal nikah. Saya mencoba tersenyum tenang, meski dada ini berdebar debar. Saya buka biodata perlahan. Ahmad Supriyanto, nama ikhwan itu. Saya memejamkan mata, mencoba mengorek memori, adakah disana file sosok bernama Ahmad Supriyanto ? Ternyata tidak ada. Nama itu sama sekali baru bagi saya. Akhirnya saya meraih foto yang menyertai, dan lutut saya mendadak terasa lemas. Rijal yang melintas di rumah sakit itu. Sebuah firasatkah ? Untuk sebuah peristiwa besar, bukan sebuah hal yang aneah jika firasat diberikan kepada para seorang muslim. Dan nikah adalah sebuah peristiwa besar. Janji yang terucap adalah sebuah mitsaqon gholidho…. Ia adalah separuh dien. Saya pun bersujud, tersuruk di depan Allah. Seandainya berjodoh dengannya adalah sebuah kebaikan untuk diri ini, untuk keluarga, untuk ummat, dan yang jelas : untuk kemenangan dakwah, maka mantapkan hati ini ya Allah. Tetapi saya belum mengenalnya. Biarlah ! Biar Allah yang kelak memberikan pengikat. Proses ta’aruf pun kami lalui dengan sangat singkat, sederhana. Hanya ada 2 pertanyaan yang sangat global dari dia, dan 3 pertanyaan prinsip dari saya. Selanjutnya, kami jarang sekali bertemu. Adik saya pernah bertanya kepada saya, “ apa mbak ada perasaan cinta sama calon suami mbak “ ? Saya tertawa pelan. Alhamdulillah saya ada dalam kondisi kepasrahan yang tinggi, Ramadhan semakin mendukung kepasrahan itu. Kecenderungan ? Ah, biasa aja tuh ! Saya bahkan pernah nyaris lupa bahwa saya sebentar lagi akan berubah status menjadi seorang istri. Jadi saya menikah tanpa cinta. Hanya prasangka baik, serta ketsiqohan, bahwa jika ia adalah jodoh yang terbaik untuk saya, maka cinta itu akan datang dengan sendirinya. Sampai sehari menjelang akad nikah, saya masih tenang tenang saja. Begitu juga pada saat hari H tiba. Bahkan jam 7 saya baru mandi, padahal akad nikah berlangsung jam 08.00 ( he..he, ini mah bolot ). Namun ketika sighot nikah dibacakan, saya ambruk dan luruh dalam tangis keharuan. Hanya dengan beberapa kecap kata, status saya sudah berubah. Subhanallah ! Saya pun resmi menjadi seorang istri. Menakjubkan ! Akhirnya hari hari yang sama sekali lain dengan hari yang biasa kulalui ( dan mungkin juga dia lalui ) membentang pada detak detak waktu kami. Surprise, tanpa sadar perasaan rahmah menghinggapi kami, membuat semacam ikatan tersendiri. Puncaknya adalah “ I love you “ dalam versi kami yang jelas jauh dari hentakan “ love “ gaya ABG. Irama kasih kami begitu perlahan, seperti aliran sungai kecil di pegunungan, pelan, namun terus menerus….. Kami percaya, itulah wujud dari barokah Allah, seperti yang didoakan oleh begitu banyak orang orang beriman. Proses itu sungguh menakjubkan. Apa yang kami alami adalah sebuah bukti kebenaran firman Allah : “ Dan diantara tanda tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnys pada yang demikian itu terdapat tanda tanda bagi kaum yang berpikir. “ ( Ar Ruum : 21 ) Jadi kecenderungan, rasa tentram serta kasih sayang akan diberikan sebagai hadiah Allah kepada sepasang pengantin yang meniatkan pernikahan itu sebagai upaya penggenapan separuh dien. Hadiah itu akan diberikan setelah pernikahan itu berlangsung. ( Ingat, bukan sebelum pernikahan, apalagi dengan mekanisme pacaran ). Jadi jangan khawatir, jika kita memang telah dimantapkan Allah untuk menerima calon pasangan hidup kita lewat istikharah kita, maka cinta itu akan datang setelah ayah kita mengucapkan : “ Yaa fulan, ankahtuka fulanah bintii bimahrihaa….haalan, “ dan dibalas dengan ucapan : “ qobiltu “ oleh lelaki yang kemudian menjadi suami kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar