Rabu, 10 Agustus 2011

ISTRI YANG IDEAL

Kancah wanita adalah rumahnya. Dia bisa membuat rumahnya sebagai syurga dan tempat berteduh, atau merubahnya menjadi neraka yang membara.
Menerima kepemimpinan laki-laki dan ta'at
Istri yang ideal adalah istri yang menghormati kehidupan suami istri, bisa mengukur tingkah laku dan memiliki kesadaran utnuk menegakkan rumah tangga islami, tidak bodoh dan tidak terperdaya. Kebersamaanya dengan seorang laki-laki bukan karena dorongan hewani yang bisa berahir karena merasa bosan.
Hubungannya dengan suami tidak bisa diikat oleh kemaslahatan yang semu dan palsu. Suami adalah jalan yang bisa menghantarkan wanita ke surga, jika dia melaksanakan kewajibannya dengan jalan yang diridhoi Allah. Dari ummu salamah r.a., dia berkata,
"rasulullah saw. bersabda , siapapun wanita yang meninggal, sedang suaminya ridha kepadanya, maka dia masuk surga." (HR Ibnu Majah, At Tirmidzi dan Al Hakim)
Pahala karena jiwanya yang luhur dan perhatiaannya yang tinggi tidak hanya terbatas di dunia saja, tetapi terbawa hingga kesurga yang abadi. Dia mengabaikan segala kenikmatan semu yang dapat menghalanginya dari ridha Allah, yaitu menaati suami. Dia sadar bahwa ketaatannya adalah sarana utntuk menundukkannya dan sekali-kali tidak akan membuatnya marah, seperti apapun keadaanya. Dari abu hurairah r.a. dia berkata,
"rasulullah saw, bersabda, jika seorang laki-laki mengajak istrinya ketempat tidurnya, lalu dia tidak mau mendatanginya, lalu suami menjadi marah kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi hari" (HR Bukhory, Muslim, Abu Daud dan An Nasa'I)
Dalam menghadapi kehidupan suami istri, istri selalu siap mengemban beban rumah tangga dan tidak perlu lagi untuk diingatkan akan tugas yang mesti dilakukannya. Dia tahu peran dan misinya di tengah keluarga. Dia memandang konsisten, bagaimana tidak, sedang melakukan kewajiban dengan menaati suami, lebih kuat dari pada melaksanakan amal yang hukumnya sunnah. Sebagaimana hadist dari abu hurairah
"tidak dihalalkan bagi wanita untuk berpuasa, sedang suaminya ada disisinya kecuali dengan izinnya, dan dia tidak diizinkan memasukkan (laki-laki lain) kedalam rumahnya kecuali dengan izinnya, dan apa yang dia keluarkan dari suatu nafkah tanpa perintahnya, maka setengah pahalanya kembali kepada suaminya"
(HR Bukhory dan Muslim)
Didalam hadist ini terkandung pengertian bahwa hak suami adalah lebih kuat dari pada ibadah istri yang hukumnya sunnah. Sebab hak suami adalah wajib, sedangkan pelaksanan yang wajib harus didahulukan dari pada yang sunnah wajib dan hak istri adalah sunnah. Siapapun wanita yang tidak mentaati suaminya, maka dia akan menderita, maka istri harus mentaati suaminya dalam perkara-perkara yang mubah (diperbolehkan) dalam syari'at.

Jumat, 05 Agustus 2011

AUTISM


BAB I
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Seorang anak berlari-lari dengan riangnya kesana kemari. Dengan wajah ceria ia bolak-balik mematikan kenop lampu yang ada di ruangan rumahnya. Teriakan dan larangan ibunya sama sekali tidak dihiraukannya, seakan-akan ia tidak mendengar suara panik sang ibu yang takut terjadi sesuatu pada anaknya. Beberapa menit kemudian ketika “jingle” sebuah iklan muncul di TV, tiba-tiba ia menghentikan kegiatannya dan berlari kearah TV serta mendengarkan dengan seksama “jingle iklan“ tersebut. Sesaat iklan tersebut berakhir, ia kembali berlari-lari dengan tangan yang berkali-kali dihentakkan ke bawah disertai kata-kata atau suara yang hanya ia sendiri dapat mengerti.”Gejala-gejala seperti ilustrasi diatas belakangan banyak terjadi pada anak usia 2-4 tahun. Autis adalah salah satu dari kesekian gangguan perkembangan yang prevalensinya semakin meningkat belakangan ini. dari 1 : 5000 anak pada tahun 1943 saat Leo Kanner memperkenalkan istilah autisme menjadi 1 : 100 ditahun 2001 (Nakita, 2002).

2. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini di maksudkan untuk:
a. Menjelaskan Pengertian Autisme
b. Menjelaskan Gejala – Gejala Yang Tampak Pada Autisme
c. Menjelaskan Tahap Perkembangan Motorik Halus
d. Menjelaskan Motorik Halus
e. Memberitahukan Cara Pemecahan Masalah
f. Memberitahukan Tahapan Menggambar
g. Memberitahukan Tahapan Melaksanakan Tugas
h. Memberitahukan Tahapan Menyusun Kubus
i. Memberitahukan Tahapan Makan
j. Menjelaskan Tahapan Berpakaian
k. Memberitahukan Tahap Perkembangan Bahasa
l. Memberitahukan Tahap – tahap Ekspresif
m. Menjelaskan Kriteria Diagnostik
n. Menjelaskan Penyebab Autisme
o. Menjelaskan Gangguan Yang menyertai Autisme
p. Menjelaskan Penggolongan Autisme
q. Menjelaskan Penanganan Autisme
r. Memberitahukan Terapi yang Terpadu
BAB II
TINJAUAN TEORI

1 PENGERTIAN AUTISME
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. Dulu anak-anak yang mengalami gangguan ini telah dideskripsikan dalam berbagai istilah seperti chilhood schizophrenia (Bleuer), Margareth Mahler (1952) menyebutnya dengan symbiotic psychotic children dengan gejala-gejala tidak dapat mengembangkan self-object differentiation. Belakangan istilah psikosis cenderung dihilangkan dan dalam Diagnostic and Statistical Maunal of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV) Autisme digolongkan sebagai gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental dis-orders), secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan bahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.
Autisme atau autisme infantil (Early Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang psikiatris Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner (untuk membedakan dengan sidrom Asperger atau autis Asperger). Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
2 GEJALA-GEJALA YANG TAMPAK
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Chris Williams dan Barry Wright (2007) mengemukakan beberapa simptom autistik yang mungkin sudah muncul diusia 18 bulan, seperti: tidak melakukan kontak mata, tidak merespon segera jika dipanggil nama, tampak berada “didunianya sendiri”, mengalami hambatan perkembangan bahasanya, kehilangan kemampuan berbahasa, tidak menggunakan bahasa tubuh, tidak memahami sikap tubuh orang lain, tidak bermain pura-pura, lebih tertarik pada bagian-bagian permainan, gerakan-gerakan tidak umum (ex. Jalan jinjit). Mengingat di Indonesia belum ada suatu alat tes yang baku untuk mengetahui gangguan pada anak, maka untuk tujuan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan perkembangan anak dengan indikator perkembangan yang normal.
3 TAHAP PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS
a. Fiksasi pandangan : Lahir
b. Mengikuti benda melalui garis tengah : 2 bulan
c. Mengetahui adanya benda kecil : 5 bulan
4 MOTORIK HALUS
a. Telapak tangan terbuka : 3 bulan
b. Menyatukan kedua tangan : 4 bulan
c. Memindahkan benda antara kedua tangan : bulan
d. Meraih unilateral : 6 bulan
e. Pincer grasp imatur : 9 bulan
f. Pincer grasp matur dengan jari : 11 bulan
g. Melepaskan benda dengan sengaja : 12 bulan
5 PEMECAHAN MASALAH
a. Memeriksa benda : 7 – 8 bulan
b. Melemparkan benda : 9 bulan
c. Membuka penutup mainan : 10 bulan
d. Meletakkan kubus dibawah gelas : 11 bulan
6 MENGGAMBAR
a. Mencoret : 12 bulan
b. Meniru membuat garis : 15 bulan
c. Membuat garis spontan : 18 bulan
d. Membuat garis horizontal & vertikal : 25 -27 bulan
e. Meniru membuat lingkaran : 30 bulan
f. Membuat lingkaran spontan tanpa
g. Melihat contoh : 3 tahun
7. MELAKSANAKAN TUGAS
a. Memasukkan biji kedalam botol : 12 bulan
b. Melepaskan biji dengan meniru : 14 bulan
c. Melepaskan biji spontan : 16 bulan
8. MENYUSUN KUBUS
a. Menyusun 2 kubus : 15 bulan
b. Menyusun 3 kubus : 16 bulan
c. Kereta api dengan 4 kubus : 2 bulan
d. Kereta api dengan cerobong asap : 2. Tahun
e. Jembatan 3 kubus : 3 tahun
f. Pintu gerbang dari 5 kubus : 4 tahun
g. Tangga dan dinding dari beberapa kubus
h. Tanpa melihat contoh : 6 tahun
9. MAKAN
a. Makan biskuit yang dipegang : 9 bulan
b. Minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok : 12 bulan
10. BERPAKAIAN
a. Membuka baju sendiri : 24 Bulan
b. Memakai baju : 36 bulan
c. Membuka kancing : 36 bulan
d. Memasang kancing : 48 bulan
e. Mengikat tali sepatu : 60 bulan
11. TAHAP PERKEMBANGAN BAHASA
a. Bereaksi terhadap suara : Lahir
b. Tersenyum social : 5 minggu
c. Orientasi terhadap suara : 4 bulan
d. Mengerti perintah tidak boleh : 8 bulan
e. Mengerti perintah tanpa mimic : 14 bulan
f. Menunjuk 5 bagian tubuh yang disebutkan : 8 bulan
g. Menoleh kepada suara bel : Fase 1, 5 bln, Fase 2, 7 bln, Fase 3, 9 bln
h. Mengerti perintah ditambah mimic : 11 bulan
12. EKSPRESIF
a. Ooo-ooo : 6 minggu
b. Guu, guuu : 3 bulan
c. a-guuu, a-guuu : 4 bulan
d. Mengoceh : 4-6 bulan
e. Dadadada (menggumam) : 6 bulan
f. Da-da tanpa arti, Ma-ma tanpa arti : 8 bulan
g. Dada : 10 bulan
h. Mama & kata pertama selain mama : 11 bulanKata kedua : 12 bulanKata ketiga : 13 bulan
i. 4 – 6 kata : 15 bulan
j. 7 – 20 kata : 17 bulan
k. Kalimat pendek 2 kata : 21 bulan
l. 50 kata & kalimat terdiri dari 3 kata : 3 tahun
m. Kalimat terdiri dari 4 -5 kata, bercerita,
n. menanyakan arti suatu kata,
o. menghitung sampai 20 : 4 tahun
Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, yaitu:
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa dimengerti maknanya, dstnya.
Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata,
tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dstnya.
Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton .Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dll yang dibawanya kemana-mana.
Gangguan pada bidang perasaan atau emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi; kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dsbnya.
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semuanya pada setiap anak autisme, tergantung dari berat-ringannya gangguan yang diderita anak.
13. KRITERIA DIAGNOSTIK
Autistik (Autistic Disorder) berbeda dengan gangguan Rett (Rett’s Disorder), gangguan disintegatif masa anak (Childhood Disintegrative Disorder) dan gangguan Asperger (Asperger’s Disorder).
Secara detail, menurut DSM IV, kriteria gangguan autistik adalah sebagai berikut:
a. Harus ada total 6 gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
1) Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalamsedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini:
a) Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
b) Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c) Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
d) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2) Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini:
a) Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
b) Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c) Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang.
d) Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
3) Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini:
a) Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan intensitas yang abnormal atau berlebihan.
b) Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
c) Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.
d) Sikap tertarik yang sangat kuat atau preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek.
b. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif.
c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak.
14. PENYEBAB AUTISME
Sampai dengan saat ini belum ada ketentuan yang pasti tentang penyebab gangguan autism ini, ada beberapa anggapan sebagai berikut:
a. Teori Psikoanalitik (efrigerator mother).
Autism disebabkan pengasuhan ibu yang tidak hangat (Bruno Bettelheim).
b. Teori berpandangn kognitif (Theory of Mind)
Autis disebabkan ketidak mampuan membaca pikirn orang lain “mindblindness” (Baron-Ohen, Alan Leslie).
Autisme sebagai gejala neurologis.
c. Teori Biologi
Autis disebabkan oleh Faktor genetik
d. Teori Imunologi
Autis disebabkan oleh infeksi virus.
15. BEBERAPA GANGGUAN YANG MENYERTAI AUTISME
a. Gangguan tidur dan makan.
b. Gangguan afek dan mood.
c. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.
d. Gangguan kejang (10 – 25 %).
e. Kondisi fisik yang khas (anak autis 2 -7 tahun lebih pendek dibanding anak seusianya).
16. PENGGOLONGAN AUTISME
a. Autism (autisme masa anak-anak).
b. Autisme atipikal atau pervasive develompmental disorder-not Otherwise Specified
c. High Functioning Autism
d. Low Functioning Autism
17. PENANGANAN AUTISME
Autisme adalah gangguan yang tidak bisa disembuhkan (not curable), namun bisa diterapi (treatable). Maksudnya kelainan yang terjadi pada otak tidak bisa diperbaiki namun gejala-gejala yang ada dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya bisa berbaur dengan anakanak lain secara normal. (Wenar, 1994)
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.
Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
Bicara dan bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur
Hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda-beda. Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai
Prognosis yang lebih baik.
Terapi yang intensif dan terpadu.
18. TERAPI YANG TERPADU
Penanganan atau intervensi terapi pada penyandang autisme harus dilakukan dengan intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4-8 jam sehari. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasidengan anak. Penanganan penyandang autisme memerlukan kerjasama tim yangterpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara lain psikiater, psikologneurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik. Beberapa terapi yang harus dijalankan antara lain:
a. Terapi medikamentosa
b. Terapi psikologis
c. Terapi wicara
d. Fisioterapi

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Chris Williams dan Barry Wright (2007) mengemukakan beberapa simptom autistik yang mungkin sudah muncul diusia 18 bulan, seperti: tidak melakukan kontak mata, tidak merespon segera jika dipanggil nama, tampak berada “didunianya sendiri”, mengalami hambatan perkembangan bahasanya, kehilangan kemampuan berbahasa, tidak menggunakan bahasa tubuh, tidak memahami sikap tubuh orang lain, tidak bermain pura-pura, lebih tertarik pada bagian-bagian permainan. Autistik (Autistic Disorder) berbeda dengan gangguan Rett (Rett’s Disorder), gangguan disintegatif masa anak (Childhood Disintegrative Disorder) dan gangguan Asperger (Asperger’s Disorder).
Secara detail, menurut DSM IV, kriteria gangguan autistik adalah sebagai berikut:
b. Harus ada total 6 gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
1) Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalamsedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini:
a) Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
b) Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c) Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
2) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini:
a) Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
b) Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c) Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang.
d) Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya

2. Saran
Dengan mengetahui pengertian Autisme kita bisa mengetahui dengan jelas Tentang Autisme.Sehingga pengetahuan yang kita miliki bisa di manfaatkan dengan bijak.
Sekali lagi dengan senang hati,kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Safira Triantoro. 2005. Autisme: Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna Bagi Orang Tua, Jakarta:Garaha Ilmu.

Attwood Tony. 2005. Sindrom Asperger. Jakarta:Serambi.

William Chris & Barry Wright. 2004. How to Live With Autism and Asperger Syndrome. Jakarta:Dian Rakyat.

Hadis Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung:Alfabeta.

Maulana Mirza. 2007. Anak Autis. Yogyakarta:Kata Hati.

Yayasan Autisma Indonesia. 1998. Pelatihan Tata Laksana Perilaku Pada Penyandang Autisme Masa Kanak. Jakarta.

Simposium Sehari. 1997. Gangguan Perkembangan Pada Anak. Jakarta:Yayasan Autisma Indonesia.

Kaplan Harold & Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri jilid-2. Jakarta: Binarupa Aksara.

Budiman Melly. 1998. Makalah Simposium. Pentingnya Diagnosis Dini dan Penatalaksanaan Terpadu pada Autisme. Surabaya.

Gulo Dali. 1982. Kamus Psikologi. Bandung:Tonis.

Yusuf Elvi Andriani. 2007. Materi Perkuliahan Fakultas Psikologi. Autisme Masa Kanak. Sumatera.

Tracy Vail dan Denise Freeman. 2006. Makalah. Verbal Behaviour Training Manual. The Mariposa School for Autistic Children, North Carolina.

Ginanjar Adriana S. 2007. Disertasi. Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik. Jakarta:Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Rabu, 03 Agustus 2011

Bersahabat Selamanya


eramuslim - Sewaktu masih kanak-kanak, setiap selesai shalat shubuh berjamaah di masjid, aku dan saudara-saudaraku sering melakukan jalan-jalan pagi. Hanya di waktu pagilah udara di kota Jakarta masih bisa dikatakan bersih, karena belum banyak kendaraan yang lalu lalang, dan matahari bahkan belum memperlihatkan cahayanya serta debu-debupun belum banyak beterbangan. Di sebuah kantor polisi kecamatan kecil yang berada di tikungan perempatan patung Pancoran, aku selalu memperlambat langkahku karena daerah itu adalah daerah yang aku sukai. Kenapa? Karena di situ, di sepanjang pagar kantor polisi itu ditanam berjajar pohon kemuning. Setiap pagi, wangi bunga kemuning dari jajaran rumpun pepohonan itu menyapa ramah hidung dan menambah perasaan damai. Lupa dengan jajaran gedung bertingkat yang ada di sekitarnya, atau jajaran warung kaki lima yang masih tampak tertutup dengan sangat tidak rapih, aku selalu membayangkan sedang berjalan di taman bunga. Hmm… Subhanallah, wangi sekali. Menerbitkan sebuah cita-cita kanak-kanak, bahwa kelak jika sudah menikah dan punya rumah sendiri, aku akan menanam rumpun pohon kemuning di sepanjang pagar rumahku.

Sekarang, ketika aku sudah memiliki keluarga sendiri, juga rumah sendiri. Setiap pagi sebelum berangkat ke masjid untuk shalat shubuh, aku selalu memuaskan hidungku untuk menghirup wangi kemuning yang rumpun pohonnya aku tanam di halaman rumahku yang mungil. Yup, alhamdulillah mimpi kanak-kanakku telah terwujud. Ada serumpun pohon kemuning di halaman depan rumahku. Setelah puas menghirup wangi bunganya yang seperti wangi sedap malam hanya lebih halus sedikit, berdua dengan suamiku kami bergegas menuju masjid saban shubuh.
***
Masjid di dekat rumahku itu jaraknya lumayan jauh sebenarnya. Tapi jarak jauh itu tidak terasa jauh karena aku dan suamiku sangat menikmatinya berdua sebagai waktu khusus untuk berkomunikasi lebih akrab di banding waktu yang lain, lepas dari masalah kerutinan pekerjaan kantor atau rumah tangga, lepas dari masalah hubungan dengan rekan kerja atau tetangga atau keluarga bahkan anak-anak sekalipun. Tidak harus dengan untaian kata-kata, karena komunikasi tidak selamanya berbentuk untaian kalimat. Itu sebabnya perjalanan jauh menuju masjid favorit itu sangat kami nikmati. Masjidnya sendiri, adalah masjid sederhana yang tidak terlalu besar. Biasanya, anggota jamaah yang melakukan shalat shubuh di masjid tersebut selalu bisa dihitung dengan jari, karena yang datang memang orangnya itu-itu saja setiap pagi, termasuk di dalamnya empat orang kakek yang bersahabat akrab.
Sejak dua tahun yang lalu, ketika aku pertama kali datang untuk shalat di masjid itu setelah aku tiba di Indonesia dan kembali menetap di negeri ini, aku selalu kagum pada persahabatan keempat kakek-kakek tersebut. Mereka bertemu dalam suasana mesra dan bersenda gurau dengan akrab. Kadang, secara bergantian mereka saling memperhatikan bacaan tilawah temannya, atau diskusi dengan suara pelan sambil membuka buku agama yang terlihat sudah usang dan mulai berwarna tanah. Tapi kadang mereka hanya duduk berkumpul dalam diam mendengarkan suara qori yang mengalun dari radio dan dipancarkan lewat pengeras suara masjid sambil menunggu adzan shubuh bergema. Kebersamaan dan pertemuan itu rasanya sudah memiliki arti yang sangat spesial bagi mereka, bahkan jika pertemuan yang terjadi itu tidak menghasilkan percakapan yang bermutu sekalipun karena semuanya larut dalam diam, tetap saja pertemuan keempat sahabat itu berarti bagi mereka. Karena dengan adanya kesempatan bertemu masing-masing tahu bahwa semuanya masih dikaruniai nikmat sehat dan hidup sampai hari pertemuan itu.
Dua tahun berlalu sudah hari ini. Kini, keempat sahabat itu hanya tersisa dua orang. Dua orang rekan mereka telah mendahului rekan lainnya pergi menghadap sang Khalik. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kakek itu tinggal berdua kini. Berdua mereka saling membantu karena usia tua telah mencabut beberapa kenikmatan yang dimiliki oleh mereka yang berusia muda. Jalan yang tidak lagi gagah, punggung yang membungkuk, lutut yang gemetar menahan berat tubuh, telinga yang tidak lagi bisa mendengar dengan jelas serta mata yang mulai tidak awas. Meski semua kenikmatan usia muda sudah semakin berkurang mereka miliki, keduanya tampak tetap saling membantu satu sama lain (atau bahkan kian akrab dan mesra?). Aku sering terharu melihat keakraban dan kemesraan kedua orang kakek yang kini tinggal bersahabat berdua.
***
Pagi ini, setelah hampir sebulan lamanya aku tidak pernah datang ke masjid itu karena masalah kesehatan yang terganggu, aku datang lagi dan mendapati kakek tua itu tampak seorang diri. Sendiri termenung mendengarkan kaset murattal yang diperdengarkan melalui pengeras masjid. Dari seorang nenek yang ada di sampingku, aku mendapat kabar bahwa sahabat terakhirnya telah meninggal dua minggu yang lalu. Aku sedih membayangkan perasaan kehilangan kakek itu. Tentu sangat menyedihkan kehilangan sahabat yang kita sayangi. Setelah merasakan kedekatan bertahun lamanya bersama, berbagi suka dan duka bersama, melihat kepergian orang yang kita cintai adalah sesuatu yang sangat berat terasa di dada dan sangat menyedihkan perasaan. Tanpa sadar aku menatap kakek yang duduk menyendiri di sudut masjid seorang diri itu hingga sebuah sentuhan halus dan hangat terasa menyentuh pergelangan tanganku.
“Senang sekali bertemu denganmu lagi.” Seorang nenek tampak dengan cepat mengucapkan kalimat pendek padaku sebelum dia konsentrasi melakukan wiridnya. Barulah setelah dengan wiridnya, ketika hikmah kehidupan singkat dibicarakan oleh ustad masjid, si nenek menghampiri aku sekali lagi. Aku sedang bersiap-siap untuk segera pulang. Kali inipun, dia memegang pergelangan tanganku erat sekali setelah aku menyalaminya untuk pamit pulang.
“Nak? Kemana saja selama sebulan ini tidak terlihat?” Suara tuanya tampak terdengar bergetar di telingaku, tapi sangat sarat dengan perasaan hangat dan akrab.
“Sakit bu, jadi saya shalat di rumah.” Aku menjawabnya sambil tersenyum dan mulai bersiap untuk berdiri tapi si nenek tampak enggan melepas pergelangan tanganku.
“Sehat selalu yah Nak, demi Allah, ibu menyayangi kamu karena Allah dan selalu senang jika kita bisa bertemu lagi.“ Dug. Hatiku langsung tercekat mendengar untaian kalimatnya. Perasaan haru terasa mulai menyirami rongga dadaku. Tidak sekalipun aku ingat pada nenek tua ini, bahkan mungkin selama ini aku tidak pernah memperhatikan kehadirannya di dekatku, tapi ternyata dia menyayangiku dengan sangat tulus. Padahal kami tidak pernah kenal sebelumnya bahkan kami memang tidak pernah bercakap-cakap sebelumnya selain ucapan saling memberi salam dan melempar senyum saja. Hmm, diam-diam aku mulai merasakan hangatnya suasana persahabatan diantara kami. Cepat kuhapus air mata haru yang ingin meloncat keluar (malu ah, ketahuan cengengnya). Kujabat erat tangan nenek tua itu sebelum aku benar-benar beranjak berdiri untuk pulang. Kali ini, rasanya aku yang enggan kehilangan genggaman hangat tangannya di pergelangan tanganku.
“Terima kasih yah bu atas perhatiannya. Semoga Allah membalas ketulusan ibu. Semoga Allah melimpahi ibu dengan rahmatNya selalu. Saya pamit yah.” Si nenek mengangguk dengan pandangan sayang padaku. Aku tersenyum padanya dan dia masih tetap memandangku.
“Assalamu’alaikum...” Akhirnya sebelum benar-benar berlalu, kudaratkan sebuah kecupan sayang di pipi tuanya dan segera berlalu karena melihat bola matanya yang mulai berkaca-kaca. Suamiku sudah menunggu di halaman masjid dan aku tidak ingin membiarkannya berteman seorang diri dengan angin shubuh yang dingin Sebelum benar-benar meninggalkan masjid, kulirik kakek tua yang sebelum shalat shubuh tadi tampak menyendiri di sudut masjid. Dia kini ditemani oleh teman baru yang sama tuanya dan seorang pemuda yang tampak sangat menghormati mereka dengan semangat untuk belajar ilmu agama yang kental yang memancar dari wajahnya yang bening. Aku tersenyum.
Sungguh. Nikmat persahabatan mereka kini bisa ikut kurasakan. Subhanallah begitu nikmat kehangatan dan kemesraannya. Kueratkan rengkuhan tanganku di lengan suamiku. Dia sahabat sekaligus kekasih hatiku. Semoga kami selalu dinaungi nikmat persahabatan islamiyah selamanya. Aamiin.
Ade Anita
Jangan Ambil Kembali Nikmat-Mu
Publikasi: 26/02/2004 12:57 WIB
eramuslim - Hah! Aku memekik seraya membuang selimut. Kupastikan jam yang terpampang di dinding. Lemes. Pukul lima lewat tiga puluh lima menit, segera kuambil hp lalu kutekan nomor telepon tempatku, baito.
Begitu kudengar suara dari seberang telpon, segera saja aku minta maaf dan mengatakan akan datang terlambat. Tanpa ba bi bu lagi, kuputar kran air di wastafel, lalu gosok gigi dan mencuci muka. Kusisir rambut sekenanya lalu kuambil kunci sepeda dan melesatlah dengan kecepatan tinggi. Terkadang lampu merah pun kuterobos saja, bagiku hanyalah segera sampai di tempat kerja tanpa terlambat lebih lama. Keseringan begini lama-lama bisa dikubi nih.
Hal seperti ini, bukan yang pertama bagiku. Apalagi sewaktu di tanah air. Hanya bedanya kalau di tanah air, hampir semua temanku juga begitu. Jadinya, terlambat pun masih bisa dimaklum. Di negeri ini, orang sangat menghargai waktu. Kalau kita terlambat tidak ada alasan yang bisa kita kemukakan. Gak ada alasan jalanan macet lah, bis nya datang terlambat lah atau nani nani toka. Orang sini akan bilang iiwake yah cuma alasan kita doang.
Saat saya duduk menghadap layar komputer, tanpa sengaja mata saya tertumbuk pada satu tulisan di jadwal solat. Solatlah, sebelum engkau di solatkan. Saya tercenung beberapa jenak. Teringat solat-solat saya yang sering tidak tepat waktu. Apalagi solat subuh, banyak sekali alasannya untuk segera bangun padahal alarm di hp melengking-lengking. Dan bunyi mail masuk dari milis KEMIS, sebuah kelompok pengajian di Sizuoka, cukup memekakan telinga. Kubuka, seperti biasa isinya. Solat yuk...Ajakan untuk tahajjud. Tapi dahsyatnya, kenapa setelah dibaca mata ini semakin mengantuk. kembali kutarik selimut dan kurapikan agar tak ada bagian dari badanku yang kedinginan apalagi di musim dingin seperti ini.
"Sebentar deh, masih ada waktu kan? Daripada kecepetan bangun entar subuhnya kebablasan," gumamku sendiri. Akhirnya tertidur dan begitu mata terbuka, matahari telah bersinar dengan secerah-cerahnya seakan ia tersenyum meledekku. Tentu saja segera kuambil air wudlu dan solat.
Tapi sepertinya aku tak pernah jera dengan kondisi ini. Tidak seperti ketakutanku saat terlambat datang ke tempat kerja. Maka dengan wajah memohon aku meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangnya lagi. Dan biasanya, janjiku bisa kubuktikan. Hari-hari berikutnya, aku selalu datang sepuluh menit sebelumnya ke tempat kerja. Tapi untuk urusan solat yang sering tak tepat waktu bahkan di luar waktu, jarang sekali aku menyesalinya. Bahkan untuk bertobat dan jera untuk mengulanginya pun, rasanya jarang sekali kulakukan. Aku faham sekali hal ini salah. Mungkin solat bagiku bukan suatu kebutuhan, yah sekedar gugur kewajibanlah. Dikerjakan, yah beres.
Apakah memang aku sudah kebal dengan kebaikan hingga sulit untuk berubah atau Alloh sudah mendiamkanku hingga terus berlarut-larut hingga kutemukan sendiri kealpaanku selama ini? Tanpa terasa air mata menitik di kedua pipiku. Ya Alloh, jangan tinggalkan hamba-Mu ini. Jangan Engkau tarik kembali kenikmatan yang penah Engkau beri. Sungguh hamba bertobat. Tak akan ku sia-siakan lagi waktu untuk bermasyuk denganMu. Ampuni hamba-Mu ya Karim..
ilmafathia@yahoo.com
Cinta Pertamaku di Kampus Putih Biru
Publikasi: 08/03/2004 12:54 WIB
eramuslim - Syam, ketika tapakku menjejak kampus lima setengah tahun lalu, engkaulah cinta pertamaku. Awalnya fisikmulah yang menyeretku dalam pesona. Sosokmu yang kokoh dan penuh kesejukan, membuatku nyaman seketika. Wujudmu yang gagah dan sarat kehangatan, melambungkanku dalam tentram. Aku.. jatuh cinta pada pandangan pertama.
Awal perjumpaan kita, ku lihat anak-anak yang belajar mengaji di sekelilingmu, aku tergerak untuk turut berbagi ilmu. Tapi.. aku malu, ilmuku masih sedikit.
Lalu kau yakinkan aku, bahwa kau terbuka untuk siapa pun, termasuk aku yang masih bodoh ini. Aku selalu menikmati sore hari mengajar TPA bersama kehadiranmu. Melihat binar mata mereka, membuatku merasa berarti. Terima kasih Syam, kau beri aku kesempatan.
Dan aku begitu terharu, begitu tersentuh, waktu ku tahu proses panjang keberadaanmu di kampusku. Penuh perjuangan!

Aku juga begitu salut pada para seniorku. Dengan tekad kuat serta semangat kerja dan do'a, mereka mengusahakan kehadiranmu di kegersangan Bandung Selatan. Tidak mudah memang, namun kebersamaan dan kerinduan akan sosokmu memberi kekuatan untuk terus bergerak. Aku treyuh melihat foto-foto persiapan menyongsongmu. Semua bekerja, semua berdo'a, dan semua berusaha. Aku jadi malu. Ternyata aku belum berbuat apa-apa. Aku tidak ingin menyiakan perjuangan mereka, dan aku pun tak hendak menyiakan keberadaanmu. Aku akan berjuang bersamamu ! Membumikan Islam di diriku, di kampus ini dan di dunia.
Tapi Syam, waktu itu aku masih mahasiswa baru yang malu-malu. Rasanya tak pantas aku beraktifitas di sekelilingmu, yang terasa suci itu. Namun kau dan wajah-wajah teduh disekitarmu menguatkanku, bahwa kau menerima siapa pun, termasuk aku yang masih kotor ini. Dan bahwa yang lebih penting adalah keinginan serta usaha untuk selalu memperbaiki diri. Maka dari dirimulah, kumulakan perbaikan itu. Terima kasih Syam, kau terima aku dengan segala kekuranganku.
Selanjutnya hari-hari indah kulalui denganmu. Aktifitasku bersamamu lebih mengenalkanku pada Tuhanku, agamaku, dan bahkan diriku sendiri. Syam, aku bersyukur dipertemukan denganmu. Allah telah mengatur semua ini. Wajar bila aku selalu merindukanmu.
Sejak pertemuan kita, aku seakan bermetamofosis, dari ulat bulu menjijikan, menjelma kupu indah menawan (ups, aku belum layak menjadi kupu indah menawan, aku hanya berusaha untuk menjadi itu).
Hampir lima setengah tahun metamorfosis itu berlangsung, dan kini aku tersentak, tersadar bahwa sebentar lagi aku harus melanjutkan metamorfosis itu di tempat lain, dan mungkin tidak denganmu lagi.
Syam, hari-hari terakhir keberadaanku di kampus, semakin mengentalkan aura rindu di jiwaku. Aku enggan berjarak darimu, maka izinkan aku membawamu selalu dalam hatiku. Sehingga dimana pun dan kapan pun, tak pernah pupus ingatan akan cinta pertamaku di kampus putih biru, SYAMSUL 'ULUM.. masjid kampusku..
mujahidah@myquran.com
Allah, Indah Nian TeguranMu (Catatan Dakwah Aktivis LDK)
Publikasi: 06/03/2004 16:01 WIB
eramuslim - Astaghfirullah! Mataku memanas, seluruh persendian tubuhku terasa lemas. Segera kututup satu demi satu situs internet yang ketelusuri dari tadi. Buru-buru kurapikan disket dan kertas-kertasku, lalu menuju kasir warnet. Ah, Allah … kuatkan hambaMu. Di komputer sebelah kasir, selintas kulihat bayangannya. Allah … Bantu hamba.
Air mataku mulai menetes, saat langkahku kuayun meninggalkan warnet. Aku bingung, harus kemana melangkahkan kaki. Ke wartel … tidak, aku tidak sedang ingin curhat pada siapa pun saat ini. Pergi rapat … tidak, demi Allah, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun saat-saat seperti ini. Kuputuskan untuk pulang, aku ingin menghadap Allah memohon ampunanNya. Air mataku terus mengalir di sepanjang perjalanan. Tak kupedulikan tatapan heran orang-orang di bus kota. Aku malu … Allah, ampuni aku.
Ku basuh anggota wudhu’, lalu kubuka mushaf Al-quran. Peristiwa tadi membayang kembali. Curhat dengan seorang ikhwan lewat chatting..
Sejenak aku tertegun, curhat? Kuingat lagi kalimat-kalimat yang kutulis tadi. Ya Allah … kenapa aku sampai lalai? Astaghfirullah, tanpa sadar aku telah membuka peluang bagi setan untuk ‘meracuni’ hati ini.
Sebulan belakangan, amanahku memang menumpuk. Seringkali aku sampai di rumah lebih jam delapan malam, setelah seharian di luar. Itu pun masih harus bergadang sampai jam 12 atau jam 1 malam. Qiyamul-lail pun sering berlalu begitu saja, hampir tak berbekas. Qiroah quran sekedar mengejar target. Terasa Allah jauh dari hati. Sampai hari itu … sejak pagi kondisi kesehatanku sudah kurang baik, aku tidak makan sejak malam. Beban pikiran pun menumpuk karena banyak anggota yang tidak melaksanakan amanahnya. Sorenya ada janji chatting.
* * *
Selesai membaca beberapa halaman Al-quran, kutemui seorang ukhti untuk minta taushiyah. Cukup lama rasanya aku tak pernah mendapat taushiyah dari akhwat.
“Di satu sisi, ukhti layak mengintrospeksi diri, kenapa ini bisa terjadi? Jawaban paling mungkin adalah hati ukhti sedang jauh dari Allah, dan mungkin ikhwan tersebut juga sedang dalam kondisi yang sama. Ana lihat, ibadah ukhti menurun belakangan ini, dan kondisi seperti ini memang sangat rentan. Ana tahu, beban ukhti sekarang sangat berat, dan ukhti tak punya teman berbagi, tak punya senior tempat menumpahkan keluh kesah. Ana juga minta maaf karena kesibukan selama ini, tidak bisa banyak membantu. Tapi di sisi lain, ukhti masih harus bersyukur. Antuma masih dijaga Allah dari dosa yang lebih jauh. Antuma masih diberikan Allah ‘kepekaan spiritual’ untuk bisa melihat kemaksiatan, hingga antuma segera tersadar.
Sekarang, banyak ikhwan dan akhwat yang terjerumus dalam pergaulan tidak Islami. Rapat berdua, makan di cafe satu meja, apalagi sekedar curhat-curhatan, itu sudah biasa bahkan sampai masalah pribadi. Naudzu billah, kalau kondisi ini menjadi penyebab jauhnya pertolongan Allah dari dakwah yang kita lakukan sekarang.
Sekarang tinggal bagaimana ukhti menata hati lagi. Ana yakin, ini adalah sebuah ‘hadiah’ indah dari Allah untuk anti, bahwa beban berat dakwah ini menuntut kesiapan yang lebih besar. Ana yakin, anti bisa menjaga hati, hanya saja kadang maksiat besar berawal dari hal-hal kecil seperti tadi. Makanya jangan sampai dianggap remeh. Sekali lagi, ana yakin, ukhti termasuk orang-orang pilihan Allah. Tegarlah ukhti, dan … JAGA HATI EKSTRA HATI-HATI. Ini yang pertama dan terakhir ya …;-)”.
Shalat maghrib kali ini terasa amat menentramkan. Dengan sepenuh raja’ dan khauf, kuhadapkan diri ini pada rabb semesta alam. Kurasakan kedamaian menjalar bersama aliran darahku. Allah … betapa luas rahmatMu, betapa Engkau telah menjagaku dari kubangan dosa. Terasa teguran Allah melantun indah. Seolah Allah menegurku untuk jeda sejenak, mengingat kebesaranNya. Tiadalah manfaat setumpuk amal, kalau niat tak ikhlas, dan caranya tak sesuai syariat. Amal dan maksiat selamanya tak kan pernah bisa berdampingan. Karenanya, para pelaku dakwah harus senantiasa ‘membasuh’ jiwanya, seiring perjalanan dakwah yang dilalui.
Spesial: buat ‘ukhti kecilku’, jaga hati ya dedek. Jangan biarkan noda-noda hitam mengotori hatiMu yang Allah jadikan suci. Biarkan dakwah membawamu dekat padaNya, bukan sebaliknya. Perjalananmu masih panjang. Kakak masih setia di sini, menjadi tumpahan gundahmu, setia menemani langkahmu menuju ridhoNya. (Thanks for inspiration). Teruntuk juga buat generasi penerus di kampus, ikhwan dan akhawat, jagalah kemurnian dakwah ini dengan akhlak Islami. Semoga Allah memudahkan jalan yang kita lalui.
syahidah01


Dua Puluh Satu Kali!
Publikasi: 01/03/2004 12:22 WIB
eramuslim - “Dua puluh satu kali, Mbak?” mataku membulat. Takjub. Aku merentangkan kesepuluh jari tangan sambil melihat ke bawah ke arah telapak kaki yang terbungkus sepatu. 21! Bahkan seluruh jemari tangan dan kakiku pun tak cukup buat menghitungnya. “Itu selama berapa tahun, Mbak?” Aku bertanya lebih lanjut.
“Hhmm, kurang lebih tujuh tahun terakhir!” sambutnya gi, ringan saja. Tak tampak pada raut wajahnya yang sudah mulai dihiasi kerut halus kesan malu, tertekan taupun stress. Wajah itu damai. Wajah itu tenang. Tak menyembunyikan luka apalagi derita.
“Mbak… ehmm, maaf, tidak patah arang… sekian kali gagal?” Takut takut aku kembali bertanya dengan nada irih. Khawatir menyinggung perasaannya. Dia hanya kembali tersenyum. Tapi kali ini lebih lebar. Sumringah. Dia mengibaskan tangan, sebagai jawaban bahwa dia tak trauma dengan masalah itu.
“Kalau sedih, kecewa, terluka… pasti pernah lah ada saat-saat seperti itu. Trauma…. sebenarnya pernah juga.
Nyaris putus asa juga pernah. Namun alhamdulillah tidak berlarut-larut.”
Mata itu berbinar-binar, seakan turut bicara.
“Justru, kini saya merasa lebih dewasa, lebih matang dengan semua kegagalan itu. Banyak sekali pelajaran yang bsia diambil dari tiap kegagalan itu. Saya menjadi lebih bisa mengerti berbagai karakter manusia. Saya dapat lebih menghayati realitas dan kuasa Allah atas hidup kita. Dan pasti jadi lebih banyak pengalaman… setidaknya pengalaman proses menuju nikah hingga 21 kali..hahaha,” dia tertawa lepas. Renyah. Manis sekali.
Perempuan itu, kini sudah 30 tahun lewat usianya. Sebuah usia yang tak lagi remaja memang. Sebuah usia yang sangat wajar dan pantas jika ia resah karena jodoh tak kunjung tiba. Namun ia tak nampak panik atau gelisah. Bisa jadi ia memang pandai menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Namun saya lebih percaya ketenangannya tumbuh karena kematangan dan keimanan.
Gadis ini dapat dikatakan sederhana. Dengan penampilan sederhana pula. Aktifitasnya pun bersahaja walaupun dulunya dia termasuk aktifis tingkat tinggi. Sehari-hari ia bekerja sebagai staf pengajar di sebuah lembaga pendidikan. Aktifitasnya yang lain adalah mengajar TPA, mengikuti pengajian rutin maupun berbagai pengajian umum yang banyak diselenggarakan oleh berbagai lembaga di berbagai lokasi di Jakarta.
Selebihnya ia lebih banyak di rumah. Membaca buku dan membantu mengurus pekerjaan rumah tangga karena Ibunya tidak memiliki pembantu. “Proses pertama saya jalani ketika saya baru menyelesaikan kuliah saya. 22 tahun usia saya ketika itu. Waktu itu tentu saja saya tidak sebersahaja sekarang.” Dia mulai bercerita. Saya menunggu.
"Saya masih ingat sekali. Waktu itu saya mengajukan berbagai kriteria. Saya ingin calon suami yang sarjana, pekerjaan mapan, aktifis dakwah atau minimal memiliki pemahaman agama yang bagus, dari keluarga baik-baik, dan sama-sama orang jawa seperti saya. Sebuah kriteria yang saya rasakan konyol sekarang, namun dulu saya pikir itu wajar. Muslimah mana yang tidak memiliki idealisme seperti itu?"
Ia melanjutkan ceritanya...
"Ada beberapa orang yang ditawarkan oleh guru ngaji maupun oleh orang tua. Ada juga yang datang sendiri. Tetapi semua saya tolak. Saya pikir waktu itu saya masih muda. Saya isa mengisi maa muda saya dengan berbagai aktifitas positif sambil terus menunggu seseorang yang mendekati kriteria yang saya inginkan. Maka saya pun mulai memperbanyak aktifitas. Mengambil banyak kursus, mengikuti bebagai pelatihan dan aktif di beberapa komunitas sosial kemasyarakatan."

"Usia saya menjelang 25 tahun ketika saya menemukan seseorang dengan kriteria seperti yang saya inginkan. Awalnya proses kami lancar-lancar saja. Orang tuanya bahkan sudah datang mengkhitbah ke rumah. Bahkan kita sudah akan menentukan tanggal pernikahan. Tapi oleh alasan yang sepele, tiba-tiba orang tuanya membatalkan khitbah. Sungguh saya shock waktu itu. Saya tak habis mengerti, apa yang salah dengan saya, dengan dia dan dengan proses kami?"
"Cukup lama saya tenggelam dalam kesedihan. Beberapa waktu kemudian sebenarnya banyak lagi yang mengajukan tawaran. Tapi saya selalu membandingkan dengan mantan calon suami saya. Saya menggunakan parameter dia untuk menilai setiap orang yang datang pada saya. Meskipun saya tidak pernah menolak lagi orang-orang yang datang kemudian itu, tapi entah mengapa proses selalu berakhir dengan kegagalan. Saya tak lagi menghitung, itu sudah yang keberapa kali. Akhirnya saya kembali menenggelamkan diri dalam aktifitas sosial dan organisasi. Saya aktif di partai. Dan saya sempat tak lagi memedulikan masalah menikah."
"Usia saya sudah lewat dua puluh tujuh. Justru orang-orang lain yang mulai ribut. Orang tua terutama. Kemudian kaum kerabat. Juga teman-teman saya. Merekalah yang kemudian menawarkan dan mencomblangi. Saat itu saya mulai belajar dari pengalaman. Saya tak lagi terlalu idealis. Saya menyerahkan saja kepada para perantara saya itu. Saat mereka meminta biodata, maka saya berikan biodata saya. Saya netral saja. Kalau diterima ya syukur, tidak diterima ya sudah. Dan ternyata nyaris semua tidak diterima. Alasannya macam-macam. Kebanyakan bahkan saya tak sampai ketemu mereka, sudah ditolak duluan. Saya sudah tak menghitung lagi berapa banyak biodata yang saya buat. Rata-rata tidak kembali."

"Usia saya sudah lewat dua puluh delapan tahun saat saya menyadari bahwa saya harus mulai proaktif. Saya tak lagi menyerahkan begitu saja pada nasib atau teman-teman. Saya harus mulai mencari sendiri juga. Tentu saja tetap dengan cara-cara yang ahsan."
"Pada usia ke-29 saya menemukan seseorang lagi. Dia sholeh. Sederhana. Jauh dari kriteria ideal saya, tapi saya merasa tenteram dengan menerimanya. Proses kami pun sederhana. Semuanya lancar. Tapi…Allah berkehendak lain. Calon saya meninggal dalam sebuah kecelakaan."
Sampai disini si Mbak menghentikan ceritanya sejenak. Mengambil napas panjang dan menyusut sudut mata. Aku turut terenyuh mendengarnya. Saat itu baru kulihat kabut selintas menghiasi wajahnya.
"...Semua sudah berlalu sekarang. Sudah nyaris dua tahun lalu. Saya mencoba bangkit lagi. Setahun terakhir, lima proses saya jalani. Menambah 16 proses sebelumnya yang tak semuanya saya ingat lagi. Lima proses itu saya jalani dengan lebih pasrah. Lebih lapang dada. Saya menghargai mereka masing-masing. Saya tidak membanding-bandingkan. Saya tak lagi menggebu, tak lagi sangat idealis…. tapi juga tak membuat saya membabi buta, menerima siapa saja seperti membeli kucing dalam karung."
"Satu orang gagal sebelum biodata saya sampai kepadanya. Dia sudah lebih dulu menerima orang lain. Orang kedua, pemuda yang biasa-biasa saja, tak mau menerima syarat saya untuk belajar ngaji pada teman saya sesama laki-laki. Dia memaksa belajar pada saya dan mendesak agar saya jadi pacarnya dulu. Orang ketiga, menolak karena orang tuanya tidak mau menerima orang yang tidak sesuku dan dia ingin menuruti kehendak orang tuanya. Orang keempat, teman saya sendiri, mengatakan kalau dia belum siap meski tidak menolak. Orang kelima berubah pikiran di tengah proses. Tadinya dia tidak mempermasalahkan usia saya yang lebih tua, tetapi kemudian dia mengatakan kepada perantara saya ingin mencari yang usianya lebih muda."
"Pengalaman-pengalaman yang saya jalani selama ini telah memberi banyak sekali pelajaran dalam hidup saya. Satu, bahwa hidup tak selalu berjalan seperti yang kita inginkan.
Dua, bahwa pengalaman adalah benar-benar guru yang sangat berharga. Tiga, bahwa setiap orang benar-benar memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan mereka semua layak untuk mendapat penghargaan sebagai seorang manusia. Empat, jika saya tak dapat memperoleh apa yang saya cintai, maka lebih baik saya mencintai apa yang saya telah saya peroleh dan memiliki. Lima, dan banyak lagi. Intinya, jika memang bukan jodoh, bahkan hal-hal kecil pun dapat menjadi penghalang dan penyebab gagalnya perjodohan."
"Kini saya merasa lebih pasrah dan arif menyikapi hidup. Tak ada yang salah, tak ada yang ribet. Hanya waktu yang belum tiba pada masanya. Hanya puzzle yang belum menemukan pasangannya. Semua masih biasa saja."
Si Mbak mengakhiri ceritanya. Tersenyum tulus kepadaku. Aku menyambutnya. Dan kami tenggelam dalam dekap haru. Pelukan persaudaraan.
Azimah Rahayu.
azi_75@yahoo.com
Dia Tampak Lebih Muda dari Usianya
Publikasi: 05/03/2004 11:39 WIB
eramuslim - “Kamu umurnya berapa sih?” Perempuan itu hanya menjawab dengan senyum. “Coba tebak, berapa hayo?” dia malah balik bertanya dengan ekspresi jenaka. “Hmm, kayaknya sih kelahiran tahun 80an deh?” Lagi-lagi dia hanya menjawab dengan senyum. Tarikan bibirnya makin rekah. Kepalanya menggeleng.
“Oh, salah ya? Lebih muda atau lebih tua dari itu?”
teman barunya masih penasaran. “Lebih tua.” Kali ini jawabnya mantap, penuh percaya diri.
“Pasti tahun 78-an lah, tak lebih,” si penanya menebak yakin.
Kembali si wanita muda tertawa. renyah, menampakkan gigi gerahamnya. “Saya lulus SMU tahun 1992. Bisa dikira-kira kan, berapa usia saya?”
“Oh, ya?” gadis muda yang menanyainya menaikkan alis.
Menatapnya dengan mata membulat. “Wah, tampang Mbak muda sekali! Mbak bahkan kelihatan lebih muda dibanding saya. Padahal saya angkatan tahun 98 lho”.
Mereke berdua tertawa bersama. Obrolan pun terus mengalir ringan antara dua teman seperjalanan, menyaingi deru kereta fajar utama jurusan Jogya-Jakarta.
Perempuan itu, panggil saja namanya Tia. Seorang wanita lajang, dengan kategori usia matang. Lahir di sebuah kota di Jawa Tengah padah tengah tahun 1974.
Bila kenalan barunya di perjalanan menyangka ia lahir di atas tahun 1980, itu bukanlah suatu hal yang diherankannya. Karena memang bukan yang pertama.
Banyak, banyak sekali sebelumnya yang menyangka demikian, hingga dia sudah terbiasa dan selalu hanya menanggapi dengan tawa.
Biasanya, seseorang tampak lebih muda dari usianya rena tubuh yang mungil atau wajah yang imut. Ditambah wajah cantik segar dan kulit terang bersih, kesan muda akan lebih nampak. Namun tidak demikian dengan Tia.
Sesungguhnya Tia tidaklah terlalu imut. Tampangnya biasa saja. Sederhana, seperti kebanyakan perempuan Jawa pada umunya. Kulitnya pun cenderung gelap. Lantas apa dong yang menyebabkan dia tampak sedemikian muda dibanding usianya? Gaya dan sikap hidup kesehariannya. Saya percaya itu jawaban pertamanya.
Tia adalah seorang aktifis dalam arti yang sesungguhnya. Dia memiliki seabreg kegiatan yang membuatnya senantiasa bergerak setiap hari. Dari mulai mengajar TPA, memberi kursus bahasa inggris, mengajar privat, mengisi kajian, menjadi panitia ini itu, bakti sosial dan lain-lain. Semuanya ia kerjakan dengan penuh semangat.
Tia juga seorang yang periang. Dia senantiasa tersenyum. Tertawa adalah salah satu hobinya. Tentu saja urat-uratnya menjadi rileks, dan membuat wajahnya menjadi lebih bercahaya. Bukankah kebahagiaan, keceriaan, ketulusan dan keramahan akan membuat seseorang tampak jauh lebih muda? Dan kepedihan, kemarahan, keputusasaan, kemurungan akan berakibat sebaliknya? Tia bilang dia berusaha untuk menghayati sikap-sikap itu. Positif thinking terhadap setiap orang lain dan setiap peristiwa katanya. Dia ramah kepada semua orang dan suka menolong. Tia dekat dengan anak-anak dan para ABG. Saat bersama mereka, ia pun bisa masuk dalam dunia mereka. Bisa ngemong, menjadi panutan, namun tak kehilangan jiwa kanak-kanak dan ABGnya. Mungkin itu juga menambah jiwa mudanya.
Tia juga memiliki kebiasaan yang membuatnya awet muda.
Ia tak pilih-pilih soal makanan. Tidak nyirik, orang jawa bilang. Ia bahkan gemar makan, namun tubuhnya tidak melar. Tinggi beratnya proporsional. “Saya membiasakan diri mengonsumsi makanan sehat. Saya tak pernah diet. Saya tidak menolak kue-kue. Bahkan es krim dan coklat adalah favorit saya. Tapi saya selalu mengimbangi dengan banyak makan sayur dan buah. Saya yang tadinya tidak suka sayur, kini hobi makan sayur baik yang dimasak maupun lalapan. Saya sangat suka uah dan minum jus. Kalau ini sudah kebiasaan sejak kecil. Saya cenderung menghindari fast food dan soft drink dan lebih memilih minum susu atau air putih”.
Pernah suatu hari ia berada dalam sebuah pelatihan dan makan siang bersama seorang instruktur dan koleganya. Sang instruktur berkomentar, ”kulitmu lebih gelap, tapi kamu lebih segar. Pasti kamu suka sayur. Dia kulitnya putih, tetapi terlihat kusam. Jarang makan sayur dan buah ya?” Tia dan temannya hanya tertawa mengiyakan.
Satu lagi kebiasaan Tia yang lain. Ia rajin senam. Minimal 2x seminggu masing-masing selama setengah jam. Bagi Tia, olahraga sudah menjadi kebutuhan, seperti halnya makan dan tidur. Tia berpendapat, olah raga yang cukup dan teratur akan membuat tubuh rileks, kuat serta tidak mudah terserang penyakit. Dan yang pasti, olah raga membuat tubuh bugar, kencang dan segar. Itu semua berarti awet muda, bukan? Tanya Tia retoris.
Dan satu analisa penutup saya atas tampang awet muda Tia. Ia gemar mengenakan busana-busana yang trendy,
khas anak muda masa kini, tetapi tetap syar’i. Pakaian favoritnya berbahan denim, saya tahu itu karena ia nyaris selalu mengenakannya dalam berbagai kesempatan tiap kali saya bertemu dengannya. Sebagai padananya, ia mengenakan blus dengan warna-warna terang dengan model yang sedang trend untuk anak muda, dilengkapi dengan kerudung senada. Tia sering memakai sepatu kets atau sepatu kanvas dan kemana-mana selalu menyandang tas punggung. Ditambah dengan gayanya yang lincah dan gesit, serta karakter periang dan suka tertawa, Tia lebih sering disangka sebagai mahasiswi bukan karyawati. Ia memang lebih layak berusia awal 20an, bukan akhir dua puluhan.
“Ah, itu hanya bagian dari upaya menikmati hidup,”
komentar Tia ringan menanggapi pertanyaan atas gayanya yang meremaja. “Saya khan masih lajang, nggak seru dong kalau saya berpakaian ala ibu-ibu,” Tuturnya embali sambil nyengir riang.
Kemudian dengan mimik sungguh-sungguh Tia bercerita.
Suatu hari ia membaca sebuah rubrik konsultasi psikologi di majalah wanita. Ada seorang gadis berusia tiga puluhan. Dia malu karena sering dipanggil ibu padahal belum menikah. Gadis itu juga mengeluhkan kondisinya yang belum juga mendapatkan jodoh di usianya yang telah matang. Pengasuh rubrik memberi saran kepada penanya agar merubah penampilannya dengan mengenakan busana yang benuansa lebih muda. Dia juga menyarankan agar gadis itu menikmati hidupnya, berpikir positif, memperluas pergaulan dan yak-banyak melakukan aktifitas yang bermanfaat bagi pribadi, keluarga dan masyarakat.
“Saya sangat sepakat saran dengan ibu pengasuh rubrik tanya jawab itu,” lanjut Tia menutup ceritanya. “Saya telah mencobanya, menikmati hasilnya dan ingin membaginya kepada para muslimah lainnya, khususnya mereka para lajang berusia matang.”
Dengan senang hati, kemudian Tia memberikan tipsnya. Pertama-tama, prinsip dasar yang mesti dipegang adalah pakaian itu harus sesuai dengan aturan syar’i, yaitu menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan,
tidak ketat, tidak tipis dan tidak menerawang serta erudung wajib diulurkan sampai dada. Kedua, mengenai corak dan warna baju, model pakaian dan gaya kerudung terserah selera kita. Ini hanya masalah budaya, bukan aturan syar’i. Mengenakan gamis atau two pieces, jilbab lebar atau kecil, polos atau bercorak tidak masalah selama masih wajar.
Ketiga, pilih motif, warna dan model yang cocok untuk k muda, seperti kotak-kotak, garis, atau corak strak dengan warna-warna kuat dan model yang sedikit funky atau elegan. Keempat, variasi cara mengenakan jilbab akan memberi sedikit sentuhan tambahan.
Kelima, sesuaikan dengan kepribadian dan aktifitas. “Gaya saya mungkin hanya cocok untuk orang-orang yang lincah, gesit dan banyak aktifitas seperti saya. Sedang mereka yang pendiam, berpembawaan tenang dan anggun tentunya bisa memilih cara berpakaian yang lebih cocok bagi mereka, namun tetap berkesan muda,” komentar penutup Tia tentang tips berbusana. Tia bilang, tips ini tidak hanya berlaku bagi para wanita lajang, namun juga para istri. Berapa banyak para suami berpaling, karena istrinya tidak lagi menjaga penampilan setelah menikah? Padahal semestinya seroang istri lebih perlu menjaga penampilannya, agar suami yang biasa melihat yang indah-indah di luar tak tergoda karena istrinya pun pandai merawat diri.
“Jadi, sesungguhnya saya berpakaian dan memilih gaya hidup seperti ini bukan semata-mata karena saya masih lajang, tetapi lebih karena upaya saya menghargai diri saya sendiri sebagai seorang perempuan. Sama sekali bukan karena sekedar ingin dilirik orang. Insya Allah, setelah menikah nanti, saya tetap akan berpenampilan rapi dan trendi, mengonsumsi makanan sehat dan rajin olah raga karena ia adalah kebutuhan saya.” Hmm, layak dicoba bukan?
Tapi ngomong-ngomong, kenapa sih Mbak, sampai sekarang masih tetap melajang? Tia kembali menjawab dengan senyum. “Tidak ada satu pun wanita normal di dunia ini yang tidak ingin menikah, tetapi jika Allah belum mempertemukannya dengan jodohnya, apalagi yang bisa dilakukan seorang muslimah selain mencoba menjalani hidupnya dengan bakti yang mampu ia lakukan sebagai lajang?” jawabnya diplomatis.
Azimah Rahayu
azi_75@yahoo.com
Kado Bagi Wanita, Bertolak dari Pertarungan Ideologi Kartini
Publikasi: 19/12/2003 13:22 WIB
eramuslim - Wanita dalam tinta sejarah tidak akan pernah kering disebut dalam pembentukan sebuah peradapan dunia. Dari jaman dahulu kala hingga detik sekarang wanita menjadi buah pembicaraan yang laris manis, dari jaman Hawa sampai jaman Mega, wanita menjadi soroton utama yang melegendaris.
Flash back, kembali membuka memori kita pada sejarah lama. Wanita dulu terkenal dengan kelemah-lembutan dan keibuannya, bersifat pemalu, terkungkung adat tidak memiliki sebuah ‘kebebasan’ karena terpasung oleh sebuah tradisi ‘pingitan’ yang menyebabkan wanita terbelakang dalam pemikiran. Wanita terperosok dalam ‘penjara’ yang dibuat oleh para pendahulunya, kekolotan dan keluguan menjadi ikoniknya. Ya begitulah kurang lebih gambaran wanita jaman lama.
Coba kita komparasikan dengan wanita sekarang. Atas nama emansipasi, banyak wanita yang rela meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu peradapan demi sebuah karier. Memang tak ada yang melarang wanita berkarier, tapi perlu diperhatikan konsep norma yang ada. Wanita sekarang banyak yang menanggalkan atribut ‘malunya’. Sudah bukan barang langka lagi, kian hari emansipasi kian mirip dengan liberalisasi dan feminisasi. Banyak wanita yang terjebak pada pemikiran modern dan liberal, wanita sejajar dengan pria dalam apapun. Pemikiran barat (westernisasi) menjadi parameter keberhasilan wanita sekarang. Fenomena itu dapat kita temukan setiap saat dimanapun dan kapanpun. Di televisi banyak sekali kita temukan wanita sebagai obyek komersil yang menguntungkan para ‘pecundang materi’, bisa kita lihat salah satunya adalah Inul Daratista dengan goyangan erotisnya memberikan sebuah ‘hiburan baru’ bagi masyarakat.
Dampak yang terjadi, banyak anak kecil yang menirukan aksi ngebornya tanpa mempedulikan adanya rasa ewuh dan kesopansantunan. Rasa malu sudah tercerabut dari nurani. Eksploitasi menjadi kepentingan disana, tanpa disadari secara tidak langsung oleh pelakunya. Modernisasi, apologinya. Itu baru sebagian kecil sebuah deskripsi wanita sekarang. Wanita kini telah maju ke belakang. Artinya secara outlook maju, tetapi pemikiran mengalami sebuah penurunan kemajuan. ‘Kemajuan’ yang terjadi dianggap sebagai bentuk emansipasi atau modernisasi.
Ya begitulah kondisi Indonesia. Kembali pada sejarah lama, kita tengok perjalanan Kartini. Kartini dalam kumpulan suratnya : Door Duisternis Tot Licht, yang diartikan Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armin Pane, dapat dijadikan salah satu tumpuan dalam mencermati sebuah pertarungan ideology yang terjadi saat ini. Setiap manusia memiliki derajat yang sama dan berhak mendapat perlakuan sama, Kartini mengenal prinsip tersebut melalui semboyan Revolusi Perancis Liberty, Egalite dan Fraternite (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan), yang pada dasarnya itu adalah prinsip Islam. Waktu itu terjadi adanya diskriminasi perlakuan karena adanya diskriminasi keningratan, semakin tinggi keningratan seseorang maka semakin tinggi pula rasa hormat manusia lain kepadanya. Hal yang terjadi saat sekarangpun tidak jauh beda, status sosial masih menjadi pertimbangan yang sulit dihapuskan dalam memperlakukan orang lain. Kartini dalam sebuah suratnya (18 Agustus 1899) kepada Stella mengatakan bahwa “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlaq). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah orang yang beramal sholeh, orang yang bergelar Graaf atau Baron?…..”

Pesan moral yang terkandung sangat dalam dari petikan surat tersebut. Ada beberapa hal yang bisa diambil dari petikan surat tersebut.
Pertama, Kartini secara tidak langsung meletakkan dasar agama dalam petikan surat tersebut, artinya agama hendaknya menjadi perhatian utama dalam kehidupan wanita khususnya dan manusia umumnya. Faktor fikroh dan akhlaq yang pada dasarnya bermuara pada agama menjadi penentu utama dalam kehidupan manusia (terkhusus bagi wanita). Dengan pegangan agama yang kuat, wanita akan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai pergolakan hidup, godaan dan fitnah.
Kedua, maju dan tidaknya sebuah peradaban tidak hanya ditentukan oleh banyaknya aplikasi westernisasi / budaya barat, tetapi substansi maju yang sesungguhnya adalah dari sisi ideologi atau pemikiran. Hal tersebut diperkuat dengan surat Kartini yang ditujukan kepada Ny. Abendanon 27 Oktober, 1902, yang berbunyi : “…. Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ?. Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradapan ?”. Artinya bahwa budaya barat bukanlah menjadi parameter keberhasilan dalam membentuk sebuah peradapan baru yang bermutu.
Ketiga, wanita dalam kehidupannya dituntut untuk lebih jeli dan peka dalam menentukan sebuah pilihan, moral dan religi hendaknya menjadi tumpuannya.
Keempat, wanita harus mampu memainkan peran dan tugas utamanya sebagai wanita ‘yang sesungguhnya’. Hendaknya wanita berorientasi dan berpikir jauh ke masa depan, sehingga generasi-generasi yang terlahir dari rahimnya menjadi manusia unggulan yang mampu membentuk sebuah peradapan baru yang berkualitas.
Kelima, untuk memiliki pemikiran yang berperadapan tinggi dibutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang sebagaimana proses yang telah dialami oleh wanita pejuang kita ; Kartini. Kita ingat kembali pesan moral yang disampaikan dalam surat Kartini tentang perjuangan. “Hidup ini patut kita hayati! Bagaimana kita mau menang kalau kita tidak berjuang lebih dahulu ?”. Perjuangan tidak akan pernah berhenti untuk mewujudkan sebuah mimpi , cita-cita dan kepentingan yang sejati dan hakiki. Penderitaan akan senantiasa mengiringi sebuah perjuangan, kepada wanita : ‘SELAMAT, MARI KITA TETAP BERJUANG !’.
Keenam, wanita memiliki bargaining position yang tinggi dalam membentuk sebuah peradaban baru. Untuk membentuk manusia beradab, harus dimulai dari seorang ibu selaku pendidik manusia pertama.
Ketujuh, Kartini yang merupakan salah satu representasi dari wanita memiliki keberanian untuk mendobrak adat yang pada dasarnya bertentangan dengan HAM dan Islam. Sebuah pemikiran maju yang diungkapkan oleh wanita produk jaman dulu. Luar biasa. Bagaimana dengan pemikiran wanita sekarang yang mengaku ‘berperadapan maju’ dalam memaknai sebuah modernisasi ?
Sebagai penutup dalam tulisan ini, terkhusus bagi saudariku para kaum wanita, pertarungan ideologi dalam kehidupan kita akan senantiasa bergolak. Perlu kita pikirkan dan perhitungkan ketika pilihan sebuah ideologi itu telah menjadi pilihan bagi kita. Wanita yang cerdas tidak belajar sejarah an-sich, tetapi dari sejarah dia belajar. Kembali ke fitroh menjadi wanita sepenuhnya, sebuah bargaining yang perlu kita perhatikan agar menjadi ‘manusia sepenuhnya’. Pilihan adalah sebuah konsekuensi, gimana para ibu dan calon ibu ?. Siap meretas sebuah perdapan baru ?
Prembayun Miji Lestari, S.S
Catatan Sejarah : 12 Desember 2003 Solo, Tengah Malam (02.00 WIB)
Love is Blind...
Publikasi: 17/12/2003 08:54 WIB
eramuslim - Power of love. Itu ungkapan kalimat yang selalu diungkapkan teman saya. Ia selalu tidak dapat mendisposisikan perasaannya tersebut. Ia selalu terjerat oleh perasaannya sendiri. Selalu berada dalam bayangan semu. Ia sadar betul dengan perasaannya tersebut. Cinta yang dimilikinya membuat ia tidak dapat berpikir secara rasional. “Keringanannya” membantu lelaki itu tidak lebih karena rasa yang dimilikinya. Pun dia sadar ketika lelaki itu terkesan seperti memanfaatkan posisinya. Saat ia butuhkan lain tidak. Meskipun saya tidak memungkirinya ia terkenal sebagai sosok yang sering membantu rekan-rekannya.
Seperti biasa ia dihubungi oleh temannya tersebut. Ia diminta untuk membantunya menyelesaikan tugas akhir lelaki itu. Dengan rasa yang dimilikinya, ia ringan saja membantu meskipun terkadang, ia mengeluh, ia dihubungi bila ada keinginan dari temannya sehingga malah terkesan azas manfaat. Tapi Ia tetap saja tidak mampu menolaknya. Ia memiliki kebahagiaan lebih bila membantu lelaki itu mesakipun rasa itu tidak dimilikioleh temannya. Entah mengapa bila ia membantu lelaki tersebut ia merasa lebih “ikhlas” ,” jelasnya pada saya.
Begitupun halnya dengan saya. Saya pernah mencoba untuk mengingatkannya atas segala perhatian yang diberikan. Sungguh, saya hanya tidak ingin ia semakin menderita dengan perasaannya sendiri sebab ia berada dalam posisi bertepuk sebelah tangan.
“Terkadang saya sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada diri saya ini,” ujarnya sesaat. Tuturnya,” Saya pun ingin segera lepas dari kondisi ini, tapi sangat sulit untuk mengahadapi kenyataan”. Saya hanya tersenyum. Andaikan ia dapat berpikir secar bijak tentu saj ia dapat membuat sebuah keputusan dalam hidupnya. Yap, dengan menjaga jarak. Saya pikir itu yang tepat. Meskipun itu tidak sesederhana yang dibayangkan apalagi bagi dirinya.
Bila saya membaca ungkapan love is blind. Cinta itu buta. Benak saya dipenuhi olehnya. Mungkin itu yang dialami oleh teman saya ini. Membuatnya tidak dapat berpikir jernih. Saya selalu berharap, suatu saat ia dapat mengelola rasa cintanya itu dalam bingkai keilahian. Alangkah indahnya bila bantuan yang diberikan bukan karena cinta tapi karena persahabatan. Tepatnya karena ukhuwah islamiyah.
Saya pernah menemukan sebuah kalimat bijak –yang mengajarkan saya tentang cinta juga persahabatan.
“ Rasa hormat tidak akan pernah membawa kepada persahabatan tapi persahabatan tidak akan pernah ada tanpa rasa hormat. Inilah yang membuat persahabatan lebih dari sekedar rasa cinta”. Ah, andaikan ia tahu.
Cut Intan
cut_tantia2003@yahoo.com
Dear Ukhti-ukhtiku...
Publikasi: 10/12/2003 12:20 WIB
eramuslim - Dear ukhti-ukhtiku yang kucintai karena Allah, apa kabar iman-mu hari ini? Semoga Allah Yang Maha Indah selalu memberi keindahan padamu dan melindungimu dari segala keburukan
Ukhti-ukhtiku yang kucintai karena Allah, sebaik2 perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Dan "perkara yang pertama kali ditanyakan kepada seorang wanita pada hari kiamat nanti, adalah mengenai sholat lima waktu dan ketaatannya terhadap suami." (HR.Ibnu Hibbab dari Abu Hurairah)
Ukhti-ukhtiku,
Pagi ini aku membaca sebuah buku didalamnya terdapat 10 wasiat Rasulullah kepada putrinya Fathimah binti Rasulillah.
Sepuluh wasiat yang beliau sampaikan merupakan mutiara yang termahal nilainya, bila kemudian dimiliki oleh setiap istri sholehah. Wasiat tsb adl:
1. Ya Fathimah, kepada wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan baginya dari setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu.
2. Ya Fathimah, kepada wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak-anaknya, niscaya Allah menjadikana dirinya dengan neraka tujuh tabir pemisah
3. Ya Fathimah, tiadalah seorang yang meminyaki rambut anak-anaknya lalu menyisirnya dan mencuci pakaiannya, melainkan Allah akan menetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu org yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang
4. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang menahan kebutuhan tetangganya, melainkan Allah akan menahannya dari minum telaga kautsar pada hari kiamat nanti.
5. Ya Fathimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan di atas adalah keridhoaan suami terhadap istri. Andaikata suamimu tidak ridho kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah wahai Fathimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Allah
6. Ya Fathimah, apabila wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya, dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketika wanita merasa sakit akan melahirkan, Allah menetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang di jalan Allah. Jika dia melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa-dosanya seperti ketika dia dilahirkan dari kandungan ibunya. Bila meninggal ketika melahirkan, maka dia tidak akan membawa dosa sedikitpun. Didalam kubur akan mendapat pertamanan indah yang merupakan bagian dari taman sorga. Dan Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.
7. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang melayani suami selama sehari semalam dengan rasa senang serta ikhlas, melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Dan Allah memberikan kepadanya pahala seratus kali beribadah haji dan umrah.
8. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang tersenyum di hadapan suami, melainkan Allah memandangnya dengan pandangan penuh kasih.
9. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang membentangkan alas tidur untuk suami dengan rasa senang hati, melainkan para malaikat yang memanggil dari langit menyeru wannita itu agar menyaksikan pahala amalnya, dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
10. Ya Fathimah, tiadalah wanita yang meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya, melainkan Allah memberi minuman arak yang dikemas indah kepadanya yang didatangkan dari sungai2 sorga. Allah mempermudah sakaratul-maut baginya, serta kuburnya menjadi bagian dari taman sorga. Dan Allah menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shirathal-mustaqim dengan selamat.
Ukhi-ukhtiku yang kucintai karena Allah Begitu indah menjadi wanita Dengan kelembutan dan kasihnya Dapat merubah dunia
Jadilah diri-dirimu menjadi wanita sholehah Agar negeri menjadi indah Karena dirimu adalah tiang negeri ini
Ukhti-ukhtiku yang kucintai karena Allah Tidakkah dirimu galau
Melihat keadaan negeri saat ini Apa yang akan kau katakan pada anakmu kelak Saat ia bertanya mengapa negeriku sperti ini?
Jadilah diri-dirimu menjadi wanita sholehah Karena esok negeri ini ditangan generasi kita
Ukhti-ukhtiku yang kucintai karena Allah Begitu indah menjadi istri Setiap perbuatannya merupakan pahala untukmu Lakukan dengan ikhlas karena Allah Insya Allah dunia akhirat ada ditanganmu
Ukti-ukhtiku yang kucintai karena Allah Semoga Allah yang Maha baik Menjadikan kita wanita dan istri sholehah Membantu dan membimbing kita untuk tetap dijalanNya Amiin.
Untuk ukti-ukti ku dimanapun dirimu berada... miss U
Lainnya
Biar Cinta itu Bermuara Dengan Sendirinya....
Publikasi: 08/12/2003 10:51 WIB
Kenapa tak pernah kau tambatkan.
perahumu di satu dermaga?
Padahal kulihat, bukan hanya satu.
pelabuhan tenang yang mau menerima.
kehadiran kapalmu!
Kalau dulu memang pernah ada.
satu pelabuhan kecil, yang kemudian.
harus kau lupakan,
mengapa tak kau cari pelabuhan lain,
yang akan memberikan rasa damai yang lebih?
Seandainya kau mau,
buka tirai di sanubarimu, dan kau akan tahu,
pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,
hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,
rumah dan pelabuhan hatimu.
( Judul Puisi " Pelabuhan " karya Tyas Tatanka, kumpulan puisi 7 penyair serang)
eramulsim - Matanya berkaca-kaca ketika perempuan itu selesai membaca dan merenungi isi puisi itu. Dulu sekali perempuan itu telah pernah berharap pada seorang laki-laki yang dia yakin baik dan hanif, ada kilasan - kilasan di hatinya yang mengatakan bahwa mungkin dialah sosok yang selama ini dicari.. dialah sosok yang tepat untuk mengisi hari harinya kelak dalam bingkai pernikahan.
Berawal dari sebuah pertemanan. Berdiskusi tentang segala hal, terutama masalah agama. Perempuan itu sedang berproses untuk mendalami agama Islam dengan lebih intens. Dan laki-laki itu, dia paham agama, aktif diorganisasi keislaman, dan masih banyak lagi hal - hal positif yang ada dalam diri lelaki itu. Sehingga kedekatan itu membawa semangat perempuan itu untuk terus menggali ilmu agama.dan mempraktekkannya dalam kesehariannya. Kedekatan itu berlanjut menjadi kedekatan yang intens, berbagi cerita , curahan hati, saling meminta saran, saling bertelepon dan bersms, yang akhirnya segala kehadirannya menjadikan suatu kebutuhan. Kesemuanya itu awalnya mengatasnamakan persahabatan.
Suatu hari salah seorang sahabatnya bertanya " Adakah persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan dewasa tanpa melibatkan hati dan perasaan terlebih bila sudah muncul rasa simpati, kagum dan kebutuhan untuk sering berinteraksi?" Perempuan itu tertegun dan hanya bisa menjawab " entahlah.."
Sampai suatu hari, laki-laki itu pergi dan menghilang... Awalnya masih memberi kabar. Selebihnya hilang begitu saja. Dan perempuan itu masih berharap dan menunggu untuk suatu yang tak pasti. Karena memang tidak pernah ada komitmen yang lebih jauh diantara mereka berdua. Setiap dia mengenal sosok lelaki lainnya... Selalu dibandingkan dengan sosok laki-laki sahabatnya itu dan tentulah sosok laki - laki sahabatnya itu yang selalu lebih unggul dibanding yang lain. Dan perempuan itu tidak pernah lagi membuka hatinya untuk yang lain. Sampai suatu hari,..
Perempuan itu menyadari kesia-siaan yang dibuatnya. Ia berharap ke sesuatu yang tak pasti hanyalah akan membawa luka dihati... Bukankah banyak hal yang bermanfaat yang bisa dia lakukan untuk mengisi hidupnya kini.... Air mata nya jatuh perlahan dalam sujud panjangnya dikegelapan malam... Dia berjanji untuk tidak mengisi hari - harinya dengan kesia-siaan.
"Lalu bagaimana dengan sosok laki - laki itu ?? "Perlahan saya bertanya padanya.
"Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, yang salah hanyalah persepsi dan harapan yang terlalu berlebihan dari kedekatan itu, dan proses interaksi yang terlalu dekat sehingga timbul gejolak dihati.... Biarlah hal itu menjadi proses pembelajaran dan pendewasaan bagi saya untuk lebih hati - hati dalam menata hati dan melabuhkan hati," ujarnya dengan diplomatis. Hingga saya menemukan perempuan itu kini benar - benar menepati janjinya.
Dunia perempuan itu kini adalah dunia penuh cinta dengan warna-warna jingga, tawa-tawa pelangi , pijar bintang dimata anak anak jalanan yang menjadi anak didiknya.... Cinta yang dialiri ketulusan tanpa pamrih dari sahabat-sahabat di komunitasnya yang menjadikan perempuan itu produktif dan bisa menghasilkan karya...cinta yang tidak pernah kenal surut dari kedua orang tua dan keluarganya... Dan yang paling hakiki adalah cinta nya pada Illahi yang selalu mengisi relung-relung hati..tempatnya bermunajat disaat suka dan duka... Indahnya hidup dikelilingi dengan cinta yang pasti.
Adakalanya kita begitu yakin bahwa kehadiran seseorang akan memberi sejuta makna bagi isi jiwa. Sehingga.... saat seseorang itu pun hilang begitu saja... Masih ada setangkup harapan agar dia kembali....Walaupun ada kata-katanya yang menyakitkan hati.... akan selalu ada beribu kata maaf untuknya.... Masih ada beribu penantian walau tak pasti... Masih ada segumpal keyakinan bahwa dialah jodoh yang dicari sehingga menutup pintu hati dan sanubari untuk yang lain. Sementara dia yang jauh disana mungkin sama sekali tak pernah memikirkannya. Haruskah mengorbankan diri demi hal yang sia-sia??
Masih ada sejuta asa.... Masih ada sejuta makna.....Masih ada pijar bintang dan mentari yang akan selalu bercahaya dilubuk jiwa dengan menjadi bermakna dan bermanfaat bagi sesama....
"Lalu... bagaimana dengan cinta yang dulu pernah ada?? '' tanya saya suatu hari.
Perempuan itu berujar, " Biarkan cinta itu bermuara dengan sendirinya... disaat yang tepat... dengan seseorang yang tepat.... dan pilihan yang tepat......hanya dari Allah Swt. disaat dihalalkannya dua manusia untuk bersatu dalam ikatatan pernikahan yang barokah.."
Semoga saja akan demikian adanya...
Untuk seorang sahabat.yang tengah meniti masa transisi
dini@mipp.ntt.net.id
Dicari: Feminis Moral Untuk Indonesia!
Publikasi: 10/09/2003 07:28 WIB
eramuslim - Sebenarnya, saya enggan memakai kata ‘feminis’. Tapi bagaimana lagi, kata itu kadung menjadi sebutan bagi perempuan yang ‘gelisah’ terhadap hak perempuan dan memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masalah-masalah kaum perempuan.
Perbincangan mengenai masalah perempuan yang terus bergulir hingga kini, tidak pernah lepas dari semua aspek kehidupan. Semua hal selalu nampak ‘bias gender’ ketika kita telah menyentuh ranah pembelaan hak terhadap perempuan. Memang, kita tidak memungkiri bahwa masih banyak para perempuan yang terlilit oleh ketidakpekaan lingkungan sosial mereka (termasuk didalamnya perempuan yang lain dan laki-laki) terhadap keharmonisan dan kesadaran akan tanggungjawab bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih humanis.
Moralitas perempuan: Bilakah engkau ‘diperjuangkan’?
Terlepas permakluman dan pemahaman, sepakat-tidak sepakatnya penulis terhadap isu-isu kesetaraan yang diangkat kepermukaan oleh para pemerhati perempuan, sepertinya perlu ada banyak hal yang harus terungkap dibalik sisi lain kehidupan perempuan di masyarakat kita (Indonesia) saat ini.
Sebuah paradigma yang mengajak perempuan dan para pejuangnya (baca:feminis) mencari akar dari segala permasalahan perempuan yang sering terabaikan di tengah deru perjuangan kesetaraan dan keadilan jender.
Perjuangan hak-hak perempuan selalu bermula pada akibat dari sebuah perbuatan yang memojokkan perempuan sebagai posisi korban (perempuan dilecehkan, dirampas haknya dan sebagainya).
Namun ada yang mengganjal pemikiran penulis akhir-akhir ini, bahwa perjuangan para pemerhati perempuan justru cenderung menjadikan kelemahan atau anggapan ketidakberdayaan terhadap perempuan semakin menganga dan tereksploitir. Akibatnya, justru paradigma perjuangan perempuan tidak berkembang dan cenderung kasuistis, akibat lain dari hal tersebut adalah kebekuan perjuangan perempuan seperti yang kita lihat hanya bersifat temporal, monumental dan berorientasi pada hal-hal yang nampak secara fisik dan materi. Dengan standar kebebasan dan keberhasilan kebebasan yang materialis pula.
Ada yang dilupakan dari para pejuang hak-hak perempuan. Yaitu, makna kesejatian dari perempuan itu sendiri. Makna kepantasan, ketinggian moral dan budaya. Mengapa hal tersebut terjadi? Jawabannya jelas: karena mereka hanya menuntut hak dan menjadikan pemikiran-pemikiran bebas sebebas-bebasnya sebagai acuan berpikir. Alhasil, ada ketimpangan budaya dari hingar bingarnya perjuangan perempuan.
Ada kegelisahan tersembunyi yang tidak pernah terungkap dalam diskusi-diskusi tentang kesetaraan jender. Ada kelemahan yang tidak terungkap dan mungkin ‘enggan’ diakui dan terabaikan oleh para pejuang perempuan kebanyakan.
Kegelisahan tersembunyi itulah, persoalan moral dan segala hal yang berkenaan dengannya, termasuk perilaku dan gaya hidup. Degradasi perempuan di masyarakat kita hampir menjadi sesuatu yang tidak layak jual di forum-forum perempuan. Suara-suara keprihatinan akan degradasi moralitas perempuan seolah tercibir oleh kaum perempuan sendiri sehingga banyak diantara mereka menganggapnya sebagai isu komunitas dan tidak trend.
Persoalan pelecehan dan pemerkosaan selalu ditanggapi setelah terjadi, bukan bagaimana mengupayakan semua kebiasaan, polah tingkah, dan tatanan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang lebih beradab, tertata dan penuh kesopanan. Protes-protes atau kritik terhadap hal-hal yang kurang sopan justru dicecar dengan alasan–alasan kebebasan.
Persoalan moral yang terjadi di dalam sebagian besar perempuan di Indonesia telah begitu kronis sehingga melahirkan mentalitas easy going dan permissive terhadap semua hal yang hingar bingar, pergaulan bebas diantara remaja misalnya dan semua alasan modernitas yang disodorkan sebagai alasan pemaaf dan pembenar perilaku yang jauh dari norma adat dan budaya serta agama.
Feminis Moral: dicari!
Jika kita mau lebih jujur mengamati, saat ini banyak perempuan dan LSM perempuan yang mencoba untuk menunjukkan minatnya kepada permasalahan perempuan. Mereka begitu getol memperjuangkan bagaimana seorang perempuan dapat menunjukkan eksistensi mereka di ranah publik. Dan semua telah hampir terpenuhi. Kesetaraan yang mereka perjuangkan atas nama emansipasi sudah tercapai (meskipun bagi sebagian perempuan belum).
Namun, sayang, ketika persoalan moralitas dan segala hal yang memerlukan kejujuran dan kepekaan rasa keperempuanan untuk menilainya disodorkan pada mereka, mereka seolah bisu dan tak terdengar gaunga ‘perjuangan dan kepeduliannya’
Contoh kecil, betapa sulitnya bangsa ini memberikan ketegasan tentang pornografi sementara begitu banyak ‘aktivis perempuan’ di negeri ini. Tak heran, sebab memang kebanyakan dari mereka mungkin tidak sempat memikirkan hal-hal ‘sepele’ ini dibanding isu-isu publik, pro-kontra poligami, melejitkan karier, quota politik, isu-isu bisnis, talk show-talk show kepribadian dan kecantikan, yang tentunya lebih menggiurkan bagi para funding para perempuan ‘modern’ di negeri ini.
Feminis moral mau tidak mau harus lahir dari negeri ‘berbudaya’ dan ‘bermoral’ bernama Indonesia ini. Negeri yang sebagian perempuannya telah lebih bule daripada para bule. Negeri yang para perempuannya menjadi pangsa pasar terbesar serbuan penjajahan gaya baru melalui trend, mode, gaya hidup dan pola pikir. Negeri yang para perempuan (ibu-ibu dan remaja putri) begitu fasih bicara tentang tempat-tempat shopping dan café-café ternyaman. Negeri yang para prianya semakin hari semakin buas karena tersuguhi tontonan dan gadis-gadis siap saji. Kasar memang tapi inilah wajah perempuan dan masyarakat kita hari ini. Dimana menegur mereka tidak lagi bisa dengan bahasa-bahasa halus sebab mereka telah kehilangan apa itu rasa malu. Jadi untuk apa basa basi?
Feminis moral itu harus muncul dengan kemunculan yang benar-benar lahir dari sebuah pemahaman dan keprihatinan akan kondisi kaummnya. Bukan ‘tertokohkan’ hanya karena dia sekali dua tampil sebagai pembicara di sebuah seminar lalu tiba-tiba ‘dinobatkan’ sebagai aktivis perempuan.
Dia harus lahir dari sebuah pemahaman yang integral tentang permasalahan perempuan dan semua hal yang melingkupinya. Dia tertokohkan karena melakukan perubahan, bukan untuk mendongkrak popularitasnya. Meskipun sebenarnya untuk menjadi seorang feminis moral dia justru harus siap untuk tidak terkenal dan bahkan harus bekerja keras.
Feminis moral itu hendaknya memiliki kecintaan terhadap budaya positif bangsa ini, meskipun ia bukanlah orang yang gagap terhadap pola pikir progresif. Ialah feminis yang tidak hanya menyuarakan hak namun juga sadar bahwa kewajiban adalah sejoli dari hak itu sendiri.
Feminis moral itu hendaknya konsisten terhadap apa yang diyakininya, sebab yang akan dirubahnya adalah pola pikir, kultur, maka ia semestinya mampu menjadikan dirinya lebih bermoral dari orang lain. Standar berpikir Sang feminis moral ini adalah keteguhan prinsip dan kepekaan yang dalam terhadap kepantasan. Ia harus siap berpredikat ‘kuno’ diantara para aktivis perempuan yang mendapik diri mereka ‘modern’.
Ia dapat bersikap toleran terhadap perbedaan pemahaman namun tidak untuk meluruhkan prinsipnya. Ia berpola pikir progresif namun tertuntun oleh pemahaman religius yang matang.
Entahlah, kapan Sang Feminis Moral itu muncul di negeri ini dan membawa semangat perubahan dan perbaikan moral perempuan dan laki-laki. Semestinya ia lahir atau muncul secepatnya, agar kelak anak-anak di negeri ini masih sempat dilahirkan dan diasuh oleh ibu-ibu yang bermoral ,cerdas dan berbudipekerti luhur. Agar kedepan negeri ini masih sempat di sebut negeri yang adiluhung, bersahaja.
Jika mungkin diantara anda ada yang memenuhi kriteria itu atau sedang menempa diri seperti itu, atau jika anda seorang pemerhati perempuan yang tengah gelisah dan bingung menentukan aliran perjuangan anda, mungkin tulisan ini bisa menjadi referensi perenungan yang akan menghantarkan anda menjadi para pejuang moral yang tulus dan mampu meretas ruh (semangat) baru perbaikan moral negeri bernama INDONESIA ini.

Vida Robi’ah al-Adawiyah
r_aladawiyah@yahoo.com
Mahasiswi FH Univ. Negeri Sebelas maret Solo, Koordinator umum Pusat Studi Perempuan dan Anak ‘Benih’-solo.
Sumber Syahwat Itu Bernama: Perempuan!
Publikasi: 05/08/2003 10:06 WIB
eramuslim - Dalam Qur'an Surat Ali Imran ayat 14 dikatakan syahwat manusia kecenderungan pertama berasal dari perempuan. "Dihiasi manusia dengan syahwat yang muncul dari perempuan dan anak-anak....."
Dalam surat ini dikatakan "manusia", bukan saja laki-laki. Artinya seluruh manusia memiliki syahwat kepada perempuan. Kalau dikatakan "manusia" artinya mencakup laki-laki dan perempuan juga. Kalau laki-laki memiliki syahwat kepada perempuan itu sudah normal, tapi bagaimana dengan perempuan terhadap perempuan?
Dalam kajian tafsir di Maqdis Bandung, ustadz Saiful Islam Lc menjelaskan maksud ayat ini kurang lebih sebagai berikut:
Seorang perempuan bila melihat perempuan lain lebih cantik dari padanya, lebih baik dari dirinya, apakah itu pakaiannya, tas, sepatu, rumah, jilbab, perabotan dan lain-lain, biasanya langsung timbul keinginan dalam hatinya untuk bisa juga seperti orang yang dilihatnya itu atau memiliki keinginan untuk memiliki juga benda yang ada pada perempuan yang dilihatnya. Beda dengan laki-laki, laki-laki biasanya tidak timbul syahwatnya melihat sesamanya mengenakan pakaian bagus, lebih tampan, ujar Ustadz Saiful melanjutkan.
Biasanya dialog yang terjadi jika perempuan bertemu dengan perempaun lain antara lain, "Jilbabnya bagus, beli dimana? saya jadi ingin beli juga euyh" atau "model baru ya, bagus sekali, antarkan saya dong, saya mau beli juga"!!
Suatu hari sayapun pernah menjadi "korban", waktu itu saya melihat teman memakai baju baru dan menurut saya bagus. Saya membayangkan, sayapun akan lebih tampak cantik jika memakai baju itu.
Tiba-tiba saja secara spontan saya katakan "Mbak bajunya bagus, beli dimana, berapa semeter, ongkos jahitnya berapa", buntut-buntutnya saya minta diantarkan ke toko tempat ia membeli kain.
Selang berapa detik saya ingat surat Ali Imran ayat 14 beserta taushiah ustadz agar menghindari bahaya syahwat yang muncul dari perempuan. Akhirnya saya katakan, "nggak jadi deh mbak, lain kali saja".
Pantas saja sebelum meninggal, Rasul berpesan agar benar-benar melindungi perempuan, tidak saja banyak fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan, tapi juga syahwat (keinginan) yang dapat menjerumuskan manusia kedalam kebinasaan.
Laki-laki bergairah mencari nafkah bisa disebabkan karena perempuan. Laki-laki melakukan KKN, pekerjaan tercela dan perilaku binatang bisa juga disebabkan karena perempuan. Perempuan, adalah makluk yang luar biasa, dari rahimnya lahir manusia setingkat Rasulullah dan sehina Fir'aun.
Pesan Rasulullah kepada perempuan, hati-hatilah dalam kehidupan dunia, jangan jadi penggoda, sebagaimana perempuan juga suka digoda. Wallaahu'alam.
Yesi Elsandra
yelsandra@yahoo.com
Tepis Rasa Ragu Itu...
Publikasi: 01/08/2003 08:54 WIB
eramuslim - Bimbang dan ragu terkadang datang menghampiri kita makhluk-Nya. Menandakan betul betapa lemah dan rapuhnya kita. Untuk mengambil keputusan sekecil apapun, bersitan rasa ragu hadir. Ragu dan bimbang ketika dihadapkan pada dua atau banyak pilihan. Entah akhirnya menjadi besar atau kemudian sirna.
Banyak muslimah yang ketika saat untuk memilih pasangan hidup tiba menjadi ragu-ragu dan bimbang. Begitu halnya dengan saya dulu. Aduh, betul tidak pilihan saya? Kata jangan-jangan masih terekam di benak. Gelisah.... bingung.... gimana enaknya ya. Menerima yang satu dan menolak yang lain tanpa alasan syar'i kadang menimbulkan perasaan berdosa. Wajar tidak ya?
Kebebasan untuk memilih calon pasangan itu bukan saja pada laki-laki, namun kita muslimah juga punya hak untuk memilih dan juga hak untuk menolak, meski alasannya misal hanya masalah tampang yang kurang menarik. Hal itu dibenarkan dan ada dasarnya dari sumber hadits yang terpercaya, misalnya hadits berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Jamilah binti Salul mendatangi Nabi Saw dan berkata, "Demi Allah, aku tidak mencela Tsabit (suaminya) dalam masalah agama dan akhlaqnya. Namun aku membenci kekufuran dalam Islam." Maka Rasulullah Saw berkata, "Apakah kamu siapa untuk mengembalikan kebun kepada suamimu?". Dia menjawab, "Ya". Maka beliau memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebun Jamilah tanpa tambahan". (HR Ibnu Majah). Dalam riwayat Tabari dijelaskan bahwa yang menjadi alasan Jailah untuk minta cerai dari suaminya itu adalah karena suaminya (Tsabit bin Qais) kulitnya hitam legam, pendek dan mukanya jelek.
Dari Khansa' bin Khadam Al-Anshariyah bahwa ayahnya menikahkannya dan dia seorang janda dan dia tidak suka. Maka dia datang kepada Rasulullah Saw dan ditolaklah nikahnya. (HR. Bukhari 9: 194).
Yang lebih bikin pusing justru ketika pilihan sudah dijatuhkan, eh keraguan masih ada. Duh... Gusti Allah kenapa rasa mantap itu masih belum ada ya. Malah bikin tambah puyeng.
Allah memberikan kita alternatif dengan sholat istikharah. Dia yang Menguasai hati dan Maha membolakbalikannya. Kalaupun hasilnya masih nihil mungkin kita harus introspeksi akan kualitasnya. Siapa tahu masih dikotori oleh keinginan dan kecondongan pribadi. Belum tentu yang menurut pandangan kita dan manusia umumnya jelek, itu yang jelek menurut Allah juga sebaliknya. Allah tidak mengenal fungsi waktu, Allah yang Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Kita minta dari-Nya yang terbaik bagi diri kita.
Saya belajar bahwa keraguan identik dengan rasa takut. Takut menghadapi konsekuensi dan resiko dari pilihan kita. Apa jadinya kalau pilihan saya salah. Belum terjadi apa-apa sudah cemas. Bayangan-bayangan buruk lantas berseliwean. Di sini kita perlu memaknai betul-betul arti tawakkal. Berserah diri pada-Nya semata. Keraguan dihembus-hembuskan syetan untuk menjauhkan kita dari rasa tawakkal. Keyakinan tidak ada yang bakal terjadi kecuali dengan ijin Allah. Kepasrahan dalam tingkat yang seutuhnya. Bahwa kita ini makhluk, hamba-Nya.
Ketika permintaan kepada Allah untuk dimantapkan hati sudah dilakukan dan keputusan diambil. Dapat dikatakan sudah selesai tugas kita. Kita telah membulatkan niat dan menguatkan ikhtiar. Pasrahkan semuanya pada-Nya. Berprasangka baik pada-Nya.
Kembali soal pasangan hidup, Allah sendiri sudah menjamin, "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)". (Al Qur'an 24:26).
Apakah pasangan hidup kita sebanding dan cukup baik bagi kita? Keimanannya bagus, sholeh, hanif? Tentunya kita bisa mendapatkannya sesuai dengan janji Allah tersebut jika kita pun meningkatkan kesholehan kita, keimanan kita, dan kualitas kita. Jika kita pun sebanding dengannya. Seperti apa kita, seperti itu juga cerminan pasangan hidup kita.
Semoga Allah memberikan kita kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi segala 'ketidakpastian' dunia, dan senantiasa diberi kemampuan untuk bertawakkal pada-Nya. Amien ya Rabbal 'alamin. Wallahu'Alam bishshowab.
Tuk tantenya Shafiyya, ganbatte semoga rasa ragu itu lekas sirna. Salam sayang selalu.
Shafiyya

Di Pagi Hari Ketika Umurku Dua Puluh Sembilan...
Publikasi: 30/07/2003 08:29 WIB
eramuslim - Ya Allah Alhamdulillah, umurku beranjak ke angka dua puluh sembilan pagi ini. Tiap kali berulang tahun, renungan demi renungan aku lakukan. Tahun ini, aku terima semua yang terjadi dalam hidupku dengan lapang dada, tanpa perlu kecewa ketika menghadapi kenyataan bahwa keinginanku masih belum dipenuhi Allah. Ya Allah terima kasih, aku diberi kesempatan untuk memperbaiki diriku dan menangkap hikmah dari semua kejadian.
Betapa banyak nikmat yang diberikan Allah dan betapa malunya aku yang kadang tidak menyadarinya hanya karena satu permintaanku sejak beberapa tahun lalu belum dipenuhiNya, yaitu mempunyai suami, pendamping terbaik di sisiku. Ketika akal sehat dikalahkan oleh rasa frustasi, aku bertanya dalam hati apa yang kurang dari diriku. Mungkin ke-takaburanku yang menyebabkan belum datang seorang “arjuna” untukku. Kadang terbersit pikiran, apakah akan ada yang mencintaiku sungguh-sungguh hingga ingin menikahiku. Kadang di tengah keputus-asaan aku mengadu kepada Allah, Ya Allah aku hanya ingin berumah tangga untuk menjalankan sunnah Rasul, untuk menjaga hati dari zina, untuk menyempurnakan ibadahku. Mengapa untuk hal yang begitu sakral dan mulia Rabb belum juga memberikan “arjunaku”?
Ketika semuanya menjadi buntu, Rabb memberikan hidayahNya, aku memberanikan diri menggunakan jilbab, hampir setahun yang lalu, ketika aku baru saja berpisah dengan lelaki yang sangat aku cintai. Keputusan yang berat harus aku ambil demi mujahadah menegakkan syariah Islam untuk tidak pacaran, karena lelaki itu belum siap untuk menikah. Aku begitu yakin Allah akan memberikan jalan keluar untukku mendapatkan “arjuna” yang akan meminang dan menikahiku. Aku mencoba untuk membuka hatiku untuk lelaki-lelaki lain. Kemudian beberapa orang kawan berbaik hati mengenalkanku dengan beberapa lelaki tetapi hingga detik ini Allah belum memberikan “arjuna” yang melamarku. Beberapa lelaki kenalan baruku itu ada yang mundur teratur ketika melihatku menggunakan jilbab. Ya Allah ternyata sampai detik ini aku masih dicoba dengan keinginanku ini. Aku dicoba untuk menjadi Muslimah yang sholehah yang teguh menggunakan jilbab di tengah-tengah pencarianku untuk mendapatkan “arjunaku”.
Walaupun begitu aku mencoba untuk menangkap hikmah dari semua ini, bahwa Rabb ingin aku memperbaiki diriku sebelum “arjuna”ku datang dan Allah akan memberikan yang terbaik untuk hidupku. Ya Allah aku senang dan bangga Engkau menyayangiku, Engkau akan memberikan yang terbaik untukku. Untuk itu, aku berusaha untuk selalu berlapang dada, pasrah dan bertawakal, bahkan jika Engkau belum mengizinkan aku menikah dalam waktu dekat ini. (SW 31071974)
Maharani Arrahman

maha_rid@yahoo.com
hafiyya@aol.com
Ketika Akhirnya Saat Memutuskan Itu Tiba ...
Publikasi: 25/07/2003 10:11 WIB
eramuslim - Ketika akhirnya saat memutuskan itu tiba… Aku tahu aku kehabisan cara untuk mencari-cari alasan, hal yang selalu aku lakukan saat berhadapan dengan kata: menikah. Bayangan tentang sosok seorang pria yang akan selalu ada disampingku selama aku ada di dunia, seseorang yang akan jadi orang yang paling tahu tentang diriku, bahkan lebih dari ibuku. Lalu aku merasa akan tertelanjangi luar dalam. Rasa ini yang mungkin pernah membuatku ragu untuk segera menikah.
Aku memang seorang perempuan yang tak ingin merasa terikat. Aku selalu membayangkan diriku seekor kijang yang berlari dengan bebasnya di dalam rimba raya tanpa ada siapapun dan apapun yang membuat kaki lincahnya berhenti melompat. Kenikmatan dalam melakukan keinginan-keinginanku nampaknya membuatku begitu segan memiliki seseorang yang aku pikir bisa membuat langkahku terseret. Sementara rimba ini begitu luas dan aku cuma ada ditepian sebuah danau saja. Aku masih ingin melakukan apa pun kemanapun sesuai keinginan. Menikmati hidangan Allah di alam ini. Tak peduli apa yang orang katakan, tak peduli apa yang orang inginkan denganku. Aku merasa paling berhak dengan kehidupanku. Sosok suami bisa menjadi hambatan bagi kemajuan seorang perempuan karena ia dituntut untuk patuh pada suaminya. Mungkin itu gambaran yang sedikit banyak mempengaruhi pikiranku. Belum lagi ketika harus hadir seorang anak.
Namun kini ketika tiba-tiba ada sebentuk cinta sederhana yang ditawarkan kepadaku, aku termanggu. Tak bisa aku berkata. Tulus, apa adanya. Segala teori dan argumentasiku membisu. Tiba-tiba ada rasa aneh yang mengelus rasaku, dan aku tahu itu kerinduan. Rasa ingin dilindungi, rasa nyamannya berteduh. Rasa ingin disayangi, ingin menjadi orang yang istimewa untuk seseorang, ingin merasakan indahnya berkorban, bahagianya memberi. Bagaimana rasanya dipaksa untuk memahami orang lain hingga keterpaksaan itu bermuara pada keikhlasan. Ingin mencoba memaknai kepatuhan dari sudut pandang Allah, merasakan apa maksud Allah menyuruh seorang istri patuh pada suaminya.
Rasa ini menjelma menjadi sujud-sujud panjang yang basah di tengah sunyinya malam. Begitu lama aku belum lagi merasakan kemesraan berkhalwat dengan-Nya. Entah mengapa hadirnya nama seorang pria membuatku ingin sekali lagi memeluk Allah dan berbisik; Tuhan, diakah cinta dari-Mu? Allah… benarkah ini?...
Ditawarkan sebuah cinta dari hamba-Nya, aku malah berlari mengejar kasih-Nya. Malam-malam sunyi yang biasanya membuaiku kini aku terangi dengan rakaat-rakaat panjang diakhiri bisikan basah yang jatuh di tanganku. Memohon ilmu-Nya yang menyamudra memilihkan yang terbaik untukku. Menyerahkan jiwa ragaku dalam tangan-Nya. Meluaskan hati ini untuk cinta-Nya. Aku benar-benar merasa jatuh cinta pada-Nya. Duhai… apakah ini?... Hadirnya pria itu membuatku begitu dekat dengan Allah. Inikah jawabannya, Kekasih?...
Kebersamaanku dengan Allah menuaikan keyakinan dalam diriku. Dia seperti membisikkan entah dengan apa, tapi aku merasa yakin ini benar, bahwa inilah jalan kebaikan yang Allah bukakan untukku. Pintu ini dan saat ini.
Maka ketika Allah telah membuka pintu-Nya untukku, seberapa hebatkah diriku menolak untuk melangkah ke dalamnya? Mungkin aku tak tahu apa yang akan aku hadapi saat melewati teras rumah-Nya, tapi aku tahu Dia ada bersamaku, di dalam diriku.
Dan aku akan punya seseorang yang akan selalu menggandeng tangan dan menguatkan langkahku, menuju diri-Mu, Allah…
Klise, Namun Demikianlah
Publikasi: 15/07/2003 09:23 WIB
eramuslim - Seorang teman datang pada saya dan bertanya apa arti kebahagiaan itu. Entah mengapa, meski pertanyaannnya sangat mudah, tapi saya tidak bisa langsung begitu saja memberinya jawaban. Selama dua bulan, saya hanya tersenyum dan meminta dia bersabar dan memberi saya waktu yang cukup untuk menguraikan jawabannya. Rentang waktu itu kini sudah berlalu dua bulan lamanya. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu bertanya apa jawabannya.
“Apa mbak arti bahagia itu? Seperti apa rasanya? Bagaimana bentuknya?”
“Bahagia itu tidak bisa dijabarkan begitu saja dengan kata-kata. Bahagia itu hanya bisa dirasakan di hati dan hanya orang itu sendiri yang bisa merasakannya.” Saya mencoba memberi jawaban padanya. Tapi rupanya jawaban saya tidak cukup membuatnya puas.
“Itu jawaban yang sangat klise. Saya ingin tahu lebih banyak lagi, tunjukkan pada saya secara lebih jelas apa itu bahagia. Saya sangat membutuhkan jawabannya, karena saya ingin bisa selalu merasa bahagia.” Sampai disitu saya kembali terdiam. Bukan karena tidak tahu apa yang ingin saya katakan. Jika saja saya langsung berbicara padanya panjang lebar tentang arti bahagia saat itu juga karena dia sangat menginginkan jawabannya segera; yang saya pikirkan adalah, apakah jawaban instan saya akan bisa memuaskan rasa ingin tahunya yang mendesak itu? Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk menunda (kembali) sejenak jawaban yang ingin saya berikan padanya dan memintanya untuk bersabar agar saya bisa menjelaskan padanya secara lebih jelas apa arti bahagia itu.
“Beri saya tambahan waktu untuk mencari penjelasan yang gamblang pada kamu apa itu bahagia. Kamu sabar yah menunggu.”
Hmm. Ngomong-ngomong soal arti bahagia.
Ada sebuah kejadian yang cukup berkesan dihati saya berkenaan dengan perasaan bahagia. Kejadiannya sangat sederhana dan mungkin ada beberapa di antara kalian yang pernah mengalaminya juga. Wallahu'a’lam.
Kejadiannya bermula di suatu hari ketika saya dalam perjalanan menuju ke pasar. Di pinggir jalan beraspal saya bertemu dengan seorang bapak tua penjual bangku. Matahari sangat terik sehingga cuaca sangat terasa membakar kulit dan mengeringkan kerongkongan. Pepohonan yang berjajar di pinggir jalan pun rasanya tidak mampu lagi memberikan kesejukan lewat kerindangannya. Dalam suasana seperti itulah saya bertemu dengan bapak tua penjual bangku. Usianya mungkin sekitar 65-an tahun atau lebih. Kulit tubuhnya yang gosong terbakar matahari sudah banyak yang keriput. Kaki dan tangannya kurus sehingga terlihat seperti kulit yang membalut tulang saja. Matanya tampak masuk ke dalam pertanda dia sangat kurang waktu tidurnya. Dengan tubuh lemah dan sedikit gemetar, dia duduk di atas bangku bambu tua yang dijualnya. Napasnya terdengar mengik dan memburu diiringi batuk kering yang terdengar berat beberapa kali. Bapak tua itu terlihat sangat kepayahan dengan pekerjaan dan penyakitnya. Dengan tatapan mata kelelahan dan sisa senyum yang dipaksakan dari bibir keringnya, bapak tua itu menyapa saya dan menawarkan bangkunya.
“Nak, beli bangku bapak nak.“ Wajah tuanya sangat memelas sehingga saya tidak bisa menghiraukan begitu saja sapaannya. Saya mencoba untuk tersenyum dan secara reflek langsung melirik bangku bambu tua yang dijajakannya. Bangku bambu itu tampaknya akan sulit untuk laku. Entah sudah berapa lama dia memikulnya kesana kemari. Rasanya sudah cukup lama. Ada bekas memutih di kaki bangku bagian kanan bawah bekas tapak bapak tua yang memang memanggul bangku itu di atas pundaknya. Begitu juga di beberapa bagian lain tampak cat pelitur kayunya mulai memutih bahkan ada yang mulai terkelupas karena terbakar sinar matahari. Beberapa bagian bahkan memperlihatkan jalinan tali bambu yang menghubungkan ruas-ruas bambu mulai aus dan tampak rentan. Saya tidak yakin apakah bangku bambu itu akan bisa laku dalam waktu cepat tapi saya sendiri saat itu tidak membutuhkan bangku jadi tidak mungkin rasanya saya membelinya. Akhirnya saya tawarkan dia makanan sekedarnya untuk menghilangkan keletihannya bekerja serta menawarkan bantuan untuk berobat mengobati sakit batuk bengiknya yang terdengar sangat parah. Bapak tua itu hanya tersenyum tabah.
“Tidak nak. Bapak lebih senang jika bangku bapak laku terjual jadi bapak bisa menjual bangku yang lain. Beli saja bangku bapak.” Pedagang. Siapa yang tak hendak barang dagangannya laris. Tapi usia tua dan kondisi bapak tua itu sungguh membuat hati menjadi miris. Harga bambu yang dipikulnya kesana kemari selama beberapa hari itu hanya ditawarkan sebesar Rp 50.000. Untuk sebuah bangku bambu yang mulai memudar warnanya dan segala pertimbangan kekurangan yang dimiliki oleh bangku bambu bukan buatan pabrik, itu harga yang cukup pantas. Bahkan beberapa orang mungkin merasa itu harga yang mahal. Tapi untuk sebuah kelelahan berjalan berpuluh kilometer keluar masuk kampung, panas dihadang hujan diterjang, rasa lapar terlewati, rasa sakit tak dirasakan, itu adalah harga yang masih sangat murah. Padahal uang itulah yang akan diberikan pada istri dan cucunya untuk kehidupan selama satu bulan di kota besar Jakarta.
Pertemuan singkat itu berlalu. Malam berganti siang dan siang berganti malam. Beberapa hari kemudian saya bertemu lagi dengan bapak tua itu. Kali ini, dia masih mengangkut bangku bambu yang sama. Baju lusuhnya pun masih baju yang sama, seragam korpri tua yang sudah mulai memudar warna birunya dan tak ketinggalan kaki yang tidak pernah beralas kaki. Saya mengajak si bapak tua itu mampir ke rumah saya dan menjamunya a la kadarnya.
“Bagaimana pak, sudah berobat ke dokter?” Saya bertanya iseng, karena sepanjang pertemuan beberapa saat itu si bapak hanya menunduk terdiam menikmati teh manis serta kue tanpa suara; hanya sesekali terdengar suara batuk keringnya yang khas.
“Belum nak. “ Si bapak tua tersenyum sopan malu-malu dan segera setelah senyumnya mengembang, sebuah batuk menghilangkan senyum yang terkembang itu. Saya tahu bapak tua itu belum mengobati sakitnya. Entah sejak kapan dia mulai sakit tapi rasanya bapak tua itu sendiri tidak pernah mempunyai pikiran untuk mengobati sakitnya itu.
“Kenapa pak? Nanti sakitnya kian parah. Apakah uang tempo hari itu tidak cukup untuk berobat?” Bapak itu menjawab pertanyaan saya dengan sebuah gelengan. Gelengan yang diiringi wajah yang tidak menampakkan kesusahan sama sekali (subhanallah).
“Tidak. Cukup Nak. Tapi saya sengaja tidak menggunakannya untuk berobat. Saya belikan makanan dan pakaian untuk istri dan cucu saya. Sudah lama kami makan tak berlauk. Saya juga belikan cucu saya mainan. Dia senang sekali kemarin. Mulutnya tidak berhenti bersenandung sepanjang hari. Kebahagiaan cucu saya itu, lebih daripada obat bagi bapak.” Bapak itu bercerita dengan mata berbinar cerah. Ada semangat yang tiba-tiba menghiasi wajah tuanya yang kelelahan. Senyumnya mengembang dan matanya menerawang menembus lantai teras yang dipandanginya. Rasanya senyum dan senandung cucunya saat itu kembali terdengar dir telinganya. Dia sangat terlihat begitu bahagia. Bahkan rona kebahagiaan itu mampu menghadirkan warna semburat kemerahan di pipinya yang sangat pucat.
Subhanallah. Itulah kebahagiaan. Saya kini bisa melihat apa itu kebahagiaan. Melihat senyum bahagia bapak tua itu saya ikut bahagia dan terharu. Tapi bagaimana caranya memberitahu pada teman saya itu? Apakah dengan cara merekam percakapan dan suasana yang baru saja saya alami pada teman saya itu dengan lengkap dalam bentuk film dokumenter? Bagaimana jika teman saya itu tidak bisa melihat pesan bahagia yang baru saja terkirim?
“Mbak, saya sekarang sudah menjadi orang yang tidak sabaran. Saya tidak sabar mencari jawaban apa arti bahagia. Apa yang harus saya miliki untuk bisa bahagia?” Pertanyaan terakhirnya, apa yang harus dimiliki untuk bisa bahagia. Saya yakin, ukuran bahagia itu tidak bersifat materi. Ini karena manusia secara fitrahnya, tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dia miliki. Jika dia belum memiliki sesuatu, dia akan berusaha untuk mendapatkannya. Ketika suatu saat dia berhasil mendapatkannya maka nilai kenikmatan memilikinya adalah sebuah kenikmatan sesaat yang segera hilang dalam sekejap. Mengapa? Karena setelah itu ada sebuah keinginan baru, yaitu ingin mencoba untuk memperoleh yang lebih baik lagi dari apa yang sudah berhasil dia miliki. Sesuatu yang lebih hebat, lebih spektakuler dan itu semua juga bersifat sementara dan terus berakumulatif. Semua kenikmatan sesaat itu bukanlah kebahagiaan. Lalu seperti apa kebahagiaan yang lebih awet itu? Coba lihat kisah berikut ini.
Suatu hari Ali bin Abu Thalib berkata pada seorang laki-laki dari Bani Sa’ad.
“Maukah kamu saya ceritakan tentang saya dan Fathimah? Ia tinggal bersama saya dan ia adalah keluarga Rasulullah yang paling dicintai oleh beliau. Namun, ia mengambil air dengan qirbah (tempat air), sehingga menimbulkan bekas di dadanya; ia menggiling dengan gilingan, sehingga tangannya bengkak; ia membersihkan rumah, sehingga pakaiannya kotor; ia bahkan juga menyalakan api di bawah periuk. Ia betul-betul capai dengan pekerjaan itu. Aku pun mengatakan kepadanya, “Jika kamu menemui ayahmu, mintalah kepada beliau seorang pembantu, agar kamu tidak lagi kecapaian dengan pekerjaan ini.”
Fathimah pun pergi menemui Nabi saw. Di tempat nabi, ia mendapati banyak orang sedang bercakap-cakap. Ia merasa malu, lalu pulang.
Nabi tahu bahwa Fathimah datang karena ada keperluan. Beliau pun datang ke tempat kami. Saat itu, kami sedang berada di tempat tidur. Beliau mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam. Masuklah, wahai Rasulullah.” Kataku. Masih dalam keadaan berdiri, beliau bertanya, “Wahai Fathimah, ada perlu apa kamu kemarin?”
Aku takut jika Fathimah tidak menjawabnya, beliau akan pergi. Aku pun mengatakan kepada beliau, “Saya ingin memberitahumu, wahai Rasulullah, bahwa Fathimah selalu mengambil air sehingga menimbulkan bekas di dadanya, suka menggiling sehingga bengkak tangannya, suka membersihkan rumah sampai berdebu pakaiannya dan suka menyalakan api di bawah periuk sampai kotor pakaiannya. Aku lalu mengatakan kepadanya, jika kamu datang ke tempat ayahmu, mintalah seorang pelayan kepadanya agar kamu tidak lagi kecapaian.”
Beliau mengatakan, ‘Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik bagi kalian dibanding seorang pelayan? Jika kalian hendak tidur, bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Semuanya berjumlah seratus dalam ucapan, dan seribu kebaikan dalam timbangan.’ Fathimah mengatakan, ‘Aku senang dengan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.’”(dikutip dari buku, “Fathimah Azzahra, penerbit Lentera Jakarta). Maka Ali berkata kepada Fathimah, “Kamu semula menginginkan dunia dari Rasulullah, kemudian Allah memberi kita pahala akhirat.”
Jadi, ujung pencarian kata bahagia itu adalah ikhlas; ikhlas karena dan hanya untuk Allah semata. Artinya untuk bisa merasakan bahagia itu maka orientasi akhiratlah yang harus kita tanamkan dalam kepala dan benak kita. Kenapa? Karena dunia dan segala sesuatu yang ada di atasnya tidak ada yang bersifat abadi.
Subhanallah (Maha Suci Allah); Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah yang memelihara seisi alam); Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Itu yang diajarkan oleh Rasulullah pada Fathimah dan Ali untuk mengurangi penderitaan mereka dan sekaligus untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Bukan harta, budak atau materi dunia. Ketiga konsep ini, mengajak kita untuk senantiasa berprasangka baik pada apapun yang Allah berikan pada kita; juga mengajak kita untuk selalu bersyukur dan ikhlas. Segala sesuatu itu akan terasa memiliki nilai yang berharga jika hati kita dipenuhi rasa syukur atasnya. Segala sesuatu itu akan terasa ringan dan nikmat jika kita menerima dan melakukannya dengan penuh ikhlas. Jika semuanya ‘fine-fine saja’, ‘ikhlas-ikhlas saja’, maka rasa bahagia itu akan bisa kita rasakan di dalam diri. Itu sebabnya kebahagiaan itu hanya bisa dirasakan di hati individu yang bersangkutan saja. Tapi, bagaimana menjabarkan ini semua pada teman saya itu jika saya sendiri masih belajar untuk menjadi seorang yang bisa selalu brsyukur dan ikhlas? Paling banter teman saya itu akan mengatakan bahwa jawaban saya adalah jawaban klise.
Hmm… klise memang; namun demikianlah.
Semoga Allah memberikan rahmatNya pada kita semua, dan saya doakan agar kamu dan saya serta ummat Islam di muka bumi akan memperoleh kebahagiaan sebagai hadiah terindah dari-Nya. Aamiin.
Ade Anita
Berbahagia Menjadi Lajang
Publikasi: 16/06/2003 08:44 WIB
eramuslim, Bagi seorang wanita pada umumnya, melajang dalam usia matang sungguh tak nyaman. Betapa pun, menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini sangat bisa jadi menjadi penyebab guncangan jiwa yang bersangkutan. Ditambah lagi budaya dan paradigma yang berkembang di masyarakat yang memojokkan wanita lajang. Perawan tua, tidak laku dan kalimat-kalimat semacamnya menjadi label bagi mereka yang belum menikah. Belum lagi tuntutan dan pertanyaan dari keluarga dan tetangga kiri-kanan tiap ketemu yang bikin sebal,” Kapan menikah?”
Bagi seorang wanita normal, keluarga dan anak-anak adalah harapan dan cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa ketenangan. Anak-anak adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika setiap wanita menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya. Tapi masalahnya, menikah tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan, yang dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena kriteria yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena takdir belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita lajang di usia matang hampir menjadi fenomena.

Lantas bagaimana?
Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita. Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial.
Dengan sepeda motornya ia menjelajahi pelosok desa, mengisi kajian dan memberikan penyuluhan di kampung-kampung miskin dan desa-desa terpencil. Ia menjadi panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan, ia menjadi tempat orang-orang lugu itu meminta nasihat.
Muslimah itu, masih lajang dalam usianya yang 35 tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak yatim dengan kemampuannya sendiri. Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya ‘keluarga’. Wanita itu tak kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya ‘anak-anak’ tempat ia mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak digugat kesendiriannya karena ia menebar manfaat.
Membaca kisahnya, banyak inspirasi yang bisa diambil oleh kaum wanita, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa yang dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi kemanusiaan.

Jika kita renungan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah.
Seorang wanita lajang akan lebih mudah bergerak dan beraktifitas karena ia tak dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang wanita lajang akan bisa lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal waktu, peluang dan kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas sosial masyarakat yang mandeg karena ditinggal penghasungnya (yang seorang wanita) menikah? Berapa banyak aktifitas yang masih terus berkembang karena penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih lajang dan punya waktu banyak untuk berkomitmen?
Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai wanita? Bukankah pintu tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di dunia ini yang butuh asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita? Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema terutama berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak yang kurang dalam pendidikan dan asuhan.
Dalam kesendirian dan kemandirian kaum wanita, barangkali Allah memang mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk dididik, untuk diasuh. Mereka adalah anak-anak kita juga, begitu Emha Ainun Najib pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya di buku Markesot Bertutur. Anak-anak sesungguhnya adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti dijaga. Sekalipun mereka tidak lahir dari rahim kita.
Saya percaya, selalu ada hikmah di balik setiap realitas yang ditetapkan Allah. Banyaknya wanita lajang pada masa sekarang, mungkin karena Allah menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi lembut namun perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu diantaranya adalah mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak tetangga yang kurang perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu diantaranya adalah ikut membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya pendidikan dan aktifitas publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu, kemampuan dan kemandirian seorang wanita.
Mereka butuh kita, para wanita lajang yang mandiri, yang sanggup menafkahi diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki perhatian dan kemauan lebih untuk all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh para wanita yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap memiliki keluarga, meski bukan karena pernikahan. Kita dapat memiliki makna, meski bukan dengan car menjadi ibu rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi manusia seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian semua orang, tanpa perlu menuntut dan meminta para lelaki untuk menikahi dan berpoligami. Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orang tua asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan, mendirikan taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi terhadap komunitas dan masyarakat. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita. (azi_75@yahoo.com, tulisan ini sama sekali bukan mendorong kaum wanita untuk melajang).
Prita dan Balon Pink-nya
Publikasi: 04/06/2003 10:24 WIB
eramuslim - “Prita terbujur kaku diatas tempat tidur, bu.” Suara keponakanku yang melengking mengagetkanku. Dengan langkah kecil setengah berlari dan sekaligus setengah berjingkat, aku mengikuti keponakanku yang baru berusia tujuh tahun itu yang telah berlari mendahuluiku menuju ke kamar untuk menunjukkan akting Prita yang memperagakan orang meninggal dunia.
Benar saja. Di atas tempat tidur, anakku yang baru berusia empat tahun itu tampak tidur telentang dengan tangan bersedekap diatas dada, kaku. Wajahnya ditutupi dengan selembar tabloid. Ketika tabloid itu aku angkat tampak matanya terpejam sangat lekat. Irama napasnya pun diatur sedemikian rupa sehingga tampak seperti tertahan. Bahkan aku lihat kedua tungkai kakinya menghadap ke atas, tidak terjatuh ke samping seperti layaknya orang tidur. Subhanallah. Akting Prita untuk memperagakan orang meninggal dunia kali ini sangat luar biasa.
Kukecup kening gadis mungilku ini dengan penuh sayang. Mata Prita yang semula terpejam rapat terbuka dengan binar-binar keceriaan menari di dalamnya. Senyumnya terkembang penuh kepuasan. Wajah kami sangat dekat satu sama lain.
“Sedang apa sayang?” Kuelus rambutnya yang tipis kecoklatan.
“Lagi jadi orang meninggal.” Prita menjawab dengan ringan, tanpa rasa bersalah. Padahal seandainya dia bisa melihat apa yang terjadi dalam gejolak didalam dadaku, tentu gadis kecilku ini akan terdiam dan menyesali ucapannya yang polos dan spontan itu. Bagaimana tidak meloncat jantungku mendengar ucapannya tapi aku mencoba untuk tetap tenang.
“Kok jadi orang meninggal sih?”
“Iyah…. Seperti enin, ibu. Enin kan sudah meninggal.” Kalimat bocahnya mengalir lancar dari mulutnya. Enin adalah sebutan untuk memanggil nenek. Yup. Ibuku baru saja meninggal dunia dua hari yang lalu. Kenangan itu tentu saja masih membekas sangat jelas di kepala Prita. Si kecilku ini ikut sibuk ketika musibah ini terjadi. Begitu banyak tamu yang datang hingga dia repot sendiri menyambut karena mendadak memperoleh begitu banyak teman bermain. Hanya saja, jika biasanya teman bermainnya didampingi orang tua yang tersenyum atau tertawa, kali ini para orang tua yang membawa anak-anak mereka banyak yang berwajah duka. Tapi semua kedukaan orang dewasa itu tidak mengurangi keceriaan masa kanak-kanak Prita dan teman-temannya. Bagi mereka kegiatan bermain bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Entah itu suasana pesta ataupun suasana berduka. Dari tempatku menerima tamu yang ingin mengucapkan rasa bela sungkawa, aku beberapa kali melihat Prita mendekati jenazah neneknya. Entah apa yang ada di pikirannya tapi aku acap kali menangkap dia sedang berdiri dengan wajah polos menatap neneknya secara seksama, sebentar lalu kembali berlari menemui teman-temannya. Mungkin dia mengira neneknya masih tertidur di tengah ruang tamu tanpa mempedulikan para tamu yang datang. Sama seperti jika neneknya dirawat di rumah sakit, meski banyak tamu yang datang si nenek tetap berbaring di tempat tidur.
Aku tak pernah mencari tahu apakah dia mengerti bahwa neneknya sudah pergi menghadap Ilahi. Hanya saja aku lihat beberapa orang memberi tahu Prita bahwa sang nenek sudah meninggal dunia. Aku lihat Prita hanya mengangguk setiap kali dia datang memeriksa sang nenek yang terbaring dan selalu ada orang di sekitar sang nenek yang memberi tahunya bahwa sang nenek sudah meninggal dengan wajah sedih. Wajah Prita sama sekali tak terpengaruh dengan kesedihan wajah orang-orang di sekelilingnya. Dia hanya tersenyum dan kembali berjalan hilir mudik dengan keasyikan tersendiri.
Kenyataan itu membuatku berpikir dan bertanya dalam hati. Sesungguhnya, apa yang Prita pahami dari sebuah kematian itu. Tapi kesibukan menerima para tamu yang ingin mengucapkan ikut berbela sungkawa membuatku lupa dengan pertanyaan itu hingga akhirnya aku lihat Prita sering sekali memperagakan akting orang meninggal. Dan subhanallah, aktingnya lumayan bagus.
***
“Hei you…” Aku menyapa Prita yang sedang duduk menyisiri rambut boneka Pooh-nya. Prita hanya tersenyum lebar mendengar sapaanku.
“Hari ini kita ke rumah enin lagi bu?”
“Iya. Hari ini ada pengajian di sana, nanti Prita main saja yah di kamar tapi jangan lari-larian di tengah tamu.”
“Iyah… Iyah… Prita ngerti kok, Enin kan sudah meninggal.” Dengan gaya meniru jawaban orang dewasa, gadis mungilku ini terlihat kian menggemaskan. Kukecup pipinya yang kenyal dan membuatnya tertunduk sambil menahan tawa karena kegelian.
“Eh.. Prita. Prita tahu nggak meninggal itu apa?” Spontan kalimat bertanya itu keluar dari mulutku.
“Tahu.” Prita menjawab dengan lantang dengan ekspresi wajah yang masih menyisakan sebuah tawa karena sentuhan canda yang aku berikan sebelumnya.
“Apa?”
“Nggak tahu.” Loh. Kok jawabannya berubah-rubah gitu?
“Tadi katanya tahu.”
“Iyah, Prita tahu tapi nggak tahu.” Ah. Anak usia empat tahun. Aku tersenyum mendengar jawabannya.
“Meninggal itu, artinya kita akan berpisah dengan orang-orang yang kita kenal, orang yang kita sayangi. Kalau sudah meninggal, kita tidak akan bisa lagi bertemu dengan semua orang.” Kulirik Prita sejenak, melihat reaksinya. Tapi wajah polos itu masih asyik menatapku dan seakan menelan semua perkataanku dengan kepolosannya. Aku tak bisa menebak apakah dia mengerti ucapanku atau tidak.
“Ooo, karena Enin sudah di kubur di dalam tanah yah bu?” Prita bertanya untuk memperoleh keterangan. Rupanya kepala mungil ini mengerti apa yang aku terangkan padanya.
“Iyah. Semua orang yang sudah meninggal dikubur di dalam tanah. Prita kemarin lihat kan Enin di kubur, terus dulu Bude di Solo juga dikubur.”
“Iyah, Prita inget.” Gadis mungilku ini mengangguk kuat-kuat tapi ekspresi wajahnya masih memperlihatkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Demi melihat ekspresi itulah aku menunggu apa yang ingin Prita katakan. Sungguh, aku mengharapkan dia bertanya banyak padaku sehingga aku bisa meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam pergumulan pikiran bocahnya. Kepolosan wajah kanak-kanak sering kali menjebak orang dewasa untuk mengambil kesimpulan singkat bahwa kanak-kanak tidak mengerti peristiwa apa yang terjadi di sekitarnya. Dunia kanak-kanak sering dianggap sebagai dunia yang terpisah dengan dunia orang-orang di sekitarnya. Mungkin karena wajah polos yang semua anak-anak miliki dan keceriaan mereka yang rasanya tak pernah pudar dalam situasi dan kondisi apapun.
“Bu… Kenapa orang meninggal selalu pergi ke dalam tanah? Memangnya di dalam tanah ada apa bu?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Prita. Bukan karena isi pertanyaannya tapi karena rasa bahagia bahwa pada akhirnya Prita memberiku kesempatan untuk menerangkan hal yang sangat abstrak ini padanya. Alhamdulillah. Kebahagiaan seorang ibu itu salah satunya adalah jika bisa menjadi tempat pertama untuk bertanya bagi anaknya. Kematian itu adalah rahasia Allah yang harus diyakini oleh manusia. Peristiwa gaib yang harus diyakini sebagai sebuah takdir dan pemahaman terhadap kematian menjadi bagian dari keimanan seseorang. Sesungguhnya, semua kita adalah calon-calon mati. Dengan hati-hati aku mencoba untuk menerangkan peristiwa tersebut dengan sangat sederhana padanya.
Wajah Prita berubah-ubah ekspresi mendengar penjelasanku. Walau sudah diusahakan untuk memilih penjelasan sederhana dengan harapan bisa dimengerti oleh bocah kecilku ini, aku tetap sulit untuk menebak apakah ucapanku bisa dicernanya. Aku hanya bisa berharap Prita mengerti paling tidak sebagian dari apa yang aku terangkan padanya.
“Dah.. Prita ngerti apa yang ibu jelaskan tadi?”
“Ngerti.” Prita mengangguk dengan penuh kemantapan dan memberiku sebuah kecupan di pipi dan keningku.
“Prita sayang sama ibu.” Bibir mungilnya berkata setelah memberiku kecupan dan dari kedua bola matanya aku melihat pancaran rasa sayangnya yang berlimpah tertuju hanya untukku. Alhamdulillah, aku pun menyayangi permata hatiku ini.
“Sama, ibu juga sayang sama Prita, sayang banget malah.” Prita tersenyum malu dan kembali ke posisi duduknya seperti semula. Sementara di luar rumah, kudengar suara tukang balon gas yang membunyikan suara terompet khasnya. Aku melonjak berdiri dan berdiri menatap Prita.
“Prita mau balon?”
“Mau.” Gadis mungilku langsung berdiri dan berlari mendahuluiku ke arah tukang balon gas. Aku tergopoh-gopoh menyamai langkahnya yang lincah. Ah, tubuhku kian hari kian gemuk sehingga membuat langkahku tak selincah dahulu lagi. Aku menyalahkan diriku setelah sampai di sisi tukang balon gas dengan napas tersengal-sengal.
“Prita mau yang warna pink bu, itu. Itu yang warna pink.” Tukang balon langsung meraih balon warna pink yang melayang di udara dan tertambat dengan seutas tali layangan tipis.
“Eh…. Jangan yang itu bang. Saya mau yang baru saja, biar lebih awet melayangnya. Tolong tiupkan yang baru bang dan anak saya mau yang warnanya sama dengan yang dipajang itu.” Prita tersenyum padaku dengan ekspresi wajah penuh rasa terima kasih. Segera setelah dia menerima balonnya dan aku memberi bayaran pada tukang balon, ucapan terima kasih keluar dari bibir mungilnya. Dan kembali dengan kaki lincahnya Prita berlari masuk ke dalam rumah mendahuluiku. Hmm, aku memang harus mulai diet agar tidak terlalu berat membawa tubuh besar ini.
***
Berapa lama balon udara bisa melayang di udara? Lima jam, tujuh jam, sembilan, sepuluh atau dua belas jam? Rasanya aku harus sudah mulai mencari keterangan yang pasti mengenai hal itu. Karena saat ini rasanya aku sangat membutuhkan keterangan tersebut. Putri kesayanganku tidak ingin tidur karena ingin bersama balon barunya. Aku sudah katakan padanya bahwa udara yang berada di dalam balonnyalah yang membuat balon tersebut bisa melayang di udara. Tapi karena dinding balon yang tipis maka sedikit demi sedikit udara tersebut keluar dari dalam balon tersebut, dan membuat daya terbang sang balon kian berkurang. Pada saatnya, balon tersebut akan turun ke lantai, tidak mampu lagi terbang. Dan kini malam sudah semakin larut tapi permata hatiku ini masih setia menggenggam tali balon udaranya erat-erat.
“Kamu ingin melihat balonmu turun ke lantai karena kehabisan udara yang membuatnya bisa melayang yah?” Prita menggeleng.
“Prita tidak ingin balon ini turun ke bawah. Ini balon Prita.”
“Tapi sekarang sudah waktunya untuk tidur. Ayo tidur dulu, besok pagi insya Allah kamu bisa bertemu lagi dengan balon ini. Cuma, kamu jangan kecewa jika balon ini sudah tidak bisa lagi terbang.” Sebutir air mata mengintip dari bola mata gadis mungilku ini. Lalu butiran itu meluncur ke pipinya yang tembem dan putih kemerahan, membentuk sebuah sungai kecil yang berkelok-kelok di raut wajahnya yang sudah mulai setengah mengantuk. Dengan tangan yang tergenggam karena memegang tali balon, dengan cekatan Prita menghapus air matanya yang meloncat keluar itu.
“Tidak apa-apa sayang. Kan ibu sudah menerangkan padamu bahwa semuanya itu ada akhirnya. Yang bagus nanti juga bisa jadi jelek, yang terbang melayang akhirnya akan turun ke tanah juga.”
“Tapi aku ingin balonku tidak berubah….” Prita bergerak memelukku dan menyembunyikan wajah mungilnya yang bersedih dalam pelukanku. Isak tangisnya pecah disana, isak tangis kesedihan karena takut akan sebuah perpisahan. Tanpa terasa genggaman eratnya pada tali balon terlepas tapi tampaknya Prita tak lagi mempedulikannya. Dia hanya memelukku kian erat. Kuelus rambut halusnya dan mulai menggiringnya untuk berbaring di atas tempat tidur. Dia tidak ingin melepaskan pelukannya dan terus menyembunyikan wajahnya yang sedih di dalam pelukan.
“Besok kita main lagi dengan balon insya Allah. Mungkin balonnya sudah tidak bisa lagi terbang, tapi itu artinya kita bisa bermain dengan bentuk permainan yang baru. Dijadikan sepak bola, atau jadi badminton juga bisa. Iya kan?”
“Nggak mau, aku mau balonku tetap terbang.” Prita menggeleng kuat-kuat tapi tak ada lagi isak tangisnya. Setelah kupimpin dia untuk membaca doa menjelang tidurnya, tak lama kemudian Prita tertidur di atas pangkuanku.
Setelah Prita tertidur, aku pergi meninggalkan kamar dan menghampiri suamiku yang sedang menonton televisi. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal hingga malam semakin larut dan tiba-tiba aku melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Balon Prita mulai turun perlahan-lahan dari ketinggiannya yang pongah. Tanpa daya dan sangat perlahan, balon tersebut jatuh perlahan-lahan ke arah bumi. Begitu menyentuh lantai, kembali dengan sisa udara yang masih dimilikinya, balon itu terdorong ke atas lagi tapi tak lama kembali turun. Rasanya seperti dipaksa untuk turun dari ketinggian dan sang balon berusaha untuk mempertahankan diri namun tiada lagi dayanya. Meski terpaksa balon itu terlihat terus berjuang dengan sisa kekuatan yang masih dimilikinya untuk tetap bertahan, hal mana membuat proses turunnya sang balon ke arah lantai sangat lambat tapi subhanallah sangat indah menakjubkan. Mengingatkanku akan kekuasaan Allah yang tiada tandingannya. Meski seberapa besar kekuatan yang kita miliki, pada akhirnya suka atau tidak suka, semuanya akan bertemu dengan simpul akhir.
Pada akhirnya, semuanya akan berakhir hanya Allah-lah yang Maha Abadi. Seperti peristiwa kematian yang pasti akan menghampiri setiap insan di muka bumi, seperti peristiwa kematian yang baru saja menghampiri ibuku tercinta. Tanpa terasa ada segumpal kesedihan yang tiba-tiba muncul keluar dari dalam dadaku dan membuatku ingin menangis. Tanpa bisa ditahan lagi aku menangis dan segera menyembunyikan wajahku di pelukan suamiku dan menumpahkan tangisku di sana.
Oh, ibu; semoga Allah melapangkan alam kuburmu dan mensejahterakan engkau yang berada dalam kesendirianmu di sana. Aamiin.
***
Bangun tidur Prita langsung mencari balonnya dan mendapati bahwa balon pinknya sudah tergolek di atas lantai tanpa daya. Tali layang-layang yang terikat di ujungnya tampak menjulur tiada lagi artinya. Wajah Prita tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ditatapnya balon tersebut dengan wajah kecewa.
“Balonku sudah tidak bisa terbang lagi.” Suaranya menggumam. Diraihnya balon yang tampak tak berdaya itu ke dalam pelukannya.
“Eh, alhamdulillah nak Cuma tidak bisa terbang. Coba kalau pecah, wah, kamu tidak punya balon lagi kan.” Aku mencoba menghiburnya.
“Iyah yah.” Seulas senyuman hadir menggantikan wajah sedihnya. Subhanallah, bukan main pertahanan seorang kanak-kanak untuk mengusir kesedihan dan menghadirkan keceriaan di dalam hidupnya. Karunia Ilahi yang tiada tertandingi bagi mereka.
“Balon tidak bisa meninggal, jadi tidak usah dikubur. Tapi bisa pecah yah bu, Door.” Kalimat Prita meluncur ringan tapi terasa begitu dalam di telingaku. Alhamdulillah rupanya dia bisa mengerti gambaran abstrak yang aku terangkan padanya tentang kematian kemarin.
“Iyah, seperti lagu yah nak yah. Masih inget nggak Prita gimana lagunya?”
“Inget.” Lalu dari bibir mungilnya meluncur sebuah lagu kanak-kanak balonku ada lima.
“Balonku ada lima. Rupa-rupa warnanya. Hijau kuning kelabu, merah muda dan biru. Meletus balon hijau, DOORR. Hatiku sangat kacau. Balonku tinggal empat, kupegang erat-erat.” Prita menyelesaikan lagu yang dinyanyikannya dengan indah. Tangannya kini tampak memeluk balon pink yang sudah tak berdaya untuk terbang itu erat-erat. Yah, meski sudah berkurang kelebihan balon tersebut, tapi selama masih bisa dipeluk tentu dia akan menjaganya sebaik mungkin sebelum balon itu pecah. Karena jika balon itu pecah artinya berakhirlah segala kesenangan memiliki balon. Seperti kematian yang mengakhiri semua kesenangan hidup di dunia ini.
Innalillahi wa innailaihi rajiun.
***
Mengenang ibunda tercinta, wafat: 18 April 2003
Dalam separuh hidupku, engkaulah sosok yang paling berjasa.
Dari lubuk hati terdalam, aku sayang padamu Ibu.
Selalu.
Si Pembersih Muka, Pemutih Wajah
Publikasi: 02/06/2003 16:44 WIB
eramuslim - Wanita mana sih yang tidak kepingin punya wajah mulus, segar, lembab serta cantik dan putih seperti yang banyak ditawarkan oleh iklan-iklan pembersih-pemutih wajah di televisi? Saya percaya, anda ada diantara mereka. Pun, juga saya.
Sejak saya mulai ‘aware’ dengan penampilan, saya pun tergoda dengan berbagai produk pembersih wajah, baik yang konvensional/dua langkah (susu pembersih) maupun yang instan/satu langkah (sabun wajah). Apalagi mereka banyak menawarkan kelebihan: membuat wajah lebih lembut dan halus, lebih putih, tidak membuat kulit menjadi kering dan kaku, dan sebagainya. Setelah saya bekerja dan banyak berada di ruang ber-AC dan di lapangan, membersihkan wajah menjadi suatu hal wajib bagi saya.

Maka saya mulai mencoba-coba dan melirik berbagai pembersih wajah dengan berbagai kualifikasi tersebut. Yang paling banyak adalah sabun muka yang bisa digunakan secara instan sekalian mandi karena saya bukan tipe orang yang sabar berlama-lama membersihkan wajah sepulang dari bekerja atau bepergian.
Pernah saya beberapa waktu menggunakan sabun wajah yang menjamin kulit akan menjadi lebih putih dalam enam minggu. Namun ternyata tak ada perubahan apapapun pada warna kulit wajah saya setelah saya berbulan-bulan memakainya. Padahal setiap digunakan sabun muka tersebut memberikan rasa perih dan panas. Akhirnya saya menghentikan penggunaan barang tersebut.
Pernah juga saya menggunakan pembersih yang katanya mengandung scrub dan sanggup mengangkat sel kulit mati, namun malahan membuat tumbuh bintik-bintik berair di kulit wajah saya.
Apapun jenis pembersih yang saya gunakan, dengan susu pembersih ataupun sabun wajah, saya selalu mengakhiri dengan air. Ya, air tanah atau air pam, dingin atau hangat. Rasanya tidak afdhal jika tidak memberikan finishing touch berupa air. Ada yang terasa lengket jika tidak dibasuh kembali dengan air, sisa-sisa pembersih itu. Sekalipun sudah diberi penyegar. Dan memang, setelah dibasuh dengan air, kesegarannya lebih terasa. Wajah pun tampak lebih berseri dan lebih terang.

Jika saya amati, wajah yang terasa lebih segar, tampak lebih berseri dan terang ini buku hanya saya rasakan setelah menggunakan pembersih, tetapi setiap kali saya membasuh wajah dengan baik. Baik disini adalah dengan menggosok, mengusap dan membasuh berulang, sekitar tiga kali. Bukan sekedar mengusapnya atau membasahi dengan air.
Saat-saat itu adalah saat saya berwudhu dengan khusyuk dan tuma’ninah (tenang). Pertama-tama mencuci telapak tangan dan mengucap basmalah, dilanjutkan dengan berkumur dan menghirup air melalui hidung, diteruskan membasuh wajah. Tentu saja semuanya tidak dilakukan dengan asal-asalan atau asal basah. Tetapi dengan sepenuh perasaan dan keyakinan bahwa usapan demi usapan, gerakan demi gerakan yang dilakukan dapat melunturkan kontoran dan daki di telapak tangan, menghapus semua kotoran di dalam hidung, melarutkan sisa-sia makanan dalam mulut serta mengangkat minyak dan kulit mati dari wajah.

Selama ini, pada saat berwudhu, saya menggosok wajah dengan gerakan massage, untuk membersihkan sisa-sisa minyak dan daki yang tertinggal, juga sekaligus mengendorkan urat dan melancarkan aliran darah serta merangsang syaraf. Barangkali inilah yang menyebabkan sehabis berwudhu wajah terasa segar dan berseri.
***
Wudhu, selain merupakan kewajiban, juga memberikan manfaat yang banyak secara fisik. Hal ini bisa dipahami dengan ilmu dan logika. Seorang muslim dan muslimah, rata-rata berwudhu lima kali sehari. Efek logisnya, wudhu akan dapat membersihkan minimal anggota tubuh yang banyak/lebih mudah kotor karena tidak tertutup baju atau banyak digunakan beraktifitas seperti wajah, tangan, kaki, mulut, hidung.
Dan ketika membasuh anggota wudhu, maka basuhan tersebut akan memberikan rangsangan terhadap syaraf-syaraf di anggota wudhu yang dibasuh. Ketika kita membasuh muka dan menggosoknya, maka pada saat itu kita meluruhkan kotoran-kotoran di muka kita sekaligus merangsang syaraf pada wajah. Hal ini akan berakibat wajah bersih, segar, berseri dan juga kencang.
Ketika kita berkumur (lebih bagus lagi menyikat gigi) ketika berwudhu, hal ini akan membersihkan gigi dan mulut kita. Hingga gigi kita tak gampang sakit dan mengurangi bau mulut. Bukankah ini juga bagian dari kecantikan? Ketika kita menghirup air ke dalam hidung, tentu saja air tersebut akan meluruhkan kotoran dan merangsang saraf hidung dan menjaga kesehatannya.
Ketika membasuh kaki. Dan menggosoknya, maka kita sekaligus merangsang saraf di telapak kaki. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa telapak kaki merupakan pusat saraf yang jika mendapat rangsangan bisa memberikan perbaikan dan menyehatkan organ tubuh lainnya. Di telapak kaki juga terdapat saraf yang berhubungan dengan wajah, sehingga merangsang saraf kaki insyaAllah akan ikut menjaga wajah yang segar, tidak cepat tua dan tentu saja cantik.

Itulah wudhu, yang dengannya Allah menyatakan bahwa air wudhu yang mengalir dari sela jari-jari akan menggugurkan dosa-dosa. Lebih dari itu, bahkan Allah mengatakan bahwa bekas wudhu itu akan memancarkan sinar di wajah pemiliknya. Maka, selain berpahala, wudhu menjadikan wajah kita semakin berseri, bukan saja karena secara fisik ia mengangkat semua kotoran, tetap karena ia juga menjadi penyebab terpancarnya inner beauty: jiwa yang tenang dalam ketaatan, dan jiwa yang terbersihkan dari dosa-dosa.

***
Semestinya saya bersyukur, meskipun berkulit hitam, Allah mengaruniai saya kulit yang sehat dan bagus. Saya nyaris tak pernah mengalami problema iritasi kulit atau jerawat sebagaimana yang diresahkan wanita-wanita pada umumnya. Dengan demikian, semestinya, wudhu yang minimal lima kali sehari itu suah sangat cukup untuk menghapus semua kotoran yang bersarang di wajah dan anggotanya, sekaligus membuat wajah nampak segar, berseri dan cemerlang. Dan membersihkan wajah dengan bahan-bahan kimia dan alat kosmetik, cukuplah menjadi pelengkap saja. Bukankah Allah telah menyediakan pembersih yang paling sempurna, yang mampu menghapus segala kotoran dan noda? Jiwa dan raga? (Azimah Rahayu/azi_75@yahoo.com)
de Anitaadeanita_26@yahoo.com.au
Si Kentang Yang Buruk Rupa
Publikasi: 14/05/2003 07:48 WIB
eramuslim - Apa yang ada di benak kalian jika mendengar istilah ‘cuci gudang” ? Mungkin yang terbayangkan adalah memilih segala sesuatu yang selama ini menjadi isi gudang. Barang yang tidak berguna dan tidak layak pakai akan masuk ke dalam tong sampah. Barang yang masih layak pakai tapi tidak lagi berguna akan dijual dengan harga sangat miring sebagai barang obral. Barang yang masih layak pakai juga masih berguna akan digunakan lagi. Itu kalau di sebuah perusahaan. Kalau dalam rumah tangga dan tugas keseharian ibu rumah tangga seperti aku, maka tidak ada istilah ‘cuci gudang’, yang ada adalah istilah ‘cuci kulkas”.
Kulkas itu kan isinya bisa bermacam-macam. Paling tidak kulkas di rumahku. Mulai dari sayuran, daging, minuman, makanan, bumbu masakan, obat yang harus selalu tersedia di rumah bahkan hingga alat-alat kosmetik. Lipstik, maskara, pelembab, cream untuk creambath, lulur, masker wajah, tonik rambut semua ikut masuk kulkas. Bahkan ada juga keping kaset audio disana. Mungkin cuma gajah yang tidak ada di sana. Meski semua orang sudah memberitahuku caranya memasukkan gajah ke dalam kulkas tetap saja hanya gajah yang tidak ada di dalam kulkasku. Acara cuci kulkas sesungguhnya adalah acara yang tidak istimewa dan sama sekali tidak menarik. Itu sebabnya aku sering mengajak anggota rumah yang lain untuk ikut serta meramaikannya. Biasanya sering muncul cerita menarik dari keterlibatan permata-permata kecilku yang selalu menganggap semua kegiatan yang dilakukannya adalah hal yang mempunyai sisi menarik.
“Tolong ambilkan ibu kantung plastik belanjaan yang besar dong.” Si sulung tidak langsung mengerjakan perintahku tapi memandang wajahku dengan sebuah tanda tanya besar bertengger di wajahnya.
“Buat apa bu?” Tanyanya dengan rasa ingin tahu yang besar. Usianya baru akan memasuki tujuh tahun.
“Ini.. ibu mau membuang sayuran busuk dan rusak yang ada di kulkas. Mereka tidak mungkin lagi dimasak, nanti malah jadi racun di tubuh kita.” Mendengar kata racun, si sulung langsung bergerak mengambil kantong plastik belanjaan yang sudah tak terpakai dan membentangnya sehingga aku bisa leluasa menumpahkan sayuran yang sudah rusak ke dalam kantong tersebut. Ada buncis yang sudah berwarna kehitaman, ada wortel yang sudah sangat keriput, capsicum yang sudah loyo, bawang merah yang sudah peyot, tomat yang sudah mulai berjamur dan kentang yang sudah sangat dekil permukaan kulitnya. Si sulung memandang semua sayuran tersebut dengan ekspresi wajah serius.
“Kenapa sayurannya dibuang bu?“
“Sudah jelek, mungkin sudah rusak.”
“Apa semua yang jelek dan rusak harus dibuang?”
“Ya. Semua yang jelek dan rusak harus dibuang, … apa saja yang jelek dan rusak harus dibuang.” Aku memberi penekanan intonasi suara pada pernyataan terakhirku. Maksudku untuk mengingatkan dia bahwa segala sesuatu yang jelek dan merusak itu tidak boleh dipelihara.
“Apakah yang jelek dan rusak itu bisa dipelihara agar tumbuh baik lagi bu?” Wah. Aku terdiam sejenak dari kegiatanku mencuci bak sayuran. Pertanyaan yang keluar dari bocah usia tujuh tahun kurang ini terasa menggoda. Jika aku menjawab tidak bisa, itu sama artinya aku mengajarkan padanya bahwa harapan itu adalah sebuah tindakan sia-sia dan mukjizat itu adalah sesuatu yang hanya ada di cerita dongeng saja. Sedangkan jika aku menjawab bisa, aku tidak tahu ide apa yang sekarang sedang berputar di dalam kepala anak sulungku ini.
“Kamu punya ide untuk melakukan sesuatu yah?” Akhirnya aku bertanya dengan santai padanya. Lelah jika harus dialog dan menebak-nebak isi kepala orang lain, meski dia anakku sendiri. Anakku tersenyum sumringah malu-malu.
“Ah, enggak.” Dia menunduk kian malu.
“Nggak papah, bilang ajah mau ngapain, nanti ibu pikirin buat nolak atau nerimanya. Yang penting sekarang ngomong dulu.” Sambil berkata seperti itu tanpa sadar dalam hati aku berdoa agar ide yang kelak terlontar dari mulut si sulung ini tidak kelewat aneh dan luar biasa.
“Aku mau minta kentangnya bu. Boleh?”
“Kentang rusak ini?”
“Iyah, kentang rusak ini.”
“Buat apa?” Aku melirik ke beberapa butir kentang yang sekarang tampak tertidur pasrah di dalam kantong plastik yang dipegang si sulung, bercengkrama akrab dengan sayuran busuk lain mantan tetangganya di bak sayuran dalam kulkas dulu. Dalam hati cepat kuhitung jumlah kentang tersebut. Seluruhnya ada enam butir. Bentuknya masih bulat tapi warna kulitnya sudah sangat kusam, kering dan kehitaman. Juga mulai muncul banyak benjolan di sekeliling tubuhnya. Bahkan beberapa bagian tampak sudah berjamur. Benar-benar kentang yang buruk rupa.
“Buat bikin percobaan.”
“Percobaan?”
“Iyah, percobaan. Aku mau tanam mereka di halaman depan.”
“Terus…. Percobaannya dimana, tentang apa?”
“Ya, nyoba ajah dia masih bisa tumbuh apa nggak.” Anakku menjawab santai sambil cengengesan. Cepat aku berpikir. Rasanya tidak ada ruginya memberi kentang busuk ini padanya. Aku tidak memerlukan kentang-kentang ini bahkan berniat untuk membuangnya ke tong sampah. Perkiraanku nasibnya di tong sampah atau di atas tanah tidak jauh berbeda. Kentang itu akan membusuk cepat atau lambat dan akhirnya bersatu kembali dengan tanah. Tapi kalau aku berikan pada anakku, rasa ingin tahunya akan terobati. Apakah kentang itu akan mati membusuk di tanah atau sebaliknya tumbuh subur kelak, semua akan memenuhi rasa ingin tahunya akan sebuah kehidupan yang terjadi pada makhluk hidup ciptaan Allah. Tidak ada yang rugi dan tidak ada yang terluka.
“Baik. Ambillah. Tapi kamu harus tanggung jawab yah, kalau sudah sanggup mau memelihara maka pelihara sebaik mungkin, tentang apakah dia berhasil tumbuh atau tidak itu urusan belakangan. “
“Siip deh bu, insya Allah aku pelihara.” Dan spontan pegangannya pada kuping kantong plastik dilepaskannya begitu saja. Tangannya dengan gesit tanpa rasa risih atau jijik meraup kentang-kentang yang sudah bercampur dengan sisa makanan busuk di dalam kantong. Dengan kedua telapak tangannya yang mungil dia meraih dan memeluk kentang-kentang itu dan berlari menuju ke halaman depan rumah. Meninggalkan aku seorang diri di dapur dengan pekerjaan cuci kulkasku.
Senyap. Dapur yang semula berisi senandung lagu dari mulut kecil anakku kembali senyap. Dengan cekatan aku segera secepatnya menyelesaikan pekerjaan cuci kulkasku. Kegiatan yang semula menarik ini jadi terasa melelahkan jika tidak ada teman yang menemani. Segera setelah pekerjaan cuci kulkas selesai aku melesat ke depan rumah, menyusul anakku yang sekarang sudah sibuk membuat lubang-lubang kecil di atas tanah dengan bantuan sekop mininya.
Anakku memang punya minat cukup besar pada kegiatan tanam-menanam. Sekarang, di atas tanah sudah tercetak tiga buah lubang kecil. Masih kurang tiga lubang kecil lagi untuk tempat bersemayam keenam kentang yang kuberikan padanya. Kutatap wajah anakku yang penuh semangat. Rasanya semangat yang dimilikinya menulari semangatku dan mampu menghilangkan sikap apatis terhadap kentang yang buruk rupa. Jika hidayah Allah bisa sampai pada siapapun tanpa mengenal bentuk fisik, kondisi sosial ekonomi maupun segala ukuran yang dibuat manusia untuk membedakan manusia satu dengan manusia lain sesuka mereka, maka bisa jadi hal ini juga berlaku pada kentang yang buruk rupa. Tak ada yang tahu bagaimana nasib hari esok bagi si kentang yang buruk rupa yang tampak sudah separuh mati tersebut, tapi hanya Allah yang Maha Berkuasa untuk menentukan keberlangsungan nasib dan hidupnya. Terkadang rasa malas untuk berusaha memulai sebuah usaha baru, rasa sungkan untuk mendobrak sebuah kemapanan dan rasa segan untuk memulai sebuah langkah awal mampu menyingkirkan sebuah keyakinan bahwa ada Allah yang akan membantu dimana saja dan kapan saja. Pun tak jarang mampu menyingkirkan keyakinan bahwa ada Allah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatunya di belakang semua kejadian yang berlangsung di atas muka bumi ini. Sekali lagi, untuk sebuah pelajaran berharga tentang sisi kehidupan, anakku yang masih sangat belia kembali mengajarkan aku sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dengan semangat dan melupakan rasa jijik dan risih pada tanah yang sudah menjadi lumpur karena tersiram air terlalu banyak (anakku menyiramnya agar tanah mudah digali) kucakar tanah dengan tangan telanjang dan sambil bersenandung kami menanam kentang-kentang yang nyaris busuk itu di dalam tanah.
Seminggu berlalu tanpa ada tanda-tanda kehidupan yang berarti dari si kentang.
Sebulan berlalu dan tanah yang semula bergunduk kini mulai terlihat rata hingga sudah tak begitu kentara dimana letak si kentang yang buruk rupa itu bersemayam.
Dua bulan kemudian rumput jengki mulai tumbuh semrawut. Juga tanaman liar yang berbunga sangat mungil mulai berkeliaran. Nasib si kentang yang buruk rupa? Wallahu’alam.
Tiga bulan terlampaui sudah. Anakku yang semula sering bertanya berapa lama tanaman kentang akan keluar akarnya mulai berhenti bertanya. Rasanya, sebuah kenyataan tentang hidup juga harus dia terima dan resapi. Yaitu bahwa kehidupan dan kematian murni berada di tangan Allah, Tuhan semesta alam. Siapapun yang Allah kehendaki untuk hidup, akan hidup dan siapapun yang Allah kehendaki untuk mati akan mati, bagaimanapun caranya. Tapi itu tidak mematikan semangatnya untuk tahu tentang rahasia alam dan kehidupan. Dia tetap bersemangat untuk bereksplorasi. Kali ini, biji jeruk yang dipungutnya ketika kami selesai makan jeruk sudah dia tanam di lubang yang tidak jauh dari tanaman kentang. Itupun dengan satu kesan yang cukup mendalam di hatiku. Yaitu ketika dia bertahan untuk tidak membongkar tanah di sekitar kentang yang ditanamnya. “Biarkan saja, siapa tahu kentangnya tumbuh. “. Ah, harapan. Tak bijak jika kita memberangus sebuah harapan meski secara akal sehat harapan itu rasanya sesuatu yang mustahil. Bukankah dengan adanya harapan maka manusia akan selalu berusaha dan bukankah sekali lagi, yang maha berkuasa untuk memberikan jawaban pada sebuah harapan itu hanya Allah semata?
“Bu.. Ibu… Ikut aku deh.” Aku sedang menjahit sebuah gaun ketika si sulung menarik tanganku mengajak ke halaman depan.
“Ada apa?”
“Aku mau memperlihatkan sesuatu.” Aku menurut dan itu membawaku menuju ke halaman depan dimana di sebuah tanah yang lembab kini tampak enam batang kecil yang tumbuh berjajar di atasnya dengan dua buah daun yang mulai mekar.
“Ini kentang kita dahulu bu. Dia sudah tumbuh sekarang.” Anakku memperlihatkan dengan sebuah intonasi suara yang penuh semangat dan rasa percaya diri yang memenuhi rongga dadanya. Usahanya memelihara sebuah harapan kini sudah terjawab sudah. Subhanallah. Aku terkesima dengan keberadaan enam makhluk hidup penghuni baru dunia ini. Mereka tumbuh dan mampu mematahkan mitos bahwa tidak selamanya yang rusak dan buruk rupa itu tidak punya harapan untuk memulai hidup baru yang benar-benar baru. Hidayah dan karunia Allah bisa diberikan pada siapa saja, baik mereka yang duduk di singgasana emas maupun mereka yang terpuruk di tempat-tempat yang hina dan tak dipandang orang. Subhanallah. Maha Suci Allah. (Ade Anita)
Anda Juga Boleh Ngebor!
Publikasi: 08/05/2003 10:46 WIB
eramuslim - Judul ini barangkali tak terlalu tepat dan berkait dengan materi tulisan ini. Tapi tak apalah, toh akan ada sedikit tentang ngebornya juga.
Olah raga. Satu kata ini sudah kita kenal sejak kita masih TK. Kata ini juga selalu disatukan dengan pola hidup sehat: Makan teratur dengan asupan nutrisi memadai, tidur cukup dan olahraga. Pun, kata olah raga juga selalu disebut-sebut sebagai bagian dari pembinaan diri seorang muslim(ah). Salah satu program tarbiyah dzatiyah (pembinaan pribadi), begitu katanya. Bahkan biasanya dimasukkan ke dalam mutaba'ah (kontrol) harian.
Berbeda dengan kaum muslim (laki-laki), nampaknya 'olahraga' bukanlah kegiatan yang terlalu diminati oleh kalangan muslimah: gadis maupun ibu-ibu, meskipun saya percaya, semua paham dan mengakui manfaat berolah raga. Banyak alasannya, mulai dari pemahaman bahwa olah raga adalah sebuah kegiatan yang berat dan identik dengan diet, atau alasan tidak adanya fasilitas yang memadai untuk muslimah karena tempat publik khusus muslimah yang terbatas, maupun karena alasan tidak ada waktu. Ibu-ibu beralasan banyaknya kegiatan rumah tangga dan urusan anak-anak. Sementara si gadis biasanya kebanyakan aktifitas dan memilih menggunakan sisa waktu untuk tidur dan istirahat. Alasan-alasan semacam ini yang kadangkala membuat kegiatan olah raga menjadi beban dan terasa berat.
Padahal sebenarnya tidak akan seberat itu jika kita mengubah paradigma kita tentang olah raga. Olah raga bukan hanya sebuah kegiatan yang masuk mutaba'ah harian, supaya kurus dan lain-lain yang membuat anda terobsesi. Olah raga juga tidak perlu anda anggap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Tetapi olah raga adalah salah satu kegiatan yang bisa membuat anda rileks dan bergembira. Olah raga adalah sebuah kegiatan menyenangkan yang bisa anda gunakan untuk membuang rasa stress dan mengeluarkan energi 'jahat' (seperti kemarahan, suntuk, bete) yang tersimpan.
Olah raga yang dilakukan dengan gembira juga akan memberikan manfaat yang optimal. Yang pasti, pertama, tubuh anda menjadi lebih bugar dan sehat. Kedua, penampilan pun rileks dan segar. Karena, secara psikologis anda gembira dan sekresi anda tambah lancar dengan banyaknya keringat yang keluar. Ketiga, wajah anda akan lebih berseri karena peredaran darah lancar, juga karena pancaran jiwa anda yang damai. Keempat, tubuh anda akan padat berisi, mungkin tidak kurus dan langsing, tapi yang pasti seksi dan kencang.
Nah, jika anda sudah mempersepsikan kegiatan itu sebagai kegiatan yang fun dan banyak manfaat yang akan anda dapat, maka anda tinggal memilih bentuk olah raga yang akan membuat anda tetap fun dan mendapatkan manfaat itu. Misalnya? Jalan-jalan bersama keluarga ke taman, bersenam di halaman rumah, lari keliling komplek atau ikut fitness dan senam di tempat senam. Bahkan kalau fitness dianggap terlalu mahal, anda juga bisa senam sendiri di rumah. Bukankah di televisi tiap pagi ada acara senam? Bukankah banyak VCD senam yang bisa anda dapatkan dengan mudah di mana saja? Atau bahkan anda pun bisa mengulang gerakan-gerakan yang anda peroleh di sekolah, diiringi musik atau nasyid yang rancak? (Coba ingat, nasyid melayu sangat menyenangkan untuk bergoyang)
Atau Anda mungkin bisa mencoba pengalaman saya?
Saya biasa memasukkan olah raga sebagai salah satu bagian mutaba'ah dan muhasabah (evaluasi) kegiatan harian. Namun selama ini, kolom itu kebanyakan kosong, karena alasan-alasan seperti tersebut di atas. Kadang-kadang saya berandai-andai, kapan ya saya bisa berolah raga?
Sampai kemudian, suatu saat, saya mengenang masa lalu, saat saya masih SMP. Ketika itu saya adalah penggemar disko dan menari. Meskipun tidak pernah ke diskotik, tapi saya sering menari dan bergoyang di rumah maupun di sekolah. Sejak saya SMA dan kemudian berjilbab, kegiatan itu sudah tidak lagi saya lakukan. Dan tiba-tiba saya terpikir, mengapa saya tidak melakukannya lagi? Saya toh bisa melakukannya tanpa melanggar syariat dan tidak butuh biaya. Maka beberapa waktu lalu, saya pun mulai melaksanakannya. Tak perlu dijadwal secara ketat (cukup 2-3 kali seminggu) dan cukup mengenakan oblong dan celana panjang (bahkan kadang dengan tetap berdaster pun bisa). Maka, di ruang tengah tempat saya tinggal, saya pun bersenam dan bergoyang (dari salsa, aerobik, taibo, body language) dengan panduan program televisi, diiringi musik yang rancak. Cukup 30 menit, sudah termasuk pemanasan, latihan inti dan pendinginan.
Akhirnya, saya menemukan olah raga yang paling saya sukai yaitu senam dan bergoyang. Kini, jika ada waktu longgar di pagi hari, atau saya sedang lelah dan suntuk, maka saya tinggal menyetel televisi atau bergoyang. Suatu saat, saya akan mengiringinya dengan nasyid Ruuhul Jadiid yang bersemangat itu, dan bersenam sambil bernyanyi.
Anda mau coba? Silahkan!
Bahkan sekalipun anda ingin ngebor dan bergembira, silakan ngebor sepuasnya. Asal jangan di tempat publik! Dan pastikan ada memahami gerakan ngebor anda bukanlah gerakan yang membahayakan fisiologi tubuh anda (azimah rahayu/azi_75@yahoo.com)
Bukan Sekedar Kepala
Publikasi: 06/05/2003 09:29 WIB
eramuslim - Entah sekedar pobia, trend atau memang keinginan untuk tampil seutuhnya sebagai muslimah, menunjukkan identitas diri sebenarnya. Kerudung sudah merebak. Berkerudung tidak lagi dilakukan oleh kaum ibu disaat pengajian, tapi juga oleh kalangan remaja kita, meskipun hanya sekedar menutup kepala. Tak ada lagi zamannya ‘sungkan’ berkerudung. Dimana-mana sekeliling kita jumpai muslimah berkerudung, dengan beraneka model lilitan penutup kepala. “Mode!” itu katanya. Ada yang mengikuti gaya artis A, atau artis B dalam menutup kepalanya. Bahkan tak jarang ada kerudung yang bernamakan artis tersebut. “Modis!” alasannya.
Kita sering terjebak dengan istilah jilbab itu sendiri. Apa sih sebenarnya pengertian jilbab itu? Menyusuri kata jilbab yang tentu saja berasal dari bahasa Arab, yang jamaknya disebut “Jalaabiib” berarti pakaian yang lapang/luas. Jadi jilbab itu sendiri dapat diartikan sebagai pakaian yang lapang dan dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan saja yang ditampakkan.
Sedangkan kerudung yang dalam bahasa Arabnya disebut khimaar, jamaknya khumur, berarti tutup/tudung yang menutup kepala, leher, sampai dada wanita.
Jadi jelaslah sudah perbedaan antara keduanya. Keduanya mempunyai kekuatan hukum yang kuat langsung dari Allah yaitu wajib. Sebagai suatu keharusan yang pasti atau mutlak bagi wanita dewasa yang mukminat atau muslimat. Al Ahzab (59) menegaskan “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan para wantia yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan Jilbab, yang demikian itu supaya mereka lebih patut dikenal (jilbab itu ciri khas wanita mukminat), maka mereka pun tidak diganggu. Dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
An-Nur (31) menjelaskan “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman supaya mereka menahan penglihatannya, dan memelihara kehormatannya, dan tidak memperlihatkan perhiasannya (kecantikannya) kecuali yang nyata kelihatan (muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangannya). Maka julurkanlah Kerudung-kerudung mereka hingga kedadanya. Dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya/kecantikannya; kecuali kepada suami mereka, atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau anak-anak mereka, atau anak-anak suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau para wanita mereka (yang muslimat), atau hamba sahaya kepunyaan mereka, atau laki-laki yang menjalankan kewajibannya (umpama pelayan) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mempunyai pengertian tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan (melangkahkan) kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Kedua ayat di atas merupakan seruan Allah SWT yang mesti kita jalankan. Jelas sudah mana batasan-batasan yang mesti kita jadikan protect ketat untuk muslimah sendiri. Rasulullah mengatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Turmidzi dari Ibnu Mas’ud bahwa “Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar dari rumahnya syetan pun berdiri tegak (dirangsang olehnya).”
Saudariku muslimah, mari kita melangkah bersama menuju Islam yang kaffah, masuk dalam Islam secara keseluruhan. Bukan sekedar kepala! (Qudwah, Akhir Maret 2003)
Lainnya
Bila Rasa Bersalah Menghantui
Publikasi: 30/04/2003 08:36 WIB
eramuslim - Pernahkah Anda menyesal tentang apa yang telah Anda perbuat? Pernahkah Anda menyadari Anda bisa berbuat lebih baik, tapi sudah terlambat? Pernahkah Anda berbuat kesalahan yang kemudian berakibat fatal untuk Anda dan orang lain? Kalau ya, berarti Anda manusia.
Tidak ada satu pun dari kita yang bersih dari kesalahan. Tiap orang pasti pernah berbuat sesuatu yang kemudian membuat kita menyesal, berharap bisa mengulangi momen itu tapi sia-sia karena waktu tidak pernah berputar ke arah sebaliknya.
Adalah wajar bila kita menyesal, bahkan bersedih. Tapi bagaimana bila perasaan tidak enak itu tetap menghantui kita?
Sibukkan diri
Menurut ahli psikologi, orang yang mengalami tekanan emosi berat akan lebih cepat ‘sehat’ bila menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Terutama bila ia menggunakan waktunya untuk membantu orang lain. Hal ini dikarenakan, ketika membantu orang lain, pikiran kita tidak lagi berfokus pada masalah pribadi. Kebanyakan orang tenggelam dalam permasalahannya karena tidak bisa melihat ada dunia lain yang berputar di luar dunianya.
Misalnya saja kita lupa menghitamkan bagian nama saat UMPTN/SPMB. Menyesalnya pasti tidak ketulungan. Memang itu menyedihkan dan berat. Tapi mungkin rasa sakit itu akan berkurang bila kita melihat ada seorang anak korban perang yang tidak hanya kehilangan semua anggota keluarganya, tapi juga kehilangan kedua lengan dan terbakar seluruh tubuhnya. Ternyata ada orang yang lebih berat permasalahannya, daripada kita.
Jangan menyalahkan keadaan
Menyalahkan keadaaan hanya akan membuat luka Anda bertambah dalam. Memang, yang paling mudah adalah menyalahkan orang lain atau lingkungan ketika sesuatu yang buruk terjadi pada kita. Tapi kenyataannya, kita tidak bisa menguasai dunia. Kita hanya bisa mencoba mengatur diri sendiri, dan bagaimana kita bereaksi terhadap dunia. Akan selalu ada hal-hal tidak mengenakkan yang sepertinya mencoba menjatuhkan kita. Macet luar biasa ketika kita dalam perjalanan untuk suatu wawancara penting, soal ujian tepat di bagian yang tidak kita pahami betul, dsb. Daripada menyalahkan keadaan, lebih baik tenangkan diri dan coba cari solusinya. Dan kita patut sangat berhati-hati, jangan sampai menyalahkan Allah atas apapun yang menimpa kita.
Ketika sebuah pintu tertutup, pintu lain terbuka
Ada pepatah yang sebenarnya agak menyesatkan. Kalimat kesempatan emas itu hanya datang sekali seumur hidup, sebenarnya tidaklah tepat. Ada banyak sekali kesempatan di sekitar kita. Kadang kita saja yang tidak menyadarinya. Pintu lain itu tidak selalu sama persis bentuk dan warnanya dengan pintu sebelumnya yang terbanting keras di muka kita. Tapi percayalah, sesudah ujian itu ada kemudahan. Selalu ada hikmah di balik kejadian sepahit apapun.
Menghitung nikmat
Ketika bersedih, orang begitu terfokus pada masalahnya sehingga cenderung lupa hal lain yang dimilikinya. Misalnya, OK kita kehilangan pekerjaan. Tapi bukankah kita masih memiliki keluarga yang menyayangi kita tulus, tubuh yang sehat, bisa bernafas leluasa, bisa melihat, jantung masih giat berdenyut, nikmat berislam, dsb.
Ada trik yang menarik untuk dicoba. Cobalah ambil secarik kertas dan pena. Tulis semua nikmat, sekecil apapun, yang pernah diberikan pada kita. Dari lahir sampai sekarang. Semua titik kebahagiaan. Semuanya. Percayalah, sebelum Anda selesai, Anda dapat melihat bahwa permasalahan yang Anda hadapi tidak seberapa dibanding semua nikmat yang pernah Anda miliki. Lihatlah betapa kita sebenarnya sering mengalami ujian, namun toh Allah selalu membantu kita melewatinya dengan baik. Mengapa kali ini tidak? Ingatlah, pertolongan Allah itu dekat.
Jangan membuat keputusan besar saat emosi
Orang cenderung menggeneralisir permasalahan ketika sedang down. Rasanya seluruh hidupnya hancur. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Mungkin sebagian menjadi terpengaruh negatif, tapi kan tidak semuanya. Yang terjadi adalah, ia membuat suatu kesalahan, itu mempengaruhi perasaannya. Juga mempengaruhi penilaiannya terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Di saat seperti ini sebaiknya jangan membuat keputusan-keputusan besar. Misalnya saja tiba-tiba memutuskan untuk bercerai atau berhenti kuliah karena sedang emosi. Sebaiknya tunggu sampai emosi kita mereda, baru berpikir dengan jernih sebelum memutuskan. Jangan lupa juga untuk shalat istikhoroh, supaya keputusan yang kita ambil bukan karena emosi belaka.
Kembali pada Allah
Kesedihan, penyesalan, semua rasa sakit yang tidak dibarengi iman, akan membuat kita mudah dijerumuskan setan. Maka yang paling baik adalah kembali pada Allah dengan permasalahan kita. Lihatlah, apa yang coba Allah sampaikan dengan kejadian ini? Apakah Allah ingin menarik kita yang semakin jauh untuk kembali dekat dengan-Nya? Apakah Allah tengah berusaha mengingatkan niat-niat yang tidak tulus, perhitungan yang tidak cermat, atau apa? Ataukah sekadar menguji kita?
Berdoa, senantiasalah berdoa. Mohon dikuatkan melalui cobaan seberat apapun. Jangan sampai ujian itu membuat kita malah jauh dari Allah. Jadikanlah Allah teman curhat kita yang paling akrab. Bermanja-manjalah pada-Nya, terutama di sepertiga malam terakhir. Bukankah Allah yang berjanji untuk mengabulkan permintaan hamba-Nya?
Bersabarlah saudara-saudaraku. Percayalah, sesudah tiap kesulitan itu ada kemudahan. Allah tidak mungkin meninggalkan hamba yang berserah diri. (ariyanti)
PS: Saat menulis ini, saya sendiri sedang diuji ujian bertubi-tubi yang sangat berat... Tolong doakan ya, mudah-mudahan Allah menguatkan saya...
"Habis Gelap Terbitlah Terang"
Publikasi: 22/04/2003 09:51 WIB
eramuslim - 21 April, telah tiba. Berbagai aktifitas kewanitaan digelar. Pakaian kain dan kebaya menghiasi setiap sudut negeri sebagai tanda peringatan jasa besar sang pahlawan wanita RA Kartini yang demikian terkenal dan sengaja dikenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
RA Kartini adalah sosok legendaris, pendobrak kekakuan adat dan tradisi keraton yang biasa memingit wanita, menuju sebuah kebebasan memperoleh pendidikan dan mengeluarkan pendapat. Demikian agung sosok RA Kartini dimata kaum feminis Indonesia. Dianggap sebagai pelopor gerakan emansipasi, gerakan menyamakan derajat antara pria dan wanita yang sudah sejak Islam diturunkan telah diangkat demikian tinggi oleh Sang Pencipta. Namun sering dilupakan apa sebenarnya yang diinginkan oleh seorang RA Kartini.
Bila kita buka lembar demi lembar surat-surat RA Kartini yang dikumpulkan menjadi buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, maka kita akan tahu apa sebenarnya yang Ibu RA Kartini inginkan.
Beliau tidak mau mengerjakan segala sesuatu yang beliau tidak tahu apa makna yang harus beliau kerjakan, seperti ketika beliau disuruh sholat dan membaca Al Qur’an tanpa tahu apa isi bacaan yang beliau baca.
Beliau ingin setiap wanita mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga mereka dapat mendidik anak-anaknya secara baik dan benar. Bisa berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak terkungkung dalam kesunyian dan kekolotan adat. Namun juga bukan hanya sekedar untuk meraih prestasi, dan mengejar karir diluar rumah sambil melupakan atau berlepas diri dari kegiatan kerumah tanggaannya. Membiarkan anak-anak besar bersama pembantu rumah tangga yang memiliki pendidikan pas-pasan dan serba terbatas.
Pemikiran-pemikiran beliau yang semula lebih mengagungkan Barat daripada bangsanya sendiri mulai bergeser setelah beliau mendapatkan pengetahuan dan mengerti kandungan Al Qur’an yang dia peroleh dari pengajian. Hingga tercetuslah perkataan “habis gelap terbitlah terang”, yang beliau dapatkan ketika memahami isi surat Al Baqarah ayat 257. “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya”.
Kini saatnya, kita kaum muslimah menyadari, untuk tidak mengikuti secara mentah-mentah apa yang digembar-gemborkan oleh kaum feminis. Untuk menuntut hak, meminta persamaan derajat dengan kaum pria dan meminta jatah 30% di parlement. Karena bila para muslimah memiliki prestasi, segala kedudukan akan dengan sendirinya tersandang tanpa harus diminta. Insya Allah. Wallahu 'a’lam bishshowab. (Ummu Shofi/ari_aji_astuti@yahoo.com)
Cinta Tak Terbalas
Publikasi: 21/04/2003 16:48 WIB
eramuslim - Kadang saya iri melihat orang-orang di sekeliling saya, disayangi oleh “seseorang”. Apalagi di bulan Februari. Di mana-mana nuansanya Valentine. Saya memang penganut “tiada pacaran sebelum akad”, tapi sebagai manusia kadang timbul juga perasaan ingin diperhatikan secara istimewa.
Saya tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima bunga mawar merah. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat saya menggigil kedinginan. Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor. (Deuh, Meteor Garden banget! He..he...)
Yah, mungkin saya bisa merasakan sekilas hal-hal itu kalau saya sudah menikah. Mungkin. Mudah-mudahan. Tapi sampai saatnya tiba, bagaimana caranya supaya tidak kotor hati?
Lalu saya pun tersadar, tiga kata cinta yang saya rindukan itu sudah sering saya dengar. Orang tua saya selalu mengucapkannya. Memanggil saya dengan “sayang” betapapun saya telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka bahkan memanggil saya seperti itu sejak saya belum dilahirkan. Padahal belum tentu saya jadi anak yang bisa melapangkan mereka ke surga... Belum tentu bisa jadi kebanggaan... Jangan-jangan hanya jadi beban...
Tatapan cinta itu juga sering saya terima. Dari ibu yang bergadang menjaga saya yang tengah demam... Dari ayah yang dulu berhenti merokok agar bisa membeli makanan untuk saya... Dari teman yang beriring-iring menjenguk saya ketika dirawat di rumah sakit... Dari adik yang memeluk saya ketika bersedih. Dari sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Dari orang tua teman yang bersedia mengantarkan saya pulang larut malam. Betapa seringnya kita tidak menyadari...
Tidak hanya dari makhluk hidup. Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah. Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai cinta dari hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan. Saya pernah membaca tentang planet Jupiter. Sebagai planet terbesar di tata surya kita, Jupiter yang gravitasinya amat tinggi, seakan menarik bumi agar tidak tersedot ke arah matahari. Benda-benda langit yang akan menghantam bumi, juga ditarik oleh Jupiter. Kita dijaga! (Maaf buat anak astronomi kalau salah, tapi setahu saya sih kira-kira begitulah)
Di atas segalanya, tentu saja ada cinta Allah yang amat melimpah. Duh... Begitu banyaknya berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkan saya hidup... Masih membiarkan saya bersujud walau banyak tidak khusyunya. Padahal kalau Ia mau, mungkin saya pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam... Coba, mana ada sih kebutuhan saya yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Saya disekolahkan sampai tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja, berbuat maksiat, dosa... Malu...
Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah tahu rasanya kepedihan? Buat saudaraku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah bahwa itu cara Allah mencintai kita. Pasti ada hikmahnya. Pasti!
Jadi, selama ini ternyata saya bukan kekurangan cinta. Saya saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan saya tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni.
Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...
Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau “pacaran pra nikah” hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana, tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah itu juga cinta?
Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional. Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan sampai ada cinta halal yang tak terbalas... (ariyanti)
Lembar-Lembar Biru
Publikasi: 15/04/2003 06:48 WIB
eramuslim - “Hati tempat jatuhnya pandangan Allah, jasad lahir tumpuan manusia. Utamakanlah pandangan Allah daripada pandangan manusia”
Malam ini, saya kembali membaca tulisan itu. Terselip diantara lembar-lembar biru sebuah buku harian. Haru. Perasaan itu selalu menerpa, ketika teringat kembali proses kehijrahan saya. Tak banyak sebenarnya yang bisa saya ceritakan tentang proses itu. Tapi dari semua proses hijrah itu tak lepas dari peran seorang hamba Allah yang sampai detik ini namanya masih tersimpan rapi dalam sanubari saya. Sang pemilik buku harian biru ini.
Saya dan teman-teman lebih suka memanggilnya Anggi. Nama lengkapnya Anggraheni Puspitasari. Anggi teman satu kost saya dan juga satu jurusan di Teknik Informatika sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Saya mengenalnya sejak hari pertama OSPEK. Gadis sedikit tomboy, supel, ceria dan energik ini gampang disukai siapa saja yang mengenalnya. Juga dikost kami yang hanya berpenghuni empat orang. Saya, Anggi, Tri, dan Mira. Sehari saja tanpa Anggi kost terasa sepi. Anggi memang paling pandai menghidupkan suasana. Joke-joke segarnya sering membuat kami terlepas dari beban kuliah yang berat. Juga beban kekurangan duit diakhir bulan. Karena Anggi yang notabene putri seorang ibu dokter dan ayah anggota DPR ini tentu saja tak pernah kekurangan dana. Namun bukan karena itu kalau lantas kami sangat menyayangi sekaligus mengagumi Anggi. Tapi lebih karena sikap dan kepribadian Anggi terhadap teman-temannya. Dia tak pernah membanggakan keluarga besarnya dihadapan kami meski kami berada dibawah garis kemiskinan sebagai anak kost. Ketulusan dan kepeduliannya pada yang hidup kekurangan seringkali membuat kami tersentuh.
Diantara balutan baju-baju kasualnya, Anggi adalah sosok yang rajin shalat, mengaji dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Sehingga kami terkejut bukan main ketika mengetahui dalam keluarganya, Anggilah satu-satunya yang beragama Islam. Anggota keluarga lainnya Kristen Katolik. Yang sedikit saya tahu, keluarga Anggi membebaskan masing-masing anggota keluarganya untuk memilih agama sesuai keyakinan masing-masing. Namun satu hal yang mereka tekankan, kalau memilih Islam tak boleh mengenakan jilbab.
Jilbab. Kami semua tahu Anggi sangat ingin mengenakan pakaian takwa itu. Hampir setiap hari Anggi mengutarakan keinginannya pada kami. Namun kalau sampai dia mengenakan jilbab, keluarga akan membuangnya. Keinginan itu tertuang dalam lembar-lembar diary birunya. Diary yang saya simpan dalam lemari pakaian saya hingga sekarang dan saya baca disaat saya merindukan Anggi. Doa dan pintanya pada Allah agar diberi kesempatan untuk mengenakan busana takwa tercurah dalam lembar-lembar diary itu. Seolah tak kenal lelah Anggi memohon pada Allah agar dikaruniai sebuah kesempatan untuk ber-Islam secara kaffah.
Hingga suatu pagi, saya mendapat berita yang menyesakkan. Bis yang membawa Anggi ke Surabaya kemarin sore mengalami kecelakaan. Semua hancur terbakar. Dan Anggi merupakan salah satu korban. Innalilahi wa inna lillahi roji’un. Anggi menghadap Allah demikian cepat. Sebelum keinginannya berjilbab terwujud. Sebelum mimpi-mimpinya untuk ber-Islam secara kaffah menjadi kenyataan. Tentu saja, kami sangat kehilangan. Anggi adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah kami miliki. Suasana kost menjadi muram. Kami benar-benar bersedih. Dan disaat seperti inilah diary Anggi menjadi pengobat kesedihan kami. Diary yang sebelum keberangkatannya ke Surabaya dititipkan pada saya.
Sejak kejadian itu, diantara sedih dan kehilangan yang mendera, saya, Tri dan Mira mulai sering merenung. Mati adalah sebuah kepastian. Akan menjemput kita kapan saja dan dimana saja. Bagaimana kalau tiba-tiba kita mati dalam keadaan seperti ini? Tanpa bekal sedikitpun untuk menghadap-Nya? Atau mati dalam keinginan yang belum teraih seperti Anggi? Kami terus merenung dan merenung. Bersama dengan perenungan panjang itu kami juga semakin rajin menghadiri setiap pengajian di Masjid Syuhada’. Kepergian Anggi seolah meninggalkan jalan terang yang kemudian kami susuri bersama.
Dampak kepergian Anggi bagi diri saya sendiripun teramat besar. Saya kembali memiliki semangat baru. Ketika Bapak menolak jilbab saya sekian waktu yang lalu, saya telah apatis. Bahkan saya tak punya harapan lagi untuk bisa meluruhkan hati Bapak. Namun kepergian Anggi seolah menjadi motivasi untuk kembali berjuang dan istiqomah di jalan-Nya. Bahwa Allah akan berada diantara orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya.
23 Mei 1998, kami bertiga memutuskan untuk berjilbab. Dan berawalah hari-hari indah sekaligus penuh perjuangan itu. Saya sempat di sidang oleh Bapak karena Bapak sangat tidak berkenan saya memakai busana takwa itu. Tri sempat dihentikan kiriman perbulannya sampai akhirnya dia kerja di restoran. Hanya Miralah, satu-satunya yang hijrahnya mulus tanpa halangan.
Waktu bergulir tanpa terasa. Semakin hari kami semakin mantab berhijrah dan cahaya hidayah itu terasa semakin terang. Langkah-langkah kaki kami seolah dituntun oleh Allah untuk bertemu dengan saudara-saudara seiman yang kemudian membimbing kami. Subhanallah. Bapak yang semula menentang saya habis-habisanpun mulai menerima kehijrahan saya dengan tangan terbuka. Bahkan sedikit demi sedikit Bapak tertarik untuk belajar tentang Islam. Tri juga tidak dikucilkan lagi dalam keluarganya. Bahkan seorang kakak perempuannya ikut berjilbab. Alhamdulillah.
Kini empat tahun berlalu sudah. Saya sudah berpisah dengan kedua sahabat saya. Namun kenangan itu masih tersimpan rapi. Dan tak akan pernah saya biarkan lenyap begitu saja. Juga kenangan tentang Anggi. Allah telah menghadirkan Anggi dalam kehidupan kami. Membuka jalan cahaya yang akhirnya kami susuri bersama menuju teduh dan indahnya Islam.
“Seorang sahabat adalah seseorang yang manakala kita tegak, ia tegak disamping kita, dan manakala kita lemah serta nyaris terjatuh, maka ia yang akan mengingatkan dan menopang kita”.
Mata saya berkaca saat membaca potongan kertas yang terselip dalam lembar terakhir diary biru itu. Mahabesar Allah yang telah mengaruniai sahabat sebaik engkau, Anggi. Semoga damai disisi Sang Maha Kasih.
Srikandi (Untuk seorang sahabat) srilestari@bisnisweb.com
Privacy Oh Privacy...
Publikasi: 08/04/2003 14:00 WIB
eramuslim - "SMS ku dibaca orang lain, mbak".
Mata itu langsung berubah sendu. Wajahnya yang terlihat capek setelah tiga hari mengikuti pelatihan, semakin bertambah kuyu. Dan saya yang mendengar ungkapan itu hanya terdiam, sejurus kemudian bertanya kepadanya, "kok bisa?". Tidak ada jawaban. Karena dia hanya menggelengkan kepala dengan lesu.
Ternyata saat itu, telepon selulernya tidak ditaruh di kantong baju seperti biasa. Kebetulan dia sedang mengikuti program pelatihan di organisasinya. Ruangan pelatihan itu terbagi dua. Lantai bawah dan atas. Lantai atas untuk tempat istirahat panitia dan anggota wanita, sedangkan lantai bawah digunakan untuk acara. Karena di lantai bawah semua hp tidak bisa mendapat sinyal yang kuat (bahkan sinyal kosong sama sekali) akhirnya muslimah tersebut meletakkan hp nya di lantai atas. Merasa aman-aman saja maka tergeletak begitu saja diatas meja.
Beberapa waktu kemudian, iseng-iseng dia mengecek surat di kotak masuk dan ada satu pesan yang sepertinya belum dibacanya. Padahal surat itu sudah terbuka. Masya Allah... kok bisa gitu??? siapakah makhluk usil yang berani membuka barang yang bukan miliknya? Kecurigaan tertuju kepada kaum hawa itu sendiri karena tidak mungkin kaum adam membukanya. Tapi siapa? rasanya terlalu repot untuk menanyakan ke semua orang yang ikut pelatihan itu, karena muslimah itu juga tidak tahu siapa yang berada di ruangan atas waktu kejadian berlangsung. Hanya wajah betenya saja yang ditampakkan setelah kejadian tersebut. Dia merasa kecewa dengan ulah saudarinya.
Mungkin memang pantas muslimah itu sedih dan kecewa. Barang pribadinya dibuka orang lain. Apalagi isi pesan itu lumayan rahasia. Tentu aja bete kalau tidak bisa disebut ‘gondok’ (saking sebelnya). Siapapun kita, jika batas privacy telah dilanggar biasanya akan ‘ngamuk berat’. Apakah itu dengan teguran berupa sindiran, atau wajah ditekuk-tekuk, bisa juga bibir manyun, atau berbagai bentuk ekspresi tubuh yang ditampilkan sebagai wujud protes karena hak pribadi telah terjamah.
Seharusnya tidak akan terjadi demikian jika kita benar-benar memahami apa itu wilayah privacy saudara kita ataupun diri kita sendiri. Memang tidak semua orang sama dalam memandang batas wilayah kekuasaan pribadi. Ada seseorang yang jika dia mendapat surat dari orang lain, maka keluarganya bisa membacanya juga. Tapi ada juga yang keluarganya tidak akan membuka surat itu apalagi membacanya. Lalu ada lagi yang paling sering terjadi yaitu di suatu rumah, batas wilayah privacy biasanya di depan pintu masuk kamar masing-masing. Di luar pintu tersebut adalah wilayah bebas. Jadi jika ingin masuk ke kamar pribadi, minimal harus mengetuk pintu atau memanggil nama yang empu-nya kamar. Bisa juga dengan salam. Tetapi ada juga yang slonong-boy saja. Memang hal ini tidak bisa digeneralisir, tapi ada yang berbuat seperti itu. Tanpa tedeng aling-aling, masuk begitu saja.
Tata krama penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena kita hidup di daerah Timur bukan di Barat. Apalagi kita adalah orang Islam. Yang tentunya lebih memahami bagaimana menghormati hak saudara sendiri dalam hal pribadi. Tidak menerjang bebas zona-zona privacy.
Tapi bagaimana jika saudara kita memang ‘sudah dari sononya’ seperti itu?? maksudnya, kita sudah berusaha menjaga barang pribadi tapi masih aja di’jawil’ teman juga. Entah sisir yang raib tiba-tiba (bagi saya, sisir termasuk barang pribadi lho), lalu terkadang selimut atau bantal–guling di tempat tidur yang berpindah tempat ke kamar lain. Dan berbagai macam masalah lainnya. Apalagi jika kita tinggal serumah dengan banyak orang, baik yang kost maupun yang kontrak (Kalau kost mungkin yang namanya privacy lebih terjaga, sedangkan yang kontrak, kita harus lebih sering-sering berlapang dada dalam menghadapi sifat saudara kita sendiri) dengan mobilitas personal yang tinggi. Setiap hari ada saja orang keluar masuk di rumah kita. Kadang pinjam inilah, kadang yang itulah. Itupun belum tentu sepengetahuan yang punya.
Memang sih kalau dilihat-lihat, gak besar-besar banget permasalahannya. Hanya saja jika kita mengabaikan begitu saja permasalahan kecil, bisa menumpuk menjadi masalah besar. Kesadaran dari diri sendiri tentu yang berperan besar disini. Atau kita bisa juga berusaha memperbaiki sikap saudara kita dengan cara yang baik, lembut, tanpa menorehkan perasaan tersinggung. Bukankah semua demi kebaikan bersama? Tapi kita pun harus introspeksi diri. Jangan-jangan kita juga sering menerjang bebas batas-batas wilayah pribadi saudara sendiri, tanpa kita sadari. Asyik saja kita melakukannya dan saat saudara kita datang dengan muka manyun, barulah kita sadar apa yang sudah kita perbuat.
Kalau sudah begitu, siapa yang salah? yaa... sekali lagi intinya adalah proses pengendalian diri. Banyak-banyak istighfar saja kalau habis bikin khilaf, tapi jangan diulang lagi. Entar habis bikin salah, istighfar lalu bikin kesalahan lagi terus istighfar lagi... mempermainkan kalimat Allah itu namanya. Malah nggak benar. Yang tahu adalah diri kita sendiri. Dan yang bisa merubah proses itu adalah diri kita juga bukan orang lain. So, hati-hati yak dengan batas wilayah pribadi orang lain. Wallahu’alam bishowab.
(muth_mlg@yahoo.com)
Malang, ketawang gede
Permata Ayah Bunda
Publikasi: 03/04/2003 13:02 WIB
eramuslim - Anak. Rasanya hampir tiap-tiap pasangan suami istri selalu menanti-nanti kehadiran anak di tengah-tengah mereka. Bagi mereka yang belum punya anak, tidak peduli anak laki-laki atau anak perempuan sebagai pembukanya, yang penting mereka bisa memiliki anak. Lain halnya jika yang dinanti itu adalah anak kedua dan seterusnya. Tak lengkap rasanya jika belum punya sepasang. Cerita akan tetap berbeda jika yang dinanti itu adalah anak keempat dan seterusnya dan anak-anak yang lahir sebelumnya memiliki jenis kelamin yang sama. Ayah bunda merasa penasaran mengapa orang lain sudah punya pengalaman dan diberi rezeki punya anak-anak dari jenis kelamin yang beragam sedangkan mereka hanya bisa punya satu jenis kelamin saja. Tanpa sadar, hal ini memacu sebuah alasan untuk punya anak lagi, dan lagi, dan lagi.
Pada beberapa orang, punya anak banyak memang rasanya hal yang tidak bisa mereka hindari lagi. Tidak bisa dipungkiri tuntutan budaya dalam lingkungan mereka mengharuskan demikian. Bagi keluarga yang menganut paham garis keturunan anak lelaki, sebuah keluarga akan merasakan sebuah tekanan yang halus untuk dapat memiliki anak laki-laki yang akan mewarisi nama keluarganya. Sebaliknya bagi mereka yang menganut paham garis keturunan anak perempuan, sebuah keluarga akan merasakan sebuah tekanan yang halus untuk dapat memiliki anak perempuan. Ada juga kasus lain dimana seorang istri atau ibu tepatnya, memperoleh kesulitan untuk dapat kesempatan mengatur kelahiran anak-anaknya. Apakah itu karena penyakit atau karena hal lain.
Artikel ringan ini tidak akan membahas sebab-sebab yang melatarbelakangi sepasang suami istri untuk mengambil keputusan jumlah anak yang mereka miliki. Tapi, di antara sekian banyak alasan, yang menarik adalah pemahaman banyak anak banyak rezeki.
Pepatah yang mengatakan banyak anak banyak rezeki rasanya sudah saya kenal sejak zaman dahulu sekali. Sebelum saya lahir, bahkan mungkin sebelum nenek saya lahir. Waktu saya duduk di bangku SMP (sekolah menengah Pertama)/SLTP, ada sebuah pelajaran geografi dengan fokus kependudukan yang menjelaskan bagaimana asal mula kelahiran pepatah tersebut di Indonesia. Awalnya adalah karena struktur keadaan geografi di Indonesia yang luas dan beragam. Seorang ayah, harus mengolah tanah sekian hektar seorang diri dan seorang ibu harus mengerjakan sekian banyak pekerjaan seorang diri pula. Kehadiran anak akan sangat membantu meringankan pekerjaan mereka. Prinsip gotong royong memang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Alhasil, pekerjaan berat dan lama akhirnya terasa ringan dan cepat selesai yang berarti mempercepat datangnya rezeki bagi keluarga tersebut. Jika anak sudah dewasapun, anak-anak tersebut menjadi semacam tabungan hari tua yang tetap mendatangkan rezeki bagi orang tuanya. Bayangkan jika tiap-tiap anak menyisihkan penghasilan mereka untuk orang tua tercinta, maka orang tua tidak perlu lagi berlelah-lelah bekerja membanting tulang di usia renta mereka. Anak-anak memang sungguh menjadi permata bagi ayah dan bundanya. Permata yang bernilai sebagai investasi tiada henti.
Hmm. Saya jadi ingat dengan satu kejadian yang saya temui di daerah Rembang, Jawa tengah. Ketika itu, saya dan rombongan keluarga baru pulang dari daerah Jawa Timur. Kami berhenti istirahat shalat di sebuah masjid besar di kota itu. Suasananya sangat kekeluargaan. Penduduk di kota nelayan itu sangat ramah tamah. Ada banyak cerita yang kami tukarkan untuk mengisi waktu senggang menunggu waktu shalat tiba. Hingga sampai di suatu waktu dimana para penduduk ingin pulang ke rumah masing-masing sedangkan kami ingin kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Seorang ibu, mendatangi saya.
“Tante, coba liat anak saya ini.” Katanya sambil tanpa malu-malu menyodorkan anaknya. Ternyata seorang gadis kecil yang mungkin berusia kira-kira sembilan atau sepuluh tahun. Si gadis hanya menunduk sambil tersenyum malu-malu.
“Bawa anak saya ke Jakarta tante. Dia bisa jadi pembantu nih.” Saya terperangah dan kembali melihat si gadis kecil tersebut. Gadis itu kini sudah tampak menunduk sedikit salah tingkah menanti keputusan.
“Anak saya ini jujur kok tante dijamin. Dia juga bisa kerja, soalnya sudah biasa bekerja. Soal gaji juga nggak rewel asal cocok mah. Bawa dia tante, jadikan dia pembantu tante.” Kini si Ibu setengah membujuk melihat reaksiku yang terdiam. Bukan maksud hati untuk menerima atau menolak tawaran tersebut. Sesungguhnya tawaran tersebut menarik. Saya sendiri alhamdulillah tidak menggunakan tenaga pembantu di rumah mungil saya. Tapi saya tahu bahwa saat ini orang tua dan saudara-saudara saya yang lain yang sudah berkeluarga dan terbiasa dengan adanya tenaga pembantu di rumahnya memang sedang mencari pembantu rumah tangga. Mencari pembantu rumah tangga di kota Jakarta itu susah-susah gampang. Bukan apa-apa. Tapi kebanyakan para pembantu rumah tangga tersebut jika sudah beradaptasi dengan cepat di Jakarta menjadi sosok pekerja yang sangat perhitungan dalam hal materi. Dengan gaji sekian, mereka maunya kerja ini, itu dan anu. Bekerja lebih banyak lagi artinya tambah kenaikan gaji. Padahal biaya hidup di Jakarta sangatlah mahal hingga banyak rumah tangga yang lebih gencar melirik tenaga pembantu baru yang masih polos dan lugu di daerah-daerah. Istilahnya, yang masih bloon sehingga mau bekerja banyak tapi gajinya kecil.
“Saya tidak pakai jasa pembantu di rumah saya bu, maaf saja. Lagian tampaknya anak ibu masih kecil, kenapa tidak disuruh melanjutkan sekolah saja?”
“Alah, perempuan mah tidak usah sekolah tinggi-tinggi.” Si ibu mengibaskan tangannya mengecilkan saran yang baru saja lemparkan. Suara koor yang mengimbuhi tanda setuju keluar juga dari teman-teman ibu-ibu lain yang juga berkumpul mengerubungi kami. Tampaknya, image bahwa pendidikan tinggi itu sebuah hal yang mubazir bagi wanita masih berlaku kental di antara mereka.
“Sekolah tinggi-tinggi juga nantinya harus diam di dapur. Paling banter ngasuh anak, ngurus rumah. Buat apa sekolah tinggi-tinggi. Sebelum jadi pembantu suaminya, mending jadi pembantu orang lain dulu deh, biar duitnya bisa buat kita. Zaman lagi susah gini, darimana lagi mengharapkan masukan penghasilan buat asap dapur kalau bukan dari anak sendiri?” Kembali aku terperangah mendengar komentar tersebut.
Tiap-tiap anak memang membawa rezeki tersendiri. Tapi mungkin yang tetap harus diingat oleh para orang tua adalah, bahwa permata yang mereka miliki itu tidak sepenuhnya milik mereka selamanya. Seberapapun bernilainya kehadiran anak bagi kehidupan ayah dan ibunya, anak-anak adalah amanat yang dititipkan oleh Allah SWT pada orang tuanya. Meski ayah dan ibu sudah bersusah payah membesarkan, merawat dan mendidik mereka, anak-anak bukan milik kepunyaan mereka selamanya. Artinya, para orang tua tidak bisa mendaya-gunakan anak bagi kepentingan pribadi. Tidak ada hak untuk itu. (Ade Anita)
Jika Aku Jatuh Cinta ...
Publikasi: 28/03/2003 06:59 WIB
eramuslim - Cinta. Sebuah kata singkat yang memiliki makna luas. Walaupun belum teridentifikasi secara pasti, namun eksistensi cinta diakui oleh semua orang. Al-Ghazali mengatakan cinta itu ibarat sebatang kayu yang baik. Akarnya tetap di bumi, cabangya di langit dan buahnya lahir batin, lidah dan anggota-anggota badan. Ditujukan oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari cinta itu dalam hati dan anggota badan, seperti ditujukkanya asap dalam api dan ditunjukkanya buah dan pohon.
Cinta sejati hanyalah pada Rabbul Izzati. Cinta yang takkan bertempuk sebelah tangan. Namun Allah tidak egois mendominasi cinta hamba-Nya. Dia berikan kita cinta kepada anak, istri, suami, orang tua, kaum muslimin. Tapi cinta itu tentu porsinya tidak melebihi cinta kita pada Allah, karena Allah mengatakan, “Katakanlah! ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta-benda yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatiri akan merugi dan rumah tangga yang kamu senangi (manakala itu semua) lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan berjiha di jalan-Nya, maka tunggulah keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”
Prestasi kepahlawanan para pejuang tidak terlepas dari pengaruh cintanya seorang pemuda kepada pemudi. Umar bin Abdul Aziz berhasil memenangkan pertarungan cinta sucinya kepada Allah dari pada cinta tidak bertuannya kepada seorang gadis. Tidak ada yang salah pada cinta. Berusahalah menempatkannya pada tempat, waktu dan sisi yang tepat.
Ya Allah, jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu, agar bertambah kekuatan ku untuk mencintai-Mu.
Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu
Ya Allah, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu.
Ya Rabbana, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada hati-Mu.
Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.
Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.
Ya Allah, jika aku menikmati cinta kekasih-Mu, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirmu.
Ya Allah, jika aku jatuh hati pada kekasih-Mu, jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu.
Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu, jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu.
Ya Allah Engaku mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-MU, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Kokohkanlah ya Allah ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan nur-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengna limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu. (Yesi Elsandra, special untuk yang saling mencintai karena-Nya)
Lainnya
Saatnya Menjadi Muslimah Berprestasi
Publikasi: 21/03/2003 10:03 WIB
eramuslim - Jujur saja setiap orang pasti ingin menjadi yang terbaik. Atau paling tidak memiliki hal-hal yang baik dalam hidupnya. Tempat bekerja yang baik, penghasilan yang lumayan besar, rumah dan lingkungannya yang sehat, suami dan anak-anak yang baik-baik saja. Dan masih banyak lagi standar-standar kebaikan yang kita idam-idamkan. Namun kalau kita mau survey, sedikit dari 10 keluarga muslim, paling banyak 3 diantaranya yang menganggap aktifitas dalam bermasyarakat untuk berkarya dan berguna sebagai salah satu ukuran hidup yang baik.
Hal ini seiring dengan semakin majunya teknologi, derasnya informasi yang datang dari luar (baca: Barat) memaksa setiap keluarga tercemar dengan budaya individual, budaya egois yang lebih mengutamakan dirinya dan keluarganya sendiri. Yang penting keluarganya selamat, yang penting anaknya tidak ikut narkoba, yang penting… yang penting…
Keinginan untuk berbuat dalam masyarakat, kemauan untuk berkarya, berprestasi semakin rendah. Terlebih lagi bagi kalangan ibu-ibu, seperti kita-kita ini. Langka sekali menemukan seorang muslimah yang berpredikat ibu rumah tangga yang punya seabrek gawean rumah tangganya namun masih meluangkan waktu dan pikiran dengan aktifitas dalam masyarakat yang tidak kalah hebohnya.
Muslimah Harus Berprestasi
Makna prestasi bagi kalangan muslimah terlebih yang telah berpredikat ibu rumah tangga adalah bukan dia harus jadi juara dalam sebuah perlombaan. Lebih tepatnya ia harus bisa menjadi pelopor dalam perbaikan bagi lingkungannya. Seorang muslimah tidak harus selalu bekerja di luar rumah untuk meraih prestasi tetapi juga tidak hanya di dalam rumah saja. Wanita-wanita Islami yang potensial seyogyanya pandai memanfaatkan dan mengembangkan ilmu yang diperolehnya. Bila ia seorang ‘tukang insinyur’ ataupun lulusan tehnik akan lebih bermanfaat dan berprestasi kalau saja ilmu-ilmu yang dimilikinya tadi mampu menghantarkannya membuka sebuah home industri, misalnya. Sehingga dengan ilmu apa saja, seorang muslimah mampu berkarya, mampu mengamalkan ilmu yang dipelajarinya bertahun-tahun di bangku sekolah atau perguruan tinggi sebagai bekal dakwah di masyarakat. Tidak seperti sekarang yang rata-rata muslimah kita beramai-ramai menjadi pengajar TPA, padahal Sarjana Kehutanan. Atau merasa cukup puas hanya berpredikat ibu dari 4 anak-anaknya.
Selain itu pula hendaknya prestasi muslimah akan lebih terarah bila terspesialisasi. Ibu-ibu akan lebih optimal dalam perannya bila punya keahlian khusus. Ibu A pandai memasak, ibu B pandai merias pengantin, ibu C menulis, ibu D berkebun, dan seterusnya. Sehingga dengan keahlian khusus ini ladang dakwah lebih tergarap maksimal.
Bagaimana Menjadi Agen Perubah yang Handal
Menjadi perintis, pelopor atau istilah kerennya ‘Agen Perubah’ dalam masyarakat dituntut memiliki beberapa hal antara lain:
1. Selalu berpikir positif dan pede (percaya diri)
Selalu berpikir positif kepada Allah, diri sendiri dan orang lain. Yakinlah bahwa Allah memberi kita semua nikmat dan kemudahan sekaligus kesulitan adalah dalam kerangka sejauhmana kita telah pandai mensyukuri nikmat-Nya dengan memanfaatkannya, tidak saja untuk diri sendiri tapi juga untuk masyarakat luas. Allah menciptakan kita dengan kepribadian, kualitas bakat dan intelektual adalah dengan maksud. Semua itu modal dasar bagi kita untuk berbuat. Termasuk cara pandang kita terhadap orang lain. Pandanglah orang lain dari sisi positifnya dan menerima sisi negatif sebagai pelajaran bagi kita. Dengan selalu ber-‘positif thinking’ seperti ini Insya Allah 'Pede' (percaya diri) akan timbul. Ibu A yang anaknya 5 saja masih bisa aktif di lembaga dakwah, koq kita yang baru punya 1 anak repotnya ngalah-ngalahin ibu A. Malu, ah..
2. Berkepribadian pantang menyerah
Sebagai pelopor dan penggerak, pasti akan menghadapi tantangan, baik dari kalangan keluarga, tetangga, tokoh masyarakat, dan lain-lainnya. Dengan berbagai hambatan tadi kita dituntut selalu bersemangat, tidak loyo, tidak mudah patah semangat. Semakin mantap kita bersikap saat kesulitan menerpa kita menunjukkan sikap hidup yang matang. Keyakinan akan janji dan jaminan Allah akan datangnya kemudahan setelah kesulitan mampu melahirkan kepribadian pantang menyerah (lihat QS. An Nasyrah : 5-6).
3. Memulai dari diri sendiri
Menyeru kepada orang akan lebih didengar dan diikuti apabila kitanya telah mengamalkan-nya. Selain masyarakat lebih tergerak karena tauladan kita, Allah pun memerintahkan demikian (lihat QS. Ash Shaff : 4).
4. Memelihara motivasi awal
Segala kesibukan kita menjadi muslimah berguna dan berkarya di masyarakat hendaknya dilandasi dengan niat yang lurus dan bersih. Semata-mata untuk mencari ridho Allah. Bukan untuk mencari penghargaan, sanjungan atau apa saja yang sifatnya duniawi. Akan lebih indah dan bermakna bila niatnya untuk ibadah sehingga kelelahan, kepenatan karena aktifitas itu tidak melahirkan kejenuhan yang berarti yang bahkan bisa-bisa membuat kita menarik diri dari medan dakwah tadi. Dengan motivasi/niat yang teguh segala tantangan apa pun bentuk dan rupanya tidak menyurutkan langkah bahkan semakin memberikan energi bagi ‘si penggerak’.
Merekalah Muslimah Berprestasi
Sekelumit profil berikut ini kiranya bisa dijadikan teladan bagi sekalian ibu-ibu, betapa seharusnya muslimah berbuat.
* Sumarti M. Thohir, ibu rumah tangga dengan aktifitas dalam masyarakat sebagai Redaktur Pelaksana Majalah “Aku Anak Shaleh”.
Mempunyai pandangan bahwa sebagai hamba Allah dengan usia yang tidak begitu panjang tanpa prestasi dihadapan Allah adalah sangat menyedihkan. Prestasi yang dimaksud, seorang muslimah selain sebagai ibu rumah tangga hendaknya memaksimalkan potensi ilmu, pikiran, tenaga dan waktu yang ada. Hendaknya tidak cukup puas dengan prestasi sebagai ibu rumah tangga. Muslimah haruslah juga menghasilkan ‘sesuatu’ yang berguna bagi masyarakatnya (Dikutip dari Ummi, Edisi Feb-Mar 2002).
* Asma Nadia, ibu rumah tangga dengan 2 anak. Penulis novel dan cerpen Islami, Ketua III Forum Lingkar Pena Nasional.
Menurutnya, muslimah dalam hidupnya hendaknya mengibaratkan dirinya sebagai sebuah kristal. Artinya, muslimah sebaiknya mampu berbuat dengan sebaik-baiknya dalam berbagai sisi dengan masing-masing sisi bernilai baik. Sebagai istri pelayanannya kepada suami memuaskan. Sebagai ibu bagi anak-anaknya, dia perhatian. Dan sebagai pekerja, prestasi kerjanya bagus dan sebagai apa saja muslimah itu menekuninya dengan kesungguhan yang luar biasa. Sebagaimana kristal yang dalam setiap sisinya memantulkan cahaya sama indahnya (Hasil wawancara Humaira saat GBSM 2 di Samarinda).
* Anaway Irianti Mansur, istri ust. M. Anis Matta, ibu rumah tangga dengan 6 anak. Aktif dalam sebuah partai Islam bidang Pemberdayaan Peran Publik Perempuan dan di Yayasan Ibu Bahagia.
Menganggap aktifitasnya ini sebagai bahan untuk pengembangan diri, sebagai bukti bahwa ‘kita orang baik’ karena interaksi kita dengan segala lapisan masyarakat dan medan dakwah untuk mengajak orang lain melakukan kebaikan. Dengan beraktifitas menuntutnya harus pandai mensiasati waktu dan kegiatan di dalam – di luar rumah. Sehingga dinamika di luar rumah tidak berakibat terlupanya anak-anak dan keluarga (Dikutip dari Tabloid MQ edisi Januari 2002).
* Nena Herlina, ibu rumah tangga dengan 7 anak, aktif sebagai pembina di berbagai kelompok pengajian (dari kalangan ibu-ibu, remaja hingga pembantu rumah tangga), Kepala TK Islam Terpadu Uswatun Hasanah.
Menuturkan bahwa sejak menikah, telah sepakat untuk menjadikan dakwah seabgai prioritas. Dengan 7 anak tanpa pembantu di rumah membuat suaminya tidak segan-segan ambil bagian pula dengan urusan rumah tangga. Kegigihannya dalam aktifitas dakwah membina jama’ah pengajiannya di tengah-tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga sampai-sampai harus melahirkan akannya yang ke-7 saat pengajian mampu membuat orang terkagum-kagum dan menghantarkannya sebagai peraih Ummi Award tahun 2002 ini (Dikutip dari Ummi Edisi 2002).
Dari beberapa profil di atas tergambarkan betapa cantiknya seorang muslimah yang hidupnya berguna bagi orang banyak. Selain untuk anak, suami dan keluarga ia masih mampu dan mau mencurahkan dengan maksimal apa-apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Anugerah sehat, kuat dan kelapangan waktu.
Seandainya suami ibu-ibu mempunyai pandangan seperti halnya Ust. Anis Matta yang sangat mendukung segala aktivitas istrinya, apakah ibu-ibu akan meraih kesempatan ini ? Atau seandainya suami ibu-ibu punya pandangan lain dari apa yanag kita bahas saat ini, apa yang akan ibu lakukan ? Jawabannya hanya ibu yang tau. (by Ummu TQ)

Kado Tercantik (Sepenggal Cerita Sebelum Saat Itu)
Publikasi: 18/03/2003 09:24 WIB
eramuslim - Tak pernah kulihat sebelumnya, kado secantik ini. Entah dari mana datangnya, aku tak peduli, karena yang pasti kado itu akan menjadi milikku. Sungguh aku tak bisa bercerita kepada Anda perasaan yang menderu saat pertama kali ditawari untuk menerima kado tersebut. Seseorang dengan ikhlas sepenuh hati akan menyerahkannya kepadaku, hari ini.
Melihat bungkusnya yang indah berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil merah jambu, tak salah penilaianku, kado itu memang teramat cantik. Yang kutahu, tidak hanya hari ini ianya berbungkus seindah itu, setiap hari, setiap waktu, selalu terbungkus rapih. Isinya? Jangan pernah tanyakan kepadaku, karena aku, juga orang lain tak pernah tahu apa dan bagaimana rupa isinya. Jangankan tersentuh, terlihat pun tak. Terutama oleh orang-orang yang memang terlarang untuk melihatnya. Seistimewa apakah kado itu? Sehingga tak seorangpun pernah melihat kado cantik ini? Dan seistimewa apa diriku ini sehingga seseorang berkenan mempercayakannya kepadaku?
Terbayang dari bungkusnya, yang setiap saat selalu terlihat rapi dan terjaga dengan baik, yang tak tersentuh kecuali oleh yang berhak menyentuhnya, aku yakin, isi dan rupa didalamnya, jauh lebih indah dari cantik bungkusnya. Kumengerti, kalaulah kado itu mampu sedemikian cantiknya terjaga kulit luarnya, bagaimana lagi aku meragukannya tak senantiasa diperindah rupa dalamnya, juga inti terdalam dari semua isinya, yang sejujurnya, adalah hal terpenting dari semua kecantikan sesuatu. Maaf, aku tak bisa mengajak Anda ikut membayangkan indah rupa isinya, dan kalaupun aku tahu Anda mencoba melakukannya, sebaiknya Anda berhadapan denganku. Kado tercantik itu milikku, akan kujaga ia dan takkan kubiarkan orang lain ikut menikmatinya, meskipun sekedar membayangkan.
Ingin sekali kucari pita pembuka kado yang biasanya berwarna merah, agar segera kusingkap isinya. Tapi satu hal mengganjalku, masih tersisa beberapa saat agar aku benar-benar mendapatkan izin untuk membukanya. Bahkan, lebih dari itu (sensor by redaksi). Harus kutunggu pemiliknya, yang menjaganya, dan merawatnya selama ini benar-benar menyerahkannya kepadaku dalam satu upacara sakral. Kenapa sedemikian sakral? Sesuatu yang cantik nan suci harus diserahkan dalam koridor keagungan yang juga suci, itu jawabnya. Tak apalah, sebagai satu jalan untuk tetap mensucikan diriku, juga kado cantik itu, wajib kujalani upacara sakral itu.
Aku berjanji, setelah kuterima dalam kharibaanku kado tersebut, akan kujaga, kurawat, kuperlakukan ianya agar tetap menjadi kado tercantik, terindah, terbaik, terbagus, selamanya. Sampai tak ada lagi yang membuatku harus melirik kado-kado diluar yang terkadang hanya bagus dan cantik bungkusnya.
Dan kamu tahu dik, kamulah kado tercantik itu ... (Bayu Gautama)
Surat Yang Tak Pernah Terkirim
Publikasi: 21/02/2003 08:53 WIB
eramuslim - Disini saya akan bersaya dan kamu. Saya juga bingung mau menulis apa, Lebih baik saya bercerita dulu. Pernah suatu saat, ada di saat saya begitu sangat membutuhkan pertolongan Allah. Yaitu ketika saya baru sembuh dari sakit (operasi). Saya mulai masuk kerja lagi setelah hampir sebulan saya berlibur di rumah sakit dan di rumah.
Dari sakit itu saya sadar bahwa sehat itu adalah nikmat Allah yang besar yang diberikan ke hamba-Nya. Saya pernah merasakan tidak bisa berjalan, memakai 2 buah Kruk di tangan kanan dan kiri saya, kemudian berangsur-angsur saya hanya memakai satu buah kruk, kemudian akhirnya saya bisa melepas kruk saya dan kembali bekerja, walaupun belum terlalu sembuh benar. Saya masih sering jalan terpincang-pincang karena rasa nyeri itu masih ada.
Pada saat itulah dimana saya menahan rasa nyeri itu, pekerjaan menumpuk ada gangguan-gangguan luar lain yang sebetulnya lebih mengganggu saya dari dua hal pertama yang disebutkan tadi. Kamu mau tahu apa?....,
Jawabannya simple dan sederhana, Ada beberapa teman lelaki yang mendekati saya. Kamu pasti bingung... kok begitu saja pusing?, tapi hal itu membuat saya pusing. Saya tidak tahu maksud mereka apa, Saya tau dari cara mereka, mereka suka pada saya, tapi saya ingin sesuatu yang serius dan jelas. Karena saya bukan tipe orang yang senang didekati kalau maksudnya tidak jelas. Saya bukan orang yang senang di miss call sampai 3 kali ketika makan siang, di kirim sms yang sengaja di panjang-panjangkan topiknya, yang di telpon tiap hari sekedar untuk curhat, yang dikirimi email tentang cinta tapi saya tidak tau cintanya untuk siapa. Said I miss U in Offline Message. Hal-hal itu semua yang membuat saya pusing.
Hingga suatu saat di puncak rasa kesal dan gundah saya, ketika itu Jum'at pulang dari bekerja lelah, kaki sakit, dan hati yang tidak menentu. Selesai Sholat saya berdo'a. Do'anya sederhana, kalau tidak salah begini "Ya Allah, dinda dicariin sama yang mau sama dinda aja deh Ya Allah". Do'anya lucu ya?... berkesan agak tidak serius, tapi itu benar benar dipuncak rasa lelah saya menghadapi masalah itu. Kemudian saya tidur untuk menghilangkan kesal dan gundah saya. Masih terlalu sore sebenarnya untuk tidur, sekitar jam setengah 8 malam.
Sekitar jam 9 malam telepon rumah berdering, Mama memanggil saya, ternyata itu telpon buat saya. Ternyata ini dari adik tingkat saya, seorang muslimah yang sudah lama tidak bertemu. Saya bingung ada apa tiba-tiba dia menelpon saya. Ternyata ada pada titik klimaks dia bilang "Kak Dinda... ini ada amanah... ada yang ngajakin Ta'aruf". ... Deg saya hampir tidak percaya begitu cepat do'a saya terkabul. Do'a yang seperti main-main...
Akhirnya dalam waktu 2 minggu Allah seperti memberikan kesempatan saya untuk memilih... saya mendapat beberapa tawaran yang serius -tawaran pertama, ketika malam saya berdo'a- tawaran ke dua dari temannya teman kantor saya- tawaran ke tiga dari seorang guru ngaji pria. Saya lalui hari-hari saya dengan berfikir dan memutuskan. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak menerima mereka. Sebetulnya saya ingin sekali menerima mereka, tetapi ada beberapa hal yang menghalangi.
Dari sang pria masih bekerja di Bank, perbedaan prinsip, papa saya yang kurang setuju (biasanya papa saya yang ikut membaca setiap biodata yang masuk, karena papa adalah wali saya, siapa yang menikah dengan saya, berarti akan jadi anak papa juga). pendek kata ada hal-hal yang mengalangi saya untuk terus melangkah.
Masih dalam satu periode itu tak beberapa lama saya di telpon oleh Adi teman kamu dan juga teman saya. Bahwa ada seorang temannya (kamu) yang mencari muslimah untuk pendamping. Saya begitu banyak dapat tawaran, sampai saya tak habis fikir, Allah seperti memberikan saya satu term atau batch untuk penyeleksian.
Akhirnya setelah konsultasi dengan papa tentang masalah penyeleksian terhadap calon anaknya. Saya memutuskan untuk berani berta'aruf dengan kamu. Kamu adalah yang terakhir di dalam urutan batch tersebut.
Kalaupun di akhir cerita ternyata berhasil. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Rabb pemilik Alam semesta. Kalaupun gagal, saya yakin pasti ada batch selanjutnya. Karena Allah itu baik, Tiada Tuhan selain Dia, Maha Suci Allah Tempat berdo'a dan menggantungkan harapan. Tidak akan pernah mengecewakan orang-orang yang berdo'a dan yakin. Dan Dialah yang membuat sesuatu indah pada waktunya :) .
Wassalaam
(Untuk mengingatkan kita, bahwa hidup ini adalah kumpulan-kumpulan pilihan, kita memilih Rabb kita menetapkan)
bungakenanga
Sesuatu Yang Tertunda
Publikasi: 08/01/2003 10:27 WIB
eramuslim - Saya Gadis, 29 tahun, sebelumnya tak pernah membayangkan untuk mendapatkan seorang pendamping melebihi mimpi-mimpi saya semenjak remaja. Bahkan sampai hari ini, saya merasa belum terbangun dari mimpi tersebut karena betapa inginnya saya terus menerus bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya ini.
Seperti kebanyakan remaja, saya juga sangat mendambakan seseorang yang kelak hadir mengisi hari-hari saya adalah seseorang yang tampan, punya penghasilan lumayan, dan baik (baik terhadap saya, orangtua juga adik-adik). Perjalanan waktu yang telah saya lewati, apalagi kemudian ketika saya harus merantau ke Jakarta bertarung dengan jutaan orang lain yang mengais harapan di kota besar ini, menambah satu syarat lagi: harus mapan (kalau perlu punya kendaraan).
Begitulah Jakarta, orang kampung yang sederhana, lugu dan polos seperti saya pun disulapnya menjadi orang yang glamour, borjuis, hedonis bahkan cenderung matre. Kalau dulu masih suka senang (cinta?) dengan teman laki-laki di kampung hanya sekedar kemahirannya menunggang kuda atau menjinakkan kerbau ngamuk di sawah, kagum dengan laki-laki bertelanjang dada yang berani meluncur dari atas jembatan ke kali dengan berbagai gaya salto. Kini, yang menjadi ketertarikan bagi saya adalah pria-pria yang bertubuh atletis, punya pekerjaan bagus (dan penghasilan bagus juga tentunya), memiliki kendaraan, dan (ini tidak boleh tidak) Tampan!
Kubayangkan setiap pulang setahun sekali ke kampungku di sebelah wetan Kota Semarang, Puji, Ambar, Desi, Rina, Eko, Yani, Wati dan semua wanita teman-teman bermainku di kampung akan iri dengan apa yang kuraih di kota, pakaian bagus, penampilan yang bukan lagi seperti kebanyakan gadis desa, dan dikawal pria tampan dengan mobil mentereng. Duh, sudah pasti bangga pakne dan mbokne memiliki anak yang berhasil seperti saya.
Namun ternyata, semua itu memang cuma mimpi, bahkan mimpi buruk yang membuahkan aib bagiku. Bukan lagi kebanggaan yang dirasakan oleh pakne dan mbokne, bahkan adik-adikku pun malu memiliki mbakyu yang hamil diluar nikah. Di kampungku, seorang gadis yang hamil diluar nikah adalah aib besar, bukan hanya bagi si gadis dan keluarganya, tapi juga orang-orang se kampung. Nasi sudah menjadi bubur, saya cuma bisa menyesal setelah menyadari bahwa tidaklah banyak yang diharapkan dari gadis cantik sepertiku yang tidak memiliki pendidikan tinggi, selain kecantikannya itu semata.
Meski saya coba meyakinkan pakne dan mbokne agar mau menerima saya (dan anak saya), saya mulai berpikir bagaimana seorang dengan “anak diluar pernikahan” bisa tetap bertahan hidup di kota. Tidak ada sanak famili, entah siapa yang akan menjadi pelindung kami. Saya menangis sejadinya, untunglah perusahaan tempat saya selama ini bekerja masih memperbolehkan saya bekerja, alhamdulillaah saya masih punya sesuatu untuk membeli susu anak dan membayar pengasuh bayi. Dan benar dugaan saya, keluarga di kampung belum bisa menerima saya, menurut mereka, terlalu besar beban malu yang sudah ditanggung mereka akibat cela anaknya ini.
Ya Allah, saya harus tegar. Ya, saya baru sadar, sudah sekian lama saya melupakan-Nya. Mungkinkah ini cara Dia untuk mengembalikan diri ini ke jalan yang benar? Entahlah, yang jelas saya merasa ketenangan dan kedamaian setelah saya mulai lagi bersentuhan dengan-Nya lewat sholat (alhamdulillah saya hanya perlu memperlancar kembali bacaan-bacaannya yang hampir terlupa), dzikir juga membaca Qur’an, walaupun terbata-bata, untungnya dulu orangtua saya menyekolahkan semua anak-anaknya di madrasah sejak ibtida’iyah sampai aliyah.
Saya semakin rajin beribadah dan berniat tidak akan pernah lagi melupakan Sang Khalik, Dia begitu dekat, dan saya rasakan cinta-Nya yang teramat sangat terhadap hamba yang hina ini. Disaat orang-orang terkasih tidak ada lagi yang mau menerima, hanya Dia yang dengan kelapangan Tangan-Nya seolah memelukku erat. Bahkan, atas bimbingan seorang teman sekantor –sebut saja Niet- di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan kemarin saya mengenakan jilbab. Subhanallaah, sejuk dan damai yang terasa saat itu, saya tidak peduli jika dikemudian hari akan ada suara-suara sumbang yang menganggap busana muslimah yang saya kenakan saat ini sekedar untuk menutupi masa lalu.
Tidak! Bagi saya, masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup yang bisa menjadi pelajaran. Bagian kelam dalam rentang yang pernah dilalui tidak perlu disesali, apalagi malu dan berusaha menutupi. Justru saya merasa bersyukur, setelah apa yang pernah saya alami dalam masa-masa kelam itu, Allah masih berkenan mengangkat saya dari kubangan penuh dosa, dan menyelamatkan hamba-Nya ini. Malah, saya merasa prihatin jika sepulang kantor sore atau malam hari di tempat-tempat tertentu menyaksikan mereka yang masih tenang dan bangga dengan dosa-dosa dalam kehidupan malam. Bagi saya, itu semua sudah berlalu, dan tetap akan saya ingat sebagai bekal hikmah agar tak mengulanginya lagi.
Alhamdulillah, keterbukaan yang menjadi prinsip pribadi saya, termasuk tidak menyembunyikan masa lalu saya inilah yang mendatangkan nikmat baru. Niet memperkenalkan kepada saya, seorang pria shaleh dengan pekerjaan yang lumayan, santun, cerdas dan alhamdulillah lumayan bagus penampilannya. Sebelumnya saya memang teramat akrab dengan Niet, hingga dia tahu semua yang pernah saya alami. Dan kata Niet, atas dasar itulah pria ini berkeinginan ‘tidak sekedar berkenalan’ dengan saya. Tentu saja saya sangsi, pria dengan berbagai kelebihan sepertinya, tentu saja masih sanggup mencari wanita baik-baik yang berlatar belakang baik, tidak memiliki masa lalu yang kelam.
Mau tahu apa kelanjutannya? Singkat saja. Dengan menggunakan wali hakim (karena orang tua saya tidak mau menikahkan saya, mungkin belum bisa memaafkan anaknya ini), saya dan pria itu menikah 25 Desember lalu. Prosesnya begitu cepat, dan mudah –saya yakin Allah yang mengatur semua kemudahan ini- sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan semuanya. Alhamdulillah dia bisa menerima saya apa adanya, juga anak saya. Bahkan keluarganya pun menyambut saya seperti halnya seorang bidadari karena kebetulan suami saya adalah anak pertama dari 4 bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Dan anak saya, mereka menganggapnya ‘malaikat kecil’ yang membuat suasana rumah menjadi penuh keceriaan.
Selesai? Tidak! Meski apa yang kuraih saat ini melebihi dari semua mimpi yang pernah singgah dalam setiap angan dan tidurku, masih tersisa satu mimpi, yakni semoga –sekali lagi saya meminta kepada-Mu ya Rabb- keluarga di kampung mau memberikan maafnya dan menerima kami. Akankah? Wallaahu’a’lam bishshowaab. (hidupkembali@yahoo.com)
Kutemukan Belahan Jiwaku ...
Publikasi: 23/12/2002 07:12 WIB
eramuslim - Rahasia jodoh, rejeki dan kematian adalah mutlak milik Allah Swt, tidak ada satu makhluk pun yang dapat mengetahuinya kecuali sang Pemilik diri kita. Hal tersebut telah terpatri erat dalam pikiranku sejak lewat dua tahun lalu. Mendorongku untuk terus berikhtiar dan selalu berkhusnudzon kepada Allah Azza wa Jalla tentang kapan saatnya tiba menemukan belahan jiwaku.
Dalam proses pencarian diusiaku yang ketiga-puluh-tiga, beberapa teman dekat mulai dijajaki, ta'aruf pun dilakukan. Dalam proses ta'aruf, salah seorang sempat melontarkan ide tentang pernikahan dan rencana khitbah. Namun herannya, hati ini kok emoh dan tetap tidak tergerak untuk memberikan jawaban pasti. Hey, what's going on with me? Bukankah aku sedang dikejar usia yang terus merambat menua? Bukankah aku sedang dalam proses pencarian belahan jiwa? Bahkan seorang sahabat sempat berkomentar miring tentang keengganan aku memberikan respon kepada salah satu dari mereka. Si sahabat mengatakan bahwa aku adalah type 'pemilih' yang lebih suka jodoh yang tampan, kaya raya dan baik hati, dan lainnya yang serba super dan wah. Tapi, aku gelengkan kepalaku ke arahnya karena kriteria seorang calon suami bagiku adalah si dia seorang muslim sejati yang mempunyai visi yang sama untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Tapi lucunya, kalau diminta untuk mengejewantahkan ke dalam diri seseorang, jujur saja aku tidak tahu.
Again, jodoh sesungguhnya sebuah rahasia yang mutlak milik Allah Swt. Proses pertemuanku dengan sang suami pun bak cerita dongeng. Jangankan sahabat atau rekan kantor, pun jika kami kembali me-rewind proses pertemuan kami, wuih ... unbelievable! but it happened! Subhanallah...
Suamiku adalah sosok yang biasa dan sangat sederhana, namun justru kesederhanaan dan keterbiasaannya itulah yang memikat hati ini. Dan, alhamdulillaah hampir mendekati kriteria seorang suami yang aku dambakan. Di beberapa malam kebersamaan kami, suami sering menanyakan kepadaku tentang satu hal, "apakah bunda bahagia menikah dengan aku?" aku pun menjawab dengan jeda waktu sedikit lama, "ya, bunda bahagia, ayah". Masya Allah, seandainya suamiku tahu, besarnya rasa bahagia yang ada di dada ini lebih dari yang dia tahu. Besarnya rasa syukur ini memiliki dia cukup menggetarkan segenap hati sampai aku perlu jeda waktu untuk menjawab pertanyaannya. Hanya, aku masih belum mampu mengungkapkan secara verbal. Allah yang Maha Mengetahui segala getaran cinta yang ada di hati bunda, Allah yang Maha Mengetahui segala rasa sayang yang ada di jiwa bunda. Karena, atas nama Allah bunda mencintai ayah.
Pertama kali aku melihat suamiku adalah ketika acara ta'lim kantor kami di luar kota. Kami berdua belum mengenal satu sama lain. Hanya kesederhanaan dan wajah teduhnya sempat mampir di dalam pikiranku. Beberapa hari kemudian, aku terlibat diskusi di forum ta'lim yang difasilitasi oleh kantor kami. Di sinilah aku merasakan kuasa Allah yang sangat besar. Rupanya teman diskusi itu adalah si empunya wajah teduh tersebut. Ini aku ketahui ketika kami janjian bertemu di suatu majelis ta'lim di salah satu masjid di Jakarta. Sempat juga aku kaget ketika menemui wajah yang tidak asing itu. Setelah acara ta'lim selesai, kami sempat mengobrol selama kurang dari satu jam dan kami pun pulang ke rumah masing-masing. Tidak ada yang special pada saat itu, at all.
Namun beberapa hari kemudian, entah kenapa wajah teduh itu mulai hadir di pikiranku kembali. Ternyata hal yang sama pun terjadi di pihak sana. Kami pun sepakat untuk melakukan ostikharah. Subhanallaah, tidak ada kebimbangan sama sekali dalam hati kami berdua untuk menyegerakan hubungan ini ke dalam pernikahan. Satu minggu setelah pertemuan kami di masjid, sang calon suami pun melamarku lewat telepon. Pun tanpa ada keraguan aku menjawab YA, ketika dia mengatakan akan membawa keluarganya untuk meng-khitbah ahad yang akan datang.
Pernikahan kami terlaksana justru bersamaan dengan rencana khitbah itu sendiri. Proses yang terjadi adalah keajaiban buat kami berdua dan semua adalah kuasa Allah yang ditunjukkan kepada kami. Kami rasakan 'tangan' Allah benar-benar turun menolong memudahkan segala urusan. Hari H yang semestinya adalah pertemuan antar dua keluarga dalam acara khitbah, justru dilakukan bersamaan dengan akad nikah. Sujud syukur kami berdua, karena semua acara berjalan begitu lancar, dari mulai dukungan seluruh keluarga, urusan penghulu dan pengurusan surat-surat ke KUA, hanya dilakukan dalam waktu 1 hari 1 malam!!. Maha Suci Allah, hal tersebut semakin menguatkan hati kami, bahwa pernikahan ini adalah rencana terbaik dari Allah Swt dan Dia-lah Pemersatu bagi perjanjian suci kami ini. Dalam isak tangis kebahagiaan kami atas segala kemudahan yang diberikan-Nya, tak pernah putus kami bersyukur akan nikmat-Nya. Insya Allah, pernikahan kami merupakan hijrahnya kami menuju kehidupan yang lebih baik dengan mengharap ridho Allah, karena tanggal pernikahan kami selisih satu hari setelah hari Isra mi'raj.
Akhirnya setelah sekian lama aku mengembara mencari pasangan hidup ternyata jodohku tidak pernah jauh dari pelupuk mata. Suamiku adalah teman satu kantor yang justru tidak pernah aku kenal kecuali dua minggu sebelum pernikahan kami. Inilah rahasia Allah Swt yang tidak pernah dapat kita ketahui kecuali dengan berkhusbudzon kepada-Nya. Percayalah, bahwa Allah Swt adalah sebaik-sebaik Pembuat keputusan. Serahkanlah segala urusan hanya kepada Allah semata. Jika sekarang para akhwat yang sudah di atas usia kepala tiga merasa khawatir karena belum mendapatkan pasangan/jodoh, percayalah selalu akan janji Allah di dalam firman-Nya:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (ar-Ruum:21)
Jangankan manusia, hewan dan buah-buahan pun diciptakan Allah perpasangan. Ber-khusnudzon selalu kepada-Nya bahwa, entah esok, lusa, satu bulan, satu tahun atau bahkan mungkin sepuluh tahun nanti, dengan ijin Allah, jodoh kalian pasti akan datang. Pasangan jiwa yang terbaik yang dijanjikan dan dipersatukan-Nya dalam perjanjian suci yang disebut pernikahan. Wallahu'alam bishshowab. (bunda)
Hati-Hati! Jangan Jadi Istri Bermasalah
Publikasi: 04/12/2002 12:32 WIB
eramuslim - Allah sungguh telah menjadikan orang-orang yang hidup terdahulu sebagai contoh dan pelajaran terbaik bagi manusia saat ini. Tidak hanya hal-hal kebaikan yang patut diteladani, namun juga Allah menggambarkan keburukan-keburukan yang bisa diambil hikmahnya. Di semua aspek kehidupan, sudah disajikan secara lengkap baik dalam Al Qur’an maupun kisah-kisah kehidupan yang terjadi di masa Rasul-Rasul Allah, juga para sahabat.
Begitu pula halnya dengan contoh-contoh teladan dalam berumah tangga. Selain mengetengahkan pribadi-pribadi mengagumkan yang bisa dijadikan rujukan dalam berumah tangga, termasuk didalamnya tata cara, adab juga akhlak terhadap pasangan hidup. Kita tentu mengenal pribadi-pribadi mengagumkan seperti Rasulullah Muhammad Saw dalam cara memperlakukan istri-istri beliau, Ibrahim alaihi salam yang terkenal begitu santun dan menyayangi istrinya.
Selain daripada itu, Allah juga menampilkan tokoh-tokoh wanita dambaan yang memiliki keluhuran budi dan kemuliaan hati semacam Rahmah istri Nabi Ayub yang sangat setia mendampingi dan merawat suaminya yang menderita sakit parah nan menjijikkan. Ada Asiyah istri Raja Fir’aun yang berhati mulia, penyayang meski sang suami terkenal sebagai orang yang kejam dan tidak manusiawi. Lewat Asiyah lah Allah melindungi Musa kecil hingga menjadi Nabi Allah. Disamping dua wanita tersebut, juga tak kalah hebatnya adalah Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah yang termasuk salah seorang yang pertama-tama meyakini kerasulan Muhammad. Bijak, dewasa dan matang bersikap adalah ciri utama dari Khadijah. Aisyah yang cerdas, seharusnya juga menjadi teladan bagaimana seorang istri juga berperan dalam membantu suami memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Bayangkan betapa berharganya anda sebagai istri yang cerdas dan suami amat membanggakan kecerdasan istrinya.
Yang juga penting untuk dicontoh adalah istri sekaligus ibu seperti Nusaibah binti Kaab yang memiliki semangat pengorbanan begitu tinggi. Suami dan anak-anaknya (juga dirinya) semua ikhlas melebur ke dalam medan jihad membela rasul. Dua istri Nabi Ibrahim, Siti Sarah dan Siti Hajar juga sangat layak menjadi contoh terbaik bagi kita. Sarah yang setia dan Hajar ibunda Ismail yang gigih tak kenal putus asa, juga taat kepada Allah. Kegigihannya diperlihatkan saat harus berlari-lari dari Safa ke Marwah mencari air untuk untuk ananda Ismail yang masih bayi. Sarah juga sangat gigih saat bersama suaminya menghalau godaan syetan saat Allah mengeluarkan perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail.
Namun demikian, dihadirkan pula tokoh-tokoh istri yang bermasalah yang sekiranya bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita agar kita senantiasa berlepas diri dari sifat-sifat mereka. Diantaranya, adalah istri Abu Lahab yang membantu suaminya menentang dan memusuhi Rasulullah. Ketaatannya kepada suaminya adalah bentuk ketaatan yang salah karena mengikuti suami untuk menentang kebenaran. Kisah ini kemudian diabadikan Allah dalam salah satu surat dalam Al Qur’an. Kemudian ada Istri Nabi Nuh yang menolak ikut suaminya kepada jalan kebenaran sehingga ia bersama anaknya Kana’an yang juga menentang Nabi Nuh tenggelam oleh karena kesombongannya. Demikian pula istri Nabi Luth yang ikut bersekongkol dalam budaya homo yang terjangkit pada masa Nabi Luth. Pada masa Yusuf, ada wanita yang bernama Zulaikha yang berniat berselingkuh hanya karena tak mampu menahan nafsunya pada ketampanan Yusuf.
Tentu masih akan sangat banyak profil-profil yang bisa ditampilkan untuk dijadikan sebagai pelajaran dan hikmah bagi kita. Seperti halnya kita masih bisa menemukan suami-suami yang taat, teguh pendirian, dan menjaga kemaluannya. Juga istri-istri yang shalihah, taat kepada Allah dan suaminya, setia, sabar, pengertian serta menjaga harga diri dan suaminya. Kita juga masih akan terus bisa menyaksikan para suami dan para istri yang bermasalah. Semoga sebagai istri, kita terhindar dari ketaatan yang salah dengan ikut menentang kebenaran yang juga ditentang suami, sombong dan sama sekali menolak kebenaran padahal suaminya sudah meminta untuk berlaku benar, terpengaruh oleh budaya yang menyesatkan, atau bahkan terbersit niat untuk mengkhianati suami dengan berselingkuh. Masih banyak lagi tentunya, sifat-sifat tercela dan kebiasaan buruk dari orang-orang terdahulu dan juga yang terjadi di sekitar kita saat ini. Dan semoga, kita tak menjerumuskan diri ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Ummu Hufha)
Bunga Istimewa Hanya Untuk Yang Istimewa
Publikasi: 25/10/2002 11:00 WIB
eramuslim - Bunga adalah simbol kesegaran, keceriaan dan kebahagiaan. Bisa jadi ada makna yang lebih dalam dari penamaan Rasulullah atas putri tercintanya, Fatimah Az Zahra. Az Zahra sendiri berarti “bunga”. Tidaklah mengherankan jika Fatimah menjadi anak yang paling disayang dibanding saudara-saudara Fatimah lainnya. Hal itu terlihat dari ungkapan Rasulullah, “Siapa yang membuatnya sedih, berarti juga membuat aku sedih, dan barang siapa menyenangkannya, berarti menyenangkanku pula”.
“Bunga” Fatimah yang tumbuh dan berkembang dalam binaan langsung dari ayahanda Rasul yang baik, lemah lembut dan terpuji menjadikannya seorang gadis yang juga penuh kelembutan, berwibawa, mencintai kebaikan plus akhlak terpuji meneladani sang ayah. Maka tidaklah aneh, bunga yang dinisbatkan Rasul menjadi wanita penghulu surga itu menjadi primadona di kalangan para sahabat Rasulullah.
Tercatat, beberapa sahabat utama seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah mencoba melamar Fatimah. Hanya saja, sayangnya dengan halus Rasulullah menolak lamaran para sahabat itu. Hingga akhirnya datanglah Ali bin Abi Thalib untuk meminang Fatimah. “Aku mendatangi Rasulullah untuk meminang putri beliau, yaitu Fatimah. Aku berkata: Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa, namun aku ingat kebaikan Rasulullah, maka aku beranikan diri untuk meminangnya”. Akhirnya, Rasulullah pun menerima pinangan Ali meski hanya mempersembahkan baju besi al khuthaimah (yang juga merupakan pemberian Rasul).
Fatimah adalah bunga yang terpelihara, tidak tanggung-tanggung yang mendidik, membina, memeliharanya adalah manusia agung nan mulia Muhammad Rasul Allah, yang memiliki segala keterpujian. Bunga yang indah dengan segala keistimewaannya, harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang istimewa dan memiliki berbagai kelebihan pula, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib. Siapa yang meragukan kapasitas Abu Bakar dan Umar bin Khattab, yang keduanya kemudian berturut-turut menjadi khalifah meneruskan perjuangan kaum muslimin menggantikan Rasul. Lalu kenapa ayahanda sang bunga itu menolaknya?
Pertanyaan selanjutnya, kenapa Ali yang hanya bermodalkan baju besi (yang juga pemberian Rasul) menjadi pilihan Rasul untuk mendampingi Fatimah? Meski memang Rasulullah yang paling tahu alasan itu (termasuk juga alasan menolak pinangan dua sahabat yang juga istimewa), namun kita bisa melihat sisi kelebihan dari Ali bin Abi Thalib, pemuda pemberani ini. Ali adalah lelaki istimewa, masuk dalam assabiquunal awwaluun (golongan pertama yang masuk Islam) dengan usia termuda. Soal keberanian, jangan pernah menyangsikan lelaki satu ini. Perang badar yang diikuti oleh seluruh manusia pemberani didikan Rasul, terselip satu lelaki muda yang dengan gagahnya maju ke depan ketika seorang pemuka dan ahli perang kaum kafir menantang untuk berduel. Meski awalnya dilecehkan karena dianggap masih kecil, namun Ali dengan kehebatannya mampu mengalahkan musuh duelnya itu. Tidak sampai disitu, yang membuat Rasulullah tak bisa melupakannya adalah jasa besar dan keberanian Ali menggantikan Rasul tidur di pembaringannya saat Rasulullah ditemani Abu Bakar menyelinap ke luar saat hijrah. Padahal resikonya adalah mati terpenggal oleh balatentara kafir yang telah mengepungnya.
Tentu masih banyak dan tidak akan cukup satu halaman untuk mencatat kelebihan Ali yang menjadikannya begitu istimewa. Satu yang bisa kita tangkap secara jelas, bahwa wanita istimewa memang dipersiapkan untuk lelaki istimewa. Seperti halnya, “bunga” Fatimah yang hanya Ali bin Abi Thalib yang diizinkan Rasulullah untuk memetiknya. Oleh karenanya, jangan pernah berharap akan datangnya seseorang istimewa jika tak pernah menjadikan diri ini istimewa. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Wanita Itu Mutiara ...
Publikasi: 30/09/2002 06:50 WIB
eramuslim - Woman was made from the rib of man, She was not created from his head to top him, Not from his feet to be stepped upon, She was made from his side to be close to him, From beneath his arm to be protected by him, Near his heart to be loved by him.
Bagaimana perasaan seorang pria jika dikelilingi banyak wanita? Jika pertanyaan itu disodorkan kepada saya, maka ungkapan “bangga” nampaknya cukup mewakili perasaan saya. Saya senang setiap hari dikelilingi wanita cantik, shalihah pula. Dan tentu pada saat itu saya semakin merasa menjadi ‘pangeran’. Ups, jangan curiga dulu, karena wanita-wanita cantik nan shalihah yang saya maksud adalah istri dan dua anak saya yang keduanya ‘kebetulan’ wanita. Insya Allah.
Tidak hanya itu, sebelum saya menikah, saya juga lebih banyak disentuh oleh wanita, yakni ibu karena semenjak usia enam tahun saya memilih untuk ikut ibu saat ia bercerai dengan ayah. Sebuah naluri kedekatan anak terhadap ibunya yang tidak sekedar karena telah menghisap ratusan liter air susu ibunya, melainkan juga ikatan bathin yang tak bisa terpisahkan dari kehangatan yang senantiasa diberikan seorang ibu terhadap anaknya.
Karena itulah, dalam hidup saya tidak ingin berbuat sesuatu yang sekiranya dapat mengecewakan dan melukai seorang wanita. Namun sikap yang tepat dan bijak harus diberikan seorang pria mengingat wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok, yang apabila terdapat kesalahan padanya, pria harus berhati-hati meluruskannya. Terlalu keras akan mematahkannya, dibiarkan juga salah karena akan tetap pada kebengkokannya. Meski demikian, tidak sedikit pria harus membiarkan wanita kecewa demi meluruskan kesalahan itu, toh setiap pria yang melakukan itu pun sangat yakin bahwa kekecewaan itu hanya sesaat kerena selanjutnya akan berbuah manis.
Wanita itu ibarat bunga, yang jika kasar dalam memperlakukannya akan merusak keindahannya, menodai kesempurnaannya sehingga menjadikannya layu tak berseri. Ia ibarat selembar sutra yang mudah robek oleh terpaan badai, terombang-ambing oleh hempasan angin dan basah kuyup meski oleh setitik air. Oleh karenanya, jangan biarkan hatinya robek terluka karena ucapan yang menyakitkan karena hatinya begitu lembut, jangan pula membiarkannya sendirian menantang hidup karena sesungguhnya ia hadir dari kesendirian dengan menawarkan setangkup ketenangan dan ketentraman. Sebaiknya tidak sekali-kali membuatnya menangis oleh sikap yang mengecewakan, karena biasanya tangis itu tetap membekas di hati meski airnya tak lagi membasahi kelopak matanya.
Wanita itu mutiara. Orang perlu menyelam jauh ke dasarnya untuk mendapatkan kecantikan sesungguhnya. Karenanya, melihat dengan tanpa membuka tabir hatinya niscaya hanya semu sesaat yang seringkali mampu mengelabui mata. Orang perlu berjuang menyusur ombak, menahan arus dan menantang semua bahayanya untuk bisa meraihnya. Dan tentu untuk itu, orang harus memiliki bekal yang cukup sehingga layak dan pantas mendapatkan mutiara indah itu.
Wanita itu separuh dari jiwa yang hilang. Maka orang harus mencarinya dengan seksama, memilihnya dengan teliti, melihat dengan hati-hati sebelum menjadikannya pasangan jiwa. Karena jika salah, ia tidak akan menjadi sepasang jiwa yang bisa menghasilkan bunga-bunga cinta, melainkan noktah merah menyemai pertikaian. Ia tak akan bisa menyamakan langkah, selalu bertolak pandang sehingga tak memberikan kenyamanan dan keserasian. Ia tak mungkin menjadi satu hati meski seluruh daya dikerahkan untuk melakukannya. Dan yang jelas ia tak bisa menjadi cermin diri disaat lengah atau larut.
Wanita memiliki kekuatan luar biasa yang tak pernah dipunyai lawan jenisnya dengan lebih baik. Yakni kekuatan cinta, empati dan kesetiaan. Dengan cintanya ia menguatkan langkah orang-orang yang bersamanya, empatinya membangkitkan mereka yang jatuh dan kesetiaannya tak lekang oleh waktu, tak lebur oleh perubahan.
Dan wanita adalah sumber kehidupan. Yang mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kehidupan baru, yang dari dadanya dialirkan air susu yang menghidupkan. Sehingga semua pengorbanannya itu layak menempatkannya pada kemuliaan surga, juga keagungan penghormatan. Tidak berlebihan pula jika Rasulullah menjadi seorang wanita (Fathimah) sebagai orang pertama yang kelak mendampinginya di surga.
Untung saya bukan penyanyi ngetop yang menjadikan wanita dan cintanya sebatas syair lagu demi meraup keuntungan. Sehingga yang tampak dimata hanyalah wanita sebatas bunga-bunga penghias yang bisa dicampakkan ketika tak lagi menyenangkan. Kebetulan saya juga bukan bintang sinetron yang kerap diagung-agungkan wanita. Karena kalau saya jadi mereka, tentu ‘kebanggaan’ saya dikelilingi wanita cantik bisa berbeda makna dengan kebanggaan saya sebagai seorang yang bukan siapa-siapa.
Bagusnya juga wanita-wanita yang mendekati dan mengelilingi saya bukanlah mereka yang rela diperlakukan tidak seperti bunga, bukan selayaknya mutiara dan tak selembut sutra. Bukan wanita yang mencampakkan dirinya sendiri dalam kubangan kehinaan berselimut kemewahan dan tuntutan zaman. Tidak seperti wanita yang rela diinjak-injak kehormatannya, tak menghiraukan jerit hatinya sendiri, atau bahkan pertentangan bathinnya. Juga bukan wanita yang membunuh nuraninya sendiri sehingga tak menjadikan mereka wanita yang pantas mendapatkan penghormatan, bahkan oleh buah hatinya sendiri.
Dan sudah pasti, selain tak ada wanita-wanita macam itu yang akan mendekati lelaki bukan siapa-siapa seperti saya ini, saya pun tentu tidak akan betah berlama-lama berdekatan dengan mereka, apalagi bangga. Semoga … (cinta)
Ketika Bidadari Turun ke Bumi
Publikasi: 12/09/2002 09:06 WIB
eramuslim - Dalam buku Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengisahkan tentang bidadari-bidadari surga. Bidadari-bidadari itu adalah wanita suci yang menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihat, dan menentramkan hati setiap pemiliknya. Rupanya cantik jelita, kulitnya mulus. Ia memiliki akhlak yang paling baik, perawan, kaya akan cinta dan umurnya sebaya. Siapakah yang orang yang beruntung mendapatkannya? Siapa lagi kalau bukan orang-orang yang syahid karena berjihad di jalan Allah, orang-orang yang tulus dan ikhlas membela agama Allah.
Sebagian kita mungkin berfikir, kapan kita berjumpa dengan bidadari-bidadari itu, apakah ia akan kita miliki, adakah ia sedikit diantara mereka mendiami bumi sekarang ini?
Bidadari-bidadari itu telah turun ke bumi. Semenjak Islam mulai bangkit lagi di bumi ini. Bidadari-bidadari itu menghias diri setiap hari. Dia berwujud manusia yang berhati lembut, menyenangkan dipandang mata, menyejukkan dilihat, menentramkan hati setiap pemiliknya. Dialah wanita sholehah yang menjaga kesucian dirinya. Seperti apakah bidadari bumi itu? Bisakah kita mengikuti langkahnya, apakah dia anak, adik, keponakan perempuan atau apakah ia istri dan ibu kita, atau ia hanya berupa angan yang sebenarnya bisa kita realisasikan, tapi syetan kuat menahan?
Dialah wanita sholehah yang menjaga kesucian dirinya. Setiap perempuan bisa menjadi bidadari bumi, seperti apakah ciri-cirinya?
1. Ia adalah wanita yang paling taat kepada Allah. Ia senantiasa menyerahkan segala urusan hidupnya kepada hukum dan syariat Allah.
2. Ia menjadikan Al-Quran dan Al-Hadis sebagai sumber hukum dalam mengatur seluruh aspek kehidupannya.
3. Ibadahnya baik dan memiliki akhlak serta budi perketi yang mulia. Tidak hobi berdusta, bergunjing dan ria.
4. Berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya. Ia senantiasa mendoakan orang tuanya, menghormati mereka, menjaga dan melindungi keduanya.
5. Ia taat kepada suaminya. Menjaga harta suaminya, mendidik anak-anaknya dengan kehidupan yang islami. Jika dilihat menyenangakan, bila dipandang menyejukkan, dan menentramkan bila berada didekatnya. Hati akan tenang bila meninggalkanya pergi. Ia melayani suaminya dengan baik, berhias hanya untuk suaminya, pandai membangkitkan dan memotifasi suaminya untuk berjuang membela agama Allah.
6. Ia tidak bermewah-mewah dengan dunia, tawadhu, bersikap sederhana. Kesabarannya luar biasa atas janji-janji Allah, ia tidak berhenti belajar untuk bekal hidupnya.
7. Ia bermanfaat dilingkungannya. Pengabdianya kepada masyarakat dan agama sangat besar. Ia menyeru manusia kepada Allah dengan kedua tangan dan lisannya yang lembut, hatinya yang bersih, akalnya yang cerdas dan dengan hartanya. "Dan dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah". (HR Muslim)
Dialah bidadari bumi, dialah wanita sholehah yang keberadaan dirinya lebih baik dan berarti dari seluruh isi alam ini. Ya Allah jadikanlah aku, ibuku, kakak dan adiku serta perempuan-perempuan di sekelilingku menjadi bidadari bumi. Agar kelak di syurga kami tidak canggung lagi. (Yesi Elsandra/special for Hufha)
berdua@hotmail.com)
Impian Arini
Publikasi: 11/09/2002 08:39 WIB
eramuslim - Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya untuk menggunakan kudung menutupi kepalanya. Jangankan untuk berkerudung, mendekat dengan mereka yang anggun berbusana muslimah pun tak pernah dilakukannya. Namun pertemuannya dengan teh Asih, istri kang Nirwan tetangga barunya membuatnya berbeda, terlebih setelah tetangga barunya itu menghadiahinya sebuah jilbab. Kini, meski malu-malu ia sudah mulai menutupi bagian atas tubuhnya dengan jilbab, plus baju gamis barunya. Anggun.
Namanya Arini, sejak masih di SMU terkenal tomboy. Orang akan menyangka ia memakai rok setiap berangkat ke sekolah. Padahal tidak, roknya lebih pas disebut celana kedombrongan sebatas lutut yang terlihat seperti rok kebanyakan siswi sekolah lainnya. Rambutnya yang dipangkas habis gaya pria membuat orang lain sering salah memanggilnya, “mas …” Tidak seperti kebanyakan perempuan, ia berbicara lantang, ceplas-ceplos tak sedikitpun kesan kemayu, termasuk lagak dan cara berjalannya.
Selepas SMU dan mulai memasuki dunia kampus. Tomboynya makin menjadi. “Gue bebas berekspresi, selamat tinggal putih abu-abu,” teriaknya suatu ketika. Tidak ada yang berubah, rambutnya tetap pendek. Oblong, celana jeans-nya plus jaket belelnya tak ketinggalan. Arini juga tak beranting. Dan … semakin banyak yang salah memanggilnya, “mas …” Mungkin status keperempuanannya hanya terlihat di dua hal, pas ke toilet dan kalau sedang sholat (biar tomboy juga sholat lho…).
Nah, pas ke toilet kampus inilah ia sering menjumpai teman-teman jilbabernya. Mereka cantik … pikir Arini. Tidak di kampus, tidak di Mal atau dimana tempat ia sering menjumpai orang-orang berjilbab, menurutnya semua punya gaya yang sama dan sangat khas. Jilbab panjang sampai sepaha, baju panjang yang hampir menutup semua tubuhnya. Cara berjalan yang juga hampir tak ada bedanya. “Satu-dua sih beda. Ada yang gesit seperti dikejar anjing, ada juga yang santai. Tapi semuanya rata-rata berjalan dengan menundukkan kepala,” ingatnya.
Kebetulan di sebelah rumahnya ada tetangga baru yang ngontrak. Keluarga muda yang belum memiliki anak. Arini berkenalan dengan mereka. Itupun karena ibu muda itu dengan ramah menegur terlebih dulu setiap orang yang tinggal di daerahnya, termasuk Arini. Namanya, Asih, Arini memanggilnya, teh Asih. Suaminya yang lumayan cool tak berjenggot itu, kang Nirwan. Awalnya Arini mengira keramahan itu hal biasa yang dilakukan layaknya pendatang baru. Tapi ternyata tidak. Dua bulan dua minggu sudah ia bertetanggaan dengan keluarga itu, teh Asih dan kang Nirwan tetap ramah, malah semakin akrab dengan semua, juga Arini.
“teh, akhwat itu apa sih …” Arini menanyakan hal tersebut kepada teh Asih karena ia sering mendengarnya dalam interaksi beberapa kelompok di kampusnya. Setelah dijelaskan panjang lebar, Arini menambahkan pertanyaannya, “Kalau saya ..., akhwat apa bukan?” Terus pertanyaan demi pertanyaan mengalir seputar kosa kata yang ditelinganya akrab terdengar namun terasa asing, seperti ikhwan, ana, antum, akhi, ukhti de el el.
Arini memang serba bingung, teh Asih menjelaskan panjang lebar tentang definisi kata-kata yang ditanyakannya. Namun pada kenyataannya tak satupun akhi berjenggot dengan kehitaman dikeningnya, juga ukhti berkudung panjang yang menyapanya dengan sebutan ukhti dan melabelinya akhwat. Untuk sementara ia berasumsi, sebutan itu hanya berlaku dikalangan mereka. Tidak untuk dirinya yang plontos tak berkudung, polos tak bergamis. Apalagi sikapnya yang masih teplak teplok terhadap lawan jenis dan tegur sapanya yang gue-elo.
Pernah Arini diundang ke pengajian di kampusnya, dan ia mencoba untuk berkerudung. Ia tak punya jilbab yang panjang seperti yang biasa dikenakan teman-temannya. Alhasil, jilbab pendek alias bergo milik ibunya yang ia pakai. Sehabis pengajian, Arini bersungut-sungut karena sepanjang pengajian lebih banyak teman senasibnya (yang pakai jilbab hanya sewaktu pengajian) yang menegurnya. Ada sih beberapa, tapi kebanyakan ukhti itu lebih akrab dengan sesama jilbab panjang saja. Cuma salaman, tidak ada peluk cium pipi kiri-kanan seperti yang didapat sesama akhwat ketika datang maupun hendak berpisah. Indah dan sejuk Arini memandangnya, tapi tidak dirasa dihatinya.
Ada kerinduan yang tertanam akan kedamaian menjadi perempuan sebenarnya. Menutup aurat sebagai fitrahnya dan menjaga pandangan serta kemaluannya. Kembali Arini bertanya kepada teh Asih, apakah seorang akhwat boleh bersikap tomboy, boleh ngomong gue-elo, boleh bertegur sapa dengan lawan jenis, boleh bercanda, boleh ke Mal, boleh …. . Yang jelas tertangkap dalam benaknya, teh Asih agak berbeda dengan beberapa ukhti di kampusnya, meski teh Asih juga seorang akhwat. Begitu juga kang Nirwan, yang dengan sopan dan senyum penuh keramahan menegurnya, yang tidak jarang mengajaknya berdiskusi tentang Islam atau apa saja. kang Nirwan tidak kaku, pikir Arini. Meski ia tahu lelaki itu tetap menjaga pandangannya, dan tak sekalipun menyentuhnya.
Arini, dan juga banyak teman kampusnya, bukan tak ingin menjadi akhwat, tapi ia hanya ingin menjadi akhwat seperti teh Asih, juga beberapa ukhti yang cukup hangat tersenyum dan menyapanya. Arini ingin menjadi akhwat bukan sekedar agar tak ada lagi yang menyapa "mas" kepadanya. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan besar dibenaknya, kenapa hanya sebagian kecil yang memandang dirinya seperti yang dilakukan teh Asih …, hanya sebagian dari ukhti itu yang bisa menerimanya sebagai “akhwat” meski jilbabnya tidak sama panjangnya. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama, seperti diceritakan seorang ‘ukhti’).
Menunda Nikah Demi Menuntut Ilmu
Publikasi: 06/09/2002 13:49 WIB
eramuslim - Pernikahan yang diserukan oleh Islam merupakan fitrah dan sunah para Nabi dan Rasul (manusia pilihan yang sempurna). Meneladani mereka merupakan hal yang sangat dituntut. Pernikahan yang barakah Insya Allah banyak melahirkan timbulnya sunnah hasanah (kebiasaan baru yang baik). Bahkan Rasulullah pernah menjanjikan kebaikan dengan berkata "Kawinilah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu, sehingga Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluangkan rezeki mereka dan menambah keluhuran mereka."
Dalam hadist dengan derajat shahih Rasulullah SAW bersabda "Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud memelihara kehormatannya dan yang berjihad di jalan Allah." (HR Turmudzi, An Nasa'i, Al Hakim dan Daruquthni). Bahkan Rasulullah pernah memberi peringatan bagi orang-orang yang urung menikah dengan berkata "Bukan termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah." (HR Thabrani).
Demikian tingginya kedudukan pernikahan dalam Islam sehingga menikah merupakan jalan menyempurnakan separuh agama. Rasulullah SAW bersabda: "Apabila seorang hamba telah berkeluarga berarti ia telah menyempurnakan separuh agamanya . Maka takutlah kepada Allah terhadap separuh yang lainnya." (HR Ath-Thabrani).
Bagaimana jika timbulnya keinginan menunda pernikahan karena suatu sebab yang lainnya, misalnya menuntut ilmu (Agama Islam)?
Baiklah, sebelum kita dapati jawaban atas pertanyaan diatas, kita lihat dalam beberapa ayat Alquran berikut tentang keutamaan menuntut ilmu.
"Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari kalian dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian lakukan." (QS 58:11)
"Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. 39:9)
"Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui." (QS. 21:7)
Bahkan seruan menuntut ilmu dikatakan oleh Rasulullah pada hadist shahih berikut, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu (agama) maka akan Allah mudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat senantiasa meletakkan sayapnya bagi orang-orang yang menuntu ilmu (thalibul ilmi). Para penghuni langit dan bumi sampai ikan-ikan di dalam air pun akan memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang alim dibandingkan 'abid (ahli ibadah) bagaikan keutamaan bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris nabi. Dan para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham tapi hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambil warisan itu berarti dia telah mendapatkan keuntungan besar." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Dalam ayat berikut ini didapati adanya beberapa amalan besar yang boleh ditunda pelaksanaannya demi menuntut ilmu agama. Allah SWT bersabda: "Tidak sepantasnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. 9:122).
Ada sebuah riwayat dari Imam Ibnul Jauzi rahimullah menyatakan: "Dan sungguh salafus shalih lebih mengutamakan ilmu atas segala sesuatu. Maka antara lain diriwayatkan bahwa Imam Ahmad tidak menikah kecuali setelah berusia lebih dari 40 tahun."
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Abu Bakar bin Al Anbari diberikan hadiah seorang budak wanita, maka ketika beliau masuk menemui budak tersebut untuk berjima' dengannya, beliau berfikir untuk memecahkan suatu masalah ilmiah dalam bidang agama. Budak itu kemudian menyendiri dari beliau. Dan beliau berkata: "Keluarkanlah budak ini dan bawalah pada pedagang budak". Mendengar ucapan beliau budak wanita tersebut bertanya: "Apakah aku mempunyai kesalahan?" Beliau menjawab:"Tidak, tetapi hatiku disibukkan denganmu, apapula nilaimu sehingga bisa menghalangi aku dari ilmuku".
Dalam kitab Jami'ul Bayanil Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu Abdil Barrahimahullah menjelaskan bahwa ada dua hukum dalam menuntut ilmu, yaitu: Fardhu 'ain yaitu yang harus kita fahami segala kewajiban dalam agama dan cara pengamalannya. Contohnya: perkara tauhid, sholat lima waktu, dan larangan berzina, mabuk dan lain-lain. Fardhu kifayah yaitu bila kita menuntut ilmu agama tentang dalil-dalil keterangan agama dan penelitian tentang riwayat-riwayat dalil tersebut.
Kewajiban menuntut ilmu yang diserukan oleh Rasulullah SAW tidak memandang umur dan jenis kelamin. Rasulullah bersabda: "Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim". (HR Ahmad, Ahsan).
Berdasarkan realita yang ada, banyak terjadi dikalangan muda-mudi Islam yang menemui hambatan dalam menuntu ilmu setelah menikah. Yang laki-laki disebabkan karena direpoti oleh kesibukan dalam mencari nafkah bagi keluarga dan yang perempuan disibukkan oleh tugas-tugasnya sebagi istri dan mengurus anak.
Jika demikian menunda menikah demi menuntut ilmu adalah mulia atau paling tidak menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupan berumah tangga dan dalam mendidik anak. Tapi hal tersebut tidak dianjurkan bagi mereka yang memastikan bahwa dirinya tidak akan menemui masalah dan terganggu dalam menuntut ilmu apabila dirinya telah menikah. Bahkan bagi dirinya sangat dianjurkan untuk segera menikah demi menghindari kemaksiatan.
Nah sekarang, pertanyaan diatas telah terjawab, bahwa tidak mengapa jika seseorang mengambil keputusan untuk menunda menikah karena alasan yang jelas yaitu ingin menuntut ilmu. Dengan berilmu manusia dapat menjaga dirinya dari segala permasalahan yang dihadapinya (termasuk didalamnya problema kehidupan berumah tangga) seperti yang telah tercantum pada QS. 9:122 agar selamat dunia dan akhirat. Semoga dengan demikian langkah kita semakin mantap dalam menentukan sikap untuk memilih keutamaan yang lebih utama dari keutamaan yang lainnya. Selamat memilih! Wallahu a'lam bishshowaab (Rasyahanifah@netscape.net)
Pilih: Ta’aruf atau Pacaran ….
Publikasi: 16/08/2002 16:09 WIB
eramuslim - Dikalangan tertentu pacaran tidak dikenal, pun mereka tahu tetapi cenderung menghindari karena menganggap gaya itu tidak lagi mutlak dilakukan pada masa pranikah. Selain dinilai tidak sesuai dengan norma agama -ini terbukti dari pengalaman sepanjang sejarah keberadaan manusia bahwa pacaran cenderung kelewat batas bahkan tidak sedikit yang amoral- juga berkembangnya pemikiran bahwa satu kesia-siaan saja berjalan bersama orang yang belum tentu 100 % menjadi pasangannya. Ya, bagaimana mungkin bisa meyakinkan bahwa orang yang saat ini berjalan bersamanya memiliki komitmen untuk tetap ‘setia’ sampai ke jenjang pernikahan, la wong sudah sekian tahun berpacaran ternyata wacananya hanya sebatas curhat-curhatan dan take n give yang tak berdasar, tidak meningkat pada satu tindakan gentle, menikah! Atau setidaknya mengajukan surat lamaran ke orangtua si gadis. Berbagai dalih dan argumentasi pun meluncur untuk mengkamuflasekan ketidakgentle-annya itu, yang kemudian semua orang pun tahu itu cuma lips service dari orang yang tidak benar-benar dewasa alias childish.
Kedewasaan, ukurannya tidak terwakili hanya oleh umurnya yang diatas seperempat abad misalnya, tetapi juga pada sikap diri, attitude yang tertampilkan dalam kesehariannya. Dalam dunia pekerjaan, sikap dewasa dapat dilihat dari profesionalisme kerja, termasuk didalamnya kedisplinan. Dalam hubungan interelasi, bijaksana, proporsional dalam bersikap dan berbicara bisa jadi satu parameter kedewasaan. Nah yang menjadi masalahnya kemudian, tidak sedikit orang yang seharusnya bersikap dewasa justru memamerkan sifat kekanakkan saat berkesempatan bersama pasangannya, sikap yang dipraktekkan secara tidak proporsional dari ungkapan kasih sayang dan pengorbanan.
Orang terlihat dewasa mungkin hanya dari fisiknya saja, namun sisi lainnya seringkali luput dari perhatian. Padahal kedewasaan jelas meliputi beberapa aspek yang sekiranya patut diperhatikan dalam memilih pasangan yang kelak dinominasikan untuk menjadi pasangan hidup. Dewasa secara fisik, dimana organ-organ reproduksi telah berfungsi secara optimal yang ditandai dengan produksi sperma yang baik pada pria dan produksi sel telur yang memadai pada wanita. Selain perkembangan sel-sel otot tubuh menandakan –sekaligus membedakan- pria dan wanita. Dewasa secara psikologis, yang ditandai dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan, serta mampu menjalani hubungan interdependensi. Ini penting untuk diperhatikan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan bersama dalam pernikahan. Dewasa secara sosial-ekonomi ditampakkan dalam kemampuan seseorang untuk membiayai kebutuhan hidup yang layak sebagai suami-istri. Tentu hal ini terkait dengan adanya pekerjaan yang jelas serta penghasilan yang tetap, serta kesadaran akan meningkatnya biaya kehidupan dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya anggota keluarga kelak.
Berdasarkan aspek kedewasaan diatas, maka wajarlah jika disatu sisi justru ada orang yang enggan berpacaran. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa pacaran selain tidak diajarkan dalam agama Islam karena melanggar norma yang digariskan, juga dianggap ‘buang-buang waktu’, ‘wujud ketidakgentle-an’, ‘aktifitas sia-sia’ dan lain-lain. Namun sekedar diketahui, bahwa diluar itu ada sebagian yang memang benar-benar takut untuk mencintai, dicintai dan bahkan takut jatuh cinta. Dalam psikologi, orang-orang ini mungkin dianggap terkena sindrom fear of intimacy, satu kondisi yang disebabkan oleh ketakutan yang teramat sangat untuk menerima resiko kenyataan di kemudian hari. Seperti ditulis astaga.com, menurut psikolog Robert W Firestone dan Joyce Catlett, fear of intimacy ini adalah salah satu perwujudan dari pertahanan psikologis, yang lebih merupakan cermin dari pikiran dan sikap negatif atas hal-hal yang dilihat dan dipelajarinya waktu kecil.
Maka kemudian, Islam mengenal ‘pacaran’ dalam kemasan yang berbeda. Ustadz Ihsan Arlansyah Tanjung, konsultan keluarga sakinah di situs eramuslim sering mengatakan bahwa pacaran akronim dari ‘pakai cara nikah’. Ya, Islam hanya mengajarkan bentuk-bentuk curahan kasih sayang dan cinta itu setelah melalui satu proses sakral yakni pernikahan. Sementara proses pranikah yang dilakukan untuk saling mengenal antara calon pria dan wanita biasa disebut proses ta’aruf (perkenalan). Yang penting dari ta’aruf adalah saling mengenal antara kedua belah pihak, saling memberitahu keadaan keluarga masing-masing, saling memberi tahu harapan dan prinsip hidup, saling mengungkapkan apa yang disukai dan tidak disukai, dan seterusnya. Kaidah-kaidah yang perlu dijaga dalam proses ini antar lain nondefensif, tidak bereaksi berlebihan pada feedback negatif, serta terbuka untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru, Jujur, tidak curang, berbohong dan punya sense of integrity yang kuat, Menghormati batas-batas, prioritas dan tujuan calon pasangan yang menyangkut diri mereka maupun tidak, Pengertian, empati, dan tidak mengubah pasangannya sedemikian rupa serta tidak mengontrol, manipulatif, apalagi mengancam pasangan dalam bentuk apa pun.
Dalam tahap ini anda dan dia bisa saling mengukur diri apakah cocok satu sama lain atau tidak. Masing-masing pihak masih harus sama-sama membuka options/kemungkinan batal atau jadi. Maka umumnya dilakukan tanpa terlebih dahulu melibatkan orangtua agar tidak menimbulkan kesan ‘harga jadi’ dan tidak ada lagi proses tawar menawar, sehingga jika pun gagal/batal tidak ada konsekuensi apa-apa. Karena jika sudah sampai menemui orangtua berarti secara samar maupun terang-terangan seorang pria sudah menunjukkan niat untuk memperistri si wanita. Yang perlu jadi ingatan, seringkali pasangan-pasangan itu terjebak dalam aktifitas pacaran yang terbungkus sampul ta’aruf. Apa namanya bukan pacaran kalau ada rutinitas kunjungan yang melegitimasi silaturahmi dengan embel-embel ‘ingin lebih kenal’.
Jika sudah mantap atas pilihan masing-masing barulah kemudian melibatkan orang tua dalam proses selanjutnya, lamaran (khitbah). Untuk khitbah tak ada aturan yang kaku, yang penting dalam masa penjajagan keduanya berkenalan dan saling mengungkap apa yang disukai dan tidak disukai, saling mengungkap apa visi misi dalam pernikahan dan seterusnya. Tentunya khitbah harus tetap mengikuti aturan pergaulan Islami, tak berkhalwat, tak mengumbar pandangan, tak menimbulkan zina mata, hati (apalagi badan), tak membicarakan hal-hal yang termasuk kejahatan dan sebagainya.
Yang perlu disadari, khitbah mirip jual beli, dalam masa tawar menawar bisa jadi, bisa juga batal. Pembatalannya harus tetap sopan menurut aturan Islami, tidak menyakiti hati dengan kata-kata yang kasar, tidak membicarakan aib yang sempat diketahui dalam khitbah kepada orang lain. Namun sebagaimana jual beli harus ada prinsip kedua belah pihak ridho. Khitbah baru bisa berlanjut ke pernikahan jika kedua pihak ridho, jika salah satu membatalkan proses tawar menawar maka pernikahan tak akan jadi. Kalaupun dibatalkan (meski mungkin menyakitkan), harus ada alasan yang kuat untuk salah satu pihak membatalkan rencana nikah yang sudah matang. Sebab Islam melarang ummatnya saling menyakiti tanpa alasan. Jadi jika ada yang ragu (dengan alasan yang benar) sebelum menikah, sebaiknya membatalkan sebelum terlanjur.
Adapun jarak antara khitbah dan akad nikah, tidak ada aturan yang menjelaskan harus berapa lama, tentu dalam hal ini masing-masing pihak bisa mengukurnya sendiri. Satu hari bisa jadi sudah deadline bagi pria-wanita yang sudah sedemikian menggebunya hingga khawatir terjerumus kepada dosa zina. Namun jika bisa merasa ‘aman’ dengan menunda beberapa waktu tidak masalah.
Jadi, jika segalanya sudah terencana dengan matang dan baik, seperti kata seorang bijak, jika berani menyelam ke dasar laut, mengapa terus bermain di kubangan, kalau siap berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan … Wallahu a’lam bishshowaab (Abinya Hufha)
(Bersyukur) Menjadi Wanita
Publikasi: 08/08/2002 10:31 WIB
eramuslim - Sebagian di kalangan wanita masih ada yang menganggap terlahir menjadi seorang wanita adalah musibah, karena mereka merasa sudah harus menyandang predikat manusia kelas dua setelah kaum laki-laki. Bahkan pada masanya, pandangan sebagian orangtua dahulu, melahirkan seorang anak berjenis kelamin wanita adalah satu hal yang tidak perlu disyukuri (dalam bahasa yang lebih kasar; satu hal yang patut disesali). Bagaimana tidak, mereka berpikir mengurus anak perempuan lebih sulit dibanding anak laki-laki. Dari mulai pakaiannya yang lebih mahal (karena lebih beragam) sampai kepada perwalian ketika menikah yang menjadi kewajiban bagi sang ayah termasuk mencarikannya jodoh yang baik. Terlebih ternyata sampai kini pun masih ada suami-suami (dan terkadang istrinya) yang entah disadari atau tidak masih terjebak dalam kerangka berpikir diskriminasi gender. Lihat saja ungkapan, “Anakku lelaki dong …” yang diungkapkan dengan bangga ketika kerabatnya menanyakan jenis kelamin anak yang baru saja lahir. Atau masih adanya (bahkan sampai kini) keluarga yang belum mau berhenti memiliki anak sebelum mendapatkan anak laki-laki, meski sudah memiliki lima anak wanita. Wacana-wacana seperti inilah yang kemudian terus dihembuskan oleh kaum feminis yang kerap salah dalam memandang perbedaan gender yang seringkali dibahasakan sebagai ‘pembedaan’.
Sebelumnya juga maaf jika judul diatas harus menggunakan kata “menjadi” karena kata tersebut bisa diartikan sebagai kata transisi atau perubahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kata “menjadi” yang diletakkan di depan kata “wanita” bisa saja diartikan dari bukan wanita menjadi wanita. Namun bukan itu yang dimaksudkan tentu dalam tulisan ini, pemilihan kata “menjadi” didasari pada satu kondisi bahwa masih banyak kaum wanita yang secara fisik adalah wanita namun pola berpikir, tingkah laku, penampilan dan bahkan kebiasaan sehari-harinya pun selalu mengacu kepada obsesi untuk tidak tersaingi oleh kaum lelaki. Mungkin sebenarnya lebih tepat menggunakan kata “sebagai” yang terasa lebih pas digunakan di depan kata “wanita”.
Terlahir sebagai wanita bukanlah satu hal yang harus disesali, karena justru banyak wanita yang merasa bangga sebagai wanita. Ini tentu bukan karena adanya fenomena makin bertebarannya waria, apalagi di negara-negara tertentu ada undang-undang yang mengakui eksistensi kaum tersebut. Bahkan di beberapa negara sering diselenggarakan kontes kecantikan kaum ‘bukan asli wanita’ itu. Diciptakannya laki-laki karena wanita, atau lebih tepatnya wanita diciptakan karena memang laki-laki akan hidup kesepian tanpa wanita (baca: kasih sayang dan ketentraman). Bahwasannya Allah sangat memahami kebutuhan laki-laki (Adam) akan hadirnya wanita yang bersamanya Allah sematkan kasih sayang, kedamaian dan ketentraman hidup, maka Dia pun menciptakan makhluk yang bernama wanita (Hawwa) yang diambil dari salah satu tulang rusuk lelaki.
Bahkan selanjutnya, tak ada yang bisa disombongkan oleh kaum lelaki karena sehebat dan segagah apapun mereka terlahir dari rahim wanita yang sering dianggap sebagai makhluk lemah. Lalu atas dasar apa kemudian para wanita tidak merasa bahwa menjadi wanita adalah satu hal yang seharusnya disyukuri, karena sungguh mereka berada pada posisi yang tidak pernah bisa disamakan oleh lelaki. Lihat saja betapa Rasulullah menempatkan seorang wanita (ibu) lebih utama untuk dipergauli dengan baik.
Wanita dengan segala keistimewaanya, masih terus mendapatkan kenikmatan dari fitrahnya sebagai kaum Hawwa. Mereka, misalnya, tidak diwajibkan mencari nafkah karena suami merekalah yang akan memberi nafkah (QS. Annisa:34), karena hal itu telah diwajibkan atas diri para lelaki yang oleh Allah telah diberikan kelebihan juga sebagai pemimpin dari bagi wanita. Dan jika belum masanya bagi wanita berumahtangga maka kewajiban nafkah atas dirinya pun masih ditanggung oleh ayahnya (yang juga laki-laki).
Kehalusan dan kelembutan sikap yang menjadi ciri khas wanita semakin melengkapi kepercayaan Allah sejak awal menempatkan sebuah janin di rahimnya hingga anak yang dikandungnya itu lahir dan besar dengan sentuhan lembut dan halus yang dimilikinya. Terbukti, disetujui atau tidak oleh kaum lelaki, setiap anak biasanya akan merasa lebih tentram, nyaman dam tenang bila bersama ibu mereka. Ini tentu sangat erat dengan hubungan mereka yang begitu mendalam semasa dalam susuan, apa yang dimakan ibu dirasakan juga oleh anak, perasaan apapun yang menggangu ataupun menggembirakan ibu, terpancar juga dari tangis dan senyuman sang anak.
Allah Sang Pencipta manusia dengan bentuk yang sempurna pun menambahkan kesempurnaan wanita dengan bentuk anatomi yang berbeda dari kaum lelaki. Dengan bentuk dan rupa yang cantik, wanita menjadi makhluk yang terasa tidak indah dunia tanpa kehadiran keindahan tersendiri dari sosok wanita sehingga tidak berlebihan jika Allah mewajibkan kaum lelaki menahan pandangannya (QS. An Nuur: 30). Wanita jualah yang kerap melahirkan inspirasi berbagai puisi dan syair lagu maupun lukisan bertema keindahan.

Tidak hanya itu, sedemikian mulianya wanita dalam pandangan Islam sehingga menjadikan wanita salah satu yang patut dilindungi ketika terjadi peperangan, maka teramat mulialah wanita yang justru ikut bahu membahu bersama kaum lelaki dalam peperangan membela agama Allah.
Nah, dari sekian keistimewaan dan kemuliaan yang dilimpahkan terhadap wanita tentu seharusnya tidak ada alasan bagi wanita (muslimah) untuk bersikeras menuntut persamaan hak dan kewajiban dengan kaum lelaki. Selain karena pembedaan itu tidak ada, karena banyak ayat maupun hadits yang telah menyatakan ketidakberbedaan keduanya dalam persoalan kesempatan beramal dan mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah. Kalaupun ada perbedaan (bukan pembedaan) itu hanya perbedaan yang mengikuti sifat kewanitaan yang dimiliki, semisal tingkat kerasnya pekerjaan. Atau juga hal-hal fitrah yang jelas tidak mungkin bisa dilakukan oleh laki-laki seperti mengandung, melahirkan dan menyusui. Selebihnya, tidak ada yang menghalangi wanita untuk meraih sukses dan prestasi bahkan melebihi lelaki. Wallahu’alam bishshowaab (Ummi Hufha)
Mimpi Bertemu Rabi’ah
Publikasi: 17/07/2002 09:15 WIB
eramuslim - Bicara kecantikan wajahnya tentu masih relatif nilainya, tetapi bagi siapapun yang pernah bertemu dengannya pasti setuju jika memberinya predikat cantik. Tapi soal kecantikan fisik itu tidaklah penting untuk dibicarakan, karena sebenarnya nilai lebih seorang wanita bukan terletak pada sisi itu, ada yang jauh lebih bisa dilihat orang ketimbang penampilan yakni yang tertata rapi didalam hatinya, yang menjadi dasar setiap sikap, pikiran dan perilaku seseorang.
Namanya Rabi’ah Al 'Adawiyah, ini tentu mengingatkan pada sosok wanita sufi yang sangat terkenal akan kecintaannya kepada Allah Swt. Mulai menutup aurat lengkap dengan jilbab terhulurnya sejak tujuh setengah tahun lalu saat baru pertama kali masuk perguruan tinggi. Cerdas, tentu saja! Itu bisa terlihat dari nilai IPK-nya yang diatas rata-rata mahasiswa lainnya di perguruan tinggi negeri terkemuka di Jakarta. Selain cerdas, gadis ini juga sangat supel, pandai bergaul sehingga sangat dekat dengan semua yang dikenalnya, mulai dari anak-anak yang baru mulai berjalan sampai orang-orang tua di panti jompo dekat rumahnya.
Tidak sombong, dewasa dan bijaksana dalam bersikap, sehingga sering menjadi panutan masyarakat sekitar dimana ia tinggal. Masyarakat cukup menghormatinya, terutama kaum ibu, bukan karena kebetulan ia anak orang berada di lingkungannya, tetapi karena dipercayanya ia mengelola pengajian ibu-ibu di wilayah tempat tinggalnya. Kaum pria? Wah … ini tidak termasuk saya, karena saya sudah menikah dengan dikaruniai dua anak dan saya sudah sangat bahagia dengan rumah tangga saya. Sebelum Rabi’ah menikah, para lelaki bujangan di tempat kami tinggal diam-diam sangat menaruh hati terhadapnya, namun mereka sama sekali tidak punya keberanian untuk mendekat ataupun mencoba berkenalan dengannya meskipun Rabi’ah tidak mempermasalahkan kedekatan dengan lelaki-lelaki itu selama mengandung manfaat dan tidak melanggar batas-batas nilai.
Sudah menikah? Ya, dia menikah kurang lebih empat bulan lalu. Patah hatikah para bujangan yang tidak sempat sekedar untuk berkenalan itu? Bukan patah hati mungkin, hanya saja mereka merasa heran atas keputusan Rabi’ah menikah dengan pria yang beruntung menjadi pendamping Rabi’ah saat ini. Suaminya bukan pria dari kalangan the have, profesinya hanya sebagai teknisi komputer yang menerima order memperbaiki dan mengup-grade komputer serta menjual komputer-komputer bekas. Wajahnya meski tergolong lumayan cute tetap tidak menjawab keheranan warga sekitar. Bahkan ada seorang ibu yang mencak-mencak gara-gara anaknya yang lulusan luar negeri yang ditawarkan kepada Rabi’ah ditolaknya dengan halus. Bagaimana mungkin tidak heran, dan jika anda mengenalnya sekarang pun pasti anda akan menggeleng-geleng kepala, kagum, heran, atau tidak mengerti apa yang diinginkan Rabi’ah sebenarnya, ya … karena suami Rabi’ah (namanya Yusuf) cacat. Kedua kakinya kakinya mengecil sejak kecil sehingga tak mampu berjalan kecuali dengan bantuan kursi roda atau berjalan dengan cara ngesot!. Ups … maaf kalau ini agak kasar kedengarannya.
Naluri jurnalistik saya pun terusik dan terus menerus mendesak saya agar menemuinya untuk bertanya seputar kehidupannya yang sungguh unik itu. “ini menarik untuk dibuat artikel” pikir saya, “atau bahkan cerpen, novel, atau …” ah sudahlah, yang penting saya datang dulu.
Dari hasil pembicaraan saya dengan Rabi’ah selama sekitar satu jam sepuluh menit itu, akhirnya saya pun mendapatkan satu gambaran tentang hakikat cinta, kebahagiaan dan juga makna kehidupan dari sudut pandangnya.
Begini, Rabi’ah bercerita, sewaktu ia menjadi sekretaris Lembaga Dakwah di kampusnya, ia tidak pernah menyangka akan tertarik dengan seorang lelaki yang selama ini dianggapnya hanya sebagai teman berdakwah. Lelaki itu tidak lain adalah Ketua LDK, -Rabi’ah tidak menyebut namanya- semakin ia mencoba melupakan dan membuang jauh-jauh perasaan itu semakin ia tidak mampu, toh hampir setiap hari karena tuntutan aktifitas dakwah kampus, ia harus bertemu dengan lelaki itu. Lebih kaget lagi baginya ketika ia mengetahui dari teman sepengajiannya di kampus bahwa si Ketua LDK itu juga menyukainya. Rabi’ah semakin tidak mampu menahan semua perasaannya, ia semakin resah, takut dan was-was terjerumus dalam cinta yang membutakan. Berkali-kali ia istighfar memohon ampunan-Nya saat terlintas wajah lelaki itu dibenaknya. Akhirnya ia pun harus mengambil keputusan yang menurutnya termasuk berat sepanjang hidupnya ketika ia harus menolak ajakan menikah untuk menghindari fitnah mengingat hampir semua teman-teman aktifis dakwah di kampus sudah mengetahui perasaan terpendam diantara mereka.
“Allah memang masih mencintai saya, Dia mendengar permohonan saya agar terlindung dari godaan syetan dan tidak terjerumus dalam kesesatan. Walau saya akui, sebenarnya sah saja bagi saya untuk menerima ajakan itu,” ucapnya kepada saya. Ternyata menurutnya, tidak hanya sekali ia menampik lamaran pria dalam hidupnya.
“Seperti halnya orang lain, saya tidak mengerti keputusan anda menerima lelaki yang terlihat kurang sempurna secara fisik sebagai pendamping anda, sementara jauh sebelum anda dikenalkan dengan Suami anda sekarang, sudah sekian laki-laki yang datang?” Rabi’ah dengan lugas menerangkan, Ia sangat percaya bahwa semakin ia selalu melibatkan Allah dalam setiap langkahnya, semakin Allah memberinya petunjuk kepada kebenaran. Itulah yang kemudian membuatnya terus memupuk cintanya kepada Rabb-nya, karena ia tahu keagungan cinta yang diberikan Allah sebagai balasan cintanya. Maka, ia tidak ingin apapun yang dilewatinya sebagai bagian dari kehidupannya mengikis cintanya kepada Allah, barang sedikitpun. “Lelaki tampan tentu saya suka, itu kan fitrah. Hidup nyaman dan senang dengan lelaki berpenghasilan tinggi, mungkin hampir semua wanita mendambakannya.” Tambahnya. “Tapi saya hanya khawatir kekaguman saya akan ketampanan dan kesenangan saya dengan kehidupan yang ditawarkannya hanya akan membuat sekian persen cinta saya berkurang kepada Allah” tegas Rabi’ah.
“Anda bahagia?” pertanyaan yang sangat mendasar bagi semua manusia. “Seperti yang Anda rasakan setelah menikah dengan istri anda. Saya pikir setiap manusia merasakan dan memiliki tingkat kebahagiaan yang berbeda-beda. Jadi tidak obyektiflah menanyakan soal itu kepada saya, karena saya yakin jawabannya pun tidak akan pernah bisa dimengerti oleh yang bertanya. Tapi yang pasti, kebahagiaan saya semakin bertambah, karena seorang suami yang mendampingi saya saat ini mampu membimbing saya, menegur saat saya salah serta menunjukkan yang benar dengan caranya yang manis. Dan yang terpenting, saya mencintainya bukan karena fisiknya, tidak pada hartanya karena memang tidak dimilikinya. Saya mencintainya atas kehendak Allah.”
“Lalu, bagaimana anda mensikapi ketidakmengertian orang-orang di sekitar anda dengan keputusan unik anda ini?” “Unik?” (Rabi’ah tertawa kecil, lalu segera ia menutup rapat mulutnya). “Saudaraku, inilah keajaiban Allah buat saya. Anda tahu, bukankah setiap keajaiban dari-Nya itu selalu bersifat unik? Dan seringkali tidak bisa diterima bahkan sekedar dibayangkan oleh kebanyakan orang. Jadi, buat apa menjelaskannya, toh nanti juga mereka akan mengerti dan bisa menerimanya.” Memang, menurut Rabi’ah, sulit baginya sewaktu menjelaskan keputusan menerima Yusuf kepada orangtua dan saudara-saudaranya. Tapi, inilah jodoh, salah satu rahasia Allah yang tidak pernah bisa dimengerti kejadiannya oleh manusia.
“Tapikan, anda bisa saja menerima lelaki shaleh yang lebih ….” “Kenapa anda menerima istri anda sekarang?” Rabi’ah memotong pertanyaan saya. “Pikirkanlah itu, tanpa perlu mendengar jawaban saya pun anda sudah bisa mengetahui jawabannya jika pertanyaan itu diajukan kepada anda sendiri.”
Hmmm … saya hanya menggeleng-geleng kepala sendiri. “Abi … bi …” suara lembut istriku menerobos sisi ruang mimpiku. “Aah … duapertiga malamku sudah datang” Jadi ... Oohh, its just a dream. Wallahu 'a'lam bishshowaab (Abi Iqna)
Lelah Hidup Sendiri
Publikasi: 28/06/2002 11:29 WIB
eramuslim - Saya muslimah berjilbab berusia 34 tahun, sukses dalam karir. Memiliki banyak teman baik laki-laki maupun perempuan. Teman-teman saya bilang, saya cantik dan menarik, dua nilai lebih yang saya miliki selain memang saya terbilang cukup memiliki banyak prestasi. Sewaktu kuliah dulu, saya bintang di kampus dengan segudang prestasi diraih selain nilai IPK yang diatas rata-rata. Namun segala nilai lebih itu ternyata tidak sejalan beriringan dengan kehidupan cinta saya yang kerap berakhir dengan kegagalan, dan ini jelas saya rasakan sebagai bencana. Beberapa kali saya mencoba melakukan hubungan yang serius dengan lelaki. Saat mulai berkenalan untuk menjajaki kesamaan visi dan kecocokan berbagai hal lainnya dengan seorang lelaki beberapa tahun lalu misalnya, dia nampak mengesankan dengan kebagusan kepribadiannya. Namun ketika saya menanyakan kesungguhannya untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan, dengan sopan ia pun mundur teratur, dan ini tidak hanya sekali. Dalam 6 tahun terakhir sudah lebih dari 4 kali saya melakukan proses hubungan dengan lelaki, dari yang biasa, sedang sampai yang berpendidikan tinggi, namun yang membuat saya kesal, beberapa dari mereka minder dengan segala kelebihan yang saya miiki, atau minder hanya karena gajinya lebih rendah dari saya. Lelaki terakhir bersedia menikah dengan saya dengan syarat saya mau berdandan sesuai kemauannya, termasuk melepas jilbab, ini jelas tidak mungkin saya lakukan. Adakah yang salah dengan kepribadian saya? Saya pernah tanyakan kepada seorang psikolog, dan menurutnya tidak ada masalah dengan kepribadian saya. Saya juga bertanya kepada teman satu kost yang juga teman terbaik, dengan jujur ia mengatakan, saya baik hati, hangat dan menyenangkan. Ah, apa karena saya berjilbab sehingga harus menanggung semua bencana ini? Ya Allah, sampai kapan saya harus sendirian, lelah sudah saya hidup sendirian … (Muslimah di Jakarta).
Kompas Cyber Media (KCM) dalam salah satu artikelnya menuliskan, Dan Savage, kolumnis dalam WebMD’s Savage Family Advice dan penulis buku Savage Love berujar singkat, “Jangan mengasihani diri sendiri”. Dalam keadaan ini, menurut Savage, tidak banyak nasihat yang bisa disampaikan, kecuali: Tetaplah bersemangat, Keep your spirits up, jangan berkubang kesedihan dan tenggelam dalam keputusasaan. Pasti ada laki-laki diluar sana untuk anda. Jadi, lakukan sesuatu, pergilah ke banyak tempat yang menarik minat dan siapa tahu anda akan menjumpai pasangan anda.
Begitulah nasihat yang selalu diberikan dari masa ke masa, bagi para lajang yang sulit mendapatkan pasangan, nasihat kuno tapi sungguh beralasan. Jangan pernah mengatakan kegagalan terus menerus dalam sebuah hubungan “cinta” atau proses membangun rumah tangga sebagai sebuah bencana, karena sesungguhnya itu bukanlah bencana. Bencana yang sesungguhnya justru banyak dialami orang yang sudah berumah tangga, seperti kekerasan seksual dalam rumah tangganya, ditinggalkan sesaat sesudah menikah, pasangannya yang sebelumnya begitu manis, ternyata berubah menjadi lelaki beringas dan kejam setelah menikah, atau mendapatkan pasangan yang memiliki kelainan jiwa. Sedangkan kesulitan mendapatkan pasangan, hanyalah persoalan waktu dan mungkin saja Allah sedang menguji kesabaran atau terlebih dulu ingin memberi kesempatan anda untuk mengumpulkan segala kesiapan sebelum menemukan seseorang yang bisa diajak berbagi hidup untuk selamanya.
Savage menambahkan, satu-satunya cara mencegah anda frustasi dalam keadaan ini adalah menguatkan dan menenangkan diri sebelum mencoba dan memulai lagi sejumlah proses atau hubungan yang mungkin saja juga akan berakhir dengan kegagalan dan membuat anda frustasi lagi. Sikap yang paling tepat menurut Savage adalah selalu melihat sisi terang dari semua kegagalan yang pernah anda alami dan itulah yang akan membuat semangat anda terus menyala.
Sementara itu, jodoh adalah rahasia Allah Swt, Kapan, bagaimana caranya berjumpa dan siapa dia, terkadang kisahnya benar-benar diluar dugaan. Dan kita tidak akan pernah dapat memastikan hal-hal yang tidak jelas tersebut, betapapun menggebunya keinginan berumahtangga yang saat ini anda rasakan. Sepatu bot merah kecil, salah satu kisah yang cukup menarik dalam buku Chicken Soup For The Couple’s Soul, dimana seorang gadis menikah dengan seorang pemuda yang ternyata adalah seorang pemuda kecil yang saat mereka masih berusia tidak lebih dari 10 tahun saling mengagumi di sebuah peternakan kuda. Dan mereka saling diingatkan dengan tentang kejadian masa lalu itu oleh sepatu bot kecil berwarna merah yang dipakai anak mereka.
Perempuan pada usia diatas 30 tahun, seringkali timbul perasaan ingin segera menikah dan sedemikian khawatirnya akan menjadi tua tanpa menikah, tidak sedikit yang kemudian terjebak menikah dengan laki-laki gombal yang pandai merayu bahkan menikahi si perempuan semata karena ingin dibiayai hidup, itu yang dikatakan konsultan keluarga sakinah di web eramuslim, Ustadz HM Ihsan Tanjung.
Menurut Ihsan Tanjung, sebaik-baiknya yang anda dapat lakukan adalah bertekad untuk menikah dengan orang baik dan berdo’a sambil berusaha dan sambil tetap menjalankan kehidupan anda sebagaimana kesempatan yang ada. Anda, tambahnya, harus berkeinginan kuat untuk hanya menikah dengan pria yang shaleh, maka insya Allah Dia Yang Maha Kuasa akan memberikan yang demikian. Wallahu 'alam bishshowaab. (Sebagian isi artikel mengutip artikel KCM).
Calon Suami Lebih Muda, Kenapa Tidak?
Publikasi: 12/06/2002 10:05 WIB
eramuslim - Budaya di masyarakat kita yang masih diwarnai warisan norma-norma yang cenderung konservatif tidak semuanya harus dianggap mutlak dan harus tetap berlaku dimasa sekarang ini. Perbedaan masa dan rentang waktu serta perubahan iklim budaya sebenarnya juga tidak perlu ditolak selama masih dalam koridor kewajaran tata nilai agama. Soal pernikahan misalnya, para orang tua selalu beranggapan bahwa dengan alasan kedewasaan, kebijaksanaan dan juga soal kepatuhan seorang istri terhadap suami, maka calon suami haruslah lebih tua usianya dari calon istrinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika kemudian diketahui usia pasangan orang-orang tua terdahulu sering kali terpaut jauh antara suami dan istri.
Masa berlalu, zaman berubah dan aturan-aturan yang berlaku pun mulai bergeser meski juga tidak menyalahi norma yang tetap dianggap baku. Mulailah kemudian trend yang berkembang adalah pernikahan dengan usia yang relatif sama. Meski tidak selalu, tetapi biasanya proses ini dimulai dari kesamaan visi, kesamaan jenjang pendidikan, pekerjaan atau bahkan hanya bermula dari pertemanan semasa di bangku pendidikan. Memang tidak persis sama usia diantara keduanya, dan biasanya terpaut hanya dua atau tiga tahun. Namun kondisi yang demikian masih bisa dibilang relatif sebaya.
Dan kini, warisan norma-norma dari leluhur yang demikian ternyata masih terus dipegang (dipatuhi) kalangan muda -khususnya wanita- bahwa mereka harus mendapatkan calon pendamping, orang yang akan menjadi pemimpin keluarganya dengan salah satu kriteria bakunya adalah usia yang lebih dewasa. Hal ini masih terlihat di masyarakat kita, baik berupa ungkapan-ungkapan yang tersirat, maupun dari profil-profil yang seringkali kita jumpai di berbagai biro jodoh. Ambil satu contoh profil dari sebuah biro jodoh Islami di Jakarta, "Calon yang saya harapkan tidak sekedar yang beraqidah dan berakhlak baik, tetapi juga yang lebih dewasa, bijak dalam bertindak dan bersikap jujur, sholeh ..."
Sementara disisi lain, tidak sedikit ditemui pasangan-pasangan yang tidak mempedulikan faktor usia tersebut. Selama ada kecocokan, kematangan dan kedewasaan berpikir dari lelaki yang berusia lebih muda dan yang terpenting, sikap enerjik, penuh semangat dan berjiwa muda dari si wanita, kenapa tidak? pikir mereka.
Menikah Dengan Yang Lebih Muda, Bukan Masalah
Mungkinkah seorang wanita menemukan cintanya pada seorang laki-laki yang usianya lebih muda? dan pada akhirnya jika terjadi pernikahan diantara mereka, dapatkah cinta yang memagari mahligai rumah tangga itu bertahan selamanya dan atau bahkan menjadi yang terakhir? (Kompas Cyber Media/KCM)
Jawabnya, tentu saja mungkin. Simaklah sebuah pertanyaan dalam sebuah rubrik konsultasi keluarga berikut; "Ustadz, saya ingin menikah dengan seorang wanita janda beranak dua. Tetapi wanita ini usianya kurang lebih 40 tahun dan saya jelas 26 tahun. Kami memang berdua saling mencintai. Langkah-langkah apa yang harus saya perbuat dengan dia setelah seumpanya kami berdua jadi nikah nanti?". Dan dengan bijak sang Ustadz menjawab; "Alhamdulillah, anda lebih mirip dalam mengikuti jejak langkah Nabi SAW daripada saya sendiri. Nabi SAW menikah pertama kali dengan Khadijah RA yang janda berusia 40 th dengan sekian anak dari suami-suami sebelumnya. Perkawinan Beliau SAW dengan Khadijah RA adalah perkawinan yang berkah luar biasa ..."
Contoh diatas memberi bukti bahwa bukan tidak mungkin seorang wanita yang bahkan sudah mempunyai anak dari suami sebelumnya (entah bercerai atau karena si suami meninggal) mendapatkan kembali sebuah cinta yang menjadi ruh bagi rumah tangganya. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pasangan tersebut menyiasati perbedaan usia yang mau tidak mau sudah pasti menciptakan gap antara mereka.
Selain itu, cukup penting untuk diketahui faktor-faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi di luar faktor Allah -adalah bahwa Allah yang maha berkehendak atas setiap makhluk-Nya-. Artinya, ada faktor dari si manusianya sendiri yang memegang peranan cukup signifikan sehingga "hubungan unik" ini bisa terjadi. Jika si wanita adalah orang yang penuh semangat, enerjik, berjiwa muda dan menyukai hal-hal yang penuh tantangan sebagai cerminan dari jiwa petualangnya, tentu hal-hal demikian akan mampu menyembunyikan goretan-goretan usia tuanya. Ia bisa tampil lebih fresh, lebih muda meski usianya menginjak usia diatas 35. Jadi sebaiknya, para wanita yang belum menemukan jodoh di usianya yang menginjak kepala tiga, tak ada salahnya untuk memperbaiki penampilan untuk lebih fresh, lebih enerjik dan penuh semangat.
Gap Akibat Perbedaan Usia
Mengutip sebuah artikel di KCM, Judith Sherven, PhD, penulis The New Intimacy: Discovering the Magic at the Heart of Your Relationship mengatakan, dinding pemisah akibat perbedaan usia, tentu saja ada, dan harus diakui. Anda sangat naif jika menganggap perbedaan umur yang mencolok bukan masalah.
Jika pasangan Anda empat atau lima tahun lebih muda atau lebih tua, maka perbedaan itu tidak banyak pengaruhnya. Namun, jika pasangan Anda sepuluh atau duapuluh tahun lebih tua atau lebih muda daripada Anda, maka perbedaan ini bisa menghasilkan kesulitan-kesulitan, tambah Sherven.
"Pasangan yang lebih tua, cenderung memiliki energi dan waktu lebih sedikit dan mungkin tidak lagi tertarik mengeksplorasi hal-hal baru. Pasangan yang lebih muda mungkin ingin ber- rock and roll sepanjang malam bersama kawan-kawan seusianya. Tentu saja ini membosankan bagi yang lebih tua," ujar Sherven lagi.
Namun seberapa besar gap itu? Tergantung bagaimana pasangan tersebut menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Dinikmati saja, atau dibuat frustasi? Pertanyaan paling penting yang harus diajukan diantara pasangan ini, menurut Sherven adalah: "Siapakah kamu?" Tentu saja dalam arti luas, menyangkut pandangan hidup, pekerjaan, keluarga, kesukaannya, gaya hidup, dan lain-lain. Dan ini sangat membantu memahami perbedaan yang ada.
Wanita yang lebih tua menawarkan kebijaksanaan, dan pengalaman. Laki-laki yang lebih muda menawarkan ide-ide baru, khususnya tentang peran-peran dalam keluarga.
Diane Smith, seorang perawat di Inggris berusia 44 tahun yang menikah dengan laki-laki yang 14 tahun lebih muda mengatakan, "Anda tahu, laki-laki seusia saya, selalu mencari wanita yang dapat merawatnya," katanya. "Saya sendiri menginginkan laki-laki yang dapat menjaga dirinya sendiri." (KCM)
Yang tidak ia mengerti adalah mengapa laki-laki itu memilihnya, sementara banyak wanita muda dengan bentuk tubuh indah dan segar berkeliaran di luar sana. "Wanita sungguh tidak dapat mengerti, mengapa laki-laki menginginkan yang lebih tua, ketika keadaan mereka sendiri masih muda dan segar bugar. Apalagi masih banyak wanita muda dan cantik," ujarnya.
Agaknya, lanjut Smith, laki-laki yang jatuh cinta pada wanita lebih tua cenderung melihat bahwa gadis-gadis cute itu sangat muda, manja dan lugu, bahkan terkadang bodoh. Sementara laki-laki berkembang dan tumbuh dengan menginginkan kesempurnaan, pemahaman, pengalaman, pengetahuan, sesuatu yang bisa diberikan oleh wanita yang lebih tua usianya, katanya.
Laki-laki yang lebih tua, kadang mencari gadis-gadis muda untuk membuatnya merasa kuat, jantan dan powerfull. Tidak demikian halnya dengan wanita lebih tua yang menikahi laki-laki muda. "Tidak seperti laki-laki, ego seperti itu tidak penting bagi wanita," kata Smith. "Yang terpenting bagi kami adalah menemukan seseorang yang mencintai dan bisa menjadi teman terbaik," tambahnya.
Hmm ... semakin banyak kesamaan yang Anda miliki dan semakin tinggi komitmen yang Anda sepakati, semakin besar pula peluang yang Anda miliki untuk bisa mempertahankan hubungan itu. Jadi, kenapa tidak? (Bayu Gautama/sebagian artikel mengutip artikel di KCM)
Yang Jauh Dinanti Yang Datang Ditepis
Publikasi: 23/05/2002 13:43 WIB
eramuslim - Akhlaq bagus, berpendidikan tinggi, wawasan luas, berwajah tampan pula. Belum lagi didukung dengan kemapanan ekonomi yang bisa terlihat dari kendaraan dan rumah pribadinya. Meski demikian, kerendahan hatinya yang begitu menonjol menjadikannya begitu bersahaja. Tidak sombong dan justru sangat dermawan, dekat dengan segala golongan tidak memandang status dan membeda-bedakan orang berdasarkan kelas-kelas ekonomi. Terakhir yang tidak kalah pentingnya, mampu menunjukkan bakat kepemimpinan yang mumpuni. Bermimpikah bila ada gadis muslimah yang mendambakan seorang pendamping dengan kriteria diatas? Atau bolehkah memimpikannya?
Tentu saja, setiap orang -laki-laki maupun wanita- berhak menentukan kriteria orang yang akan dijadikan calon pendampingnya kelak. Karena, seperti yang dicita-citakan hampir semua wanita, cukup satu kali menikah untuk seumur hidup meski terkadang ada sebagian yang harus menerima kenyataan menikah untuk kesekian kalinya karena alasan-alasan tertentu. Terlebih bagi mereka yang memang diberikan kemurahan-Nya memiliki kualitas lebih dari yang lain, entah karena paras cantiknya, jenjang pendidikan, tingkat kemapanan ekonomi, lingkungan dan pergaulan, atau karena kelebihan-kelebihan lainnya, mereka yang dengan berbagai kelebihan yang dimiliki itu tentu saja lebih merasa berhak untuk mematok kriteria tinggi untuk seorang calon pendamping. Setidaknya, pikir mereka, "peluangnya lebih besar" meski harus disadari bahwa segala sesuatu yang bakal berlaku dalam hidup ini, tentu saja Allah penentu akhirnya.
Cantik, masih muda (dibawah 23 tahun atau masih berstatus mahasiswi), bukan hal aneh jika dikala ini masih cenderung membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya untuk kemudian menentukan yang lebih baik. Bahkan bukan tidak mungkin masih menantikan hadirnya calon lain disamping yang sedang dibandingkannya. "Siapa tahu, yang datang kemudian lebih oke" pikirnya. Diusia seperti, ini idealisme seorang masih sangat tinggi sehingga, tidaklah heran jika ada orang yang membuat 'joke', salah satu kesibukan mereka adalah "sibuk nolak" terlebih terhadap laki-laki yang memang dianggap bukan kelasnya. Padahal yang ditolak itu sebenarnya juga "nggak rendah-rendah amat kualitasnya", mungkin hanya kurang menarik, atau karena belum mempunyai pekerjaan mapan. Ada juga, alasan-alasan yang tidak masuk akal semisal perbedaan suku. Namun sudah pasti, ini tidak berlaku umum, karena buktinya, banyak juga mereka yang menikah diusia ini dengan menafikan hal-hal seperti wajah atau kemapanan ekonomi.
Sedikit diatas mereka (usia sekitar 25 tahun), baik mereka yang melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi atau sebagian yang lain yang sudah mendapatkan pekerjaan, mungkin saja kondisi tersebut mempertinggi 'daya tawar' mereka, namun justru pada usia ini pola pikir mereka tentang masa depan sudah mulai terbentuk dan punya arah yang lebih jelas. Pandangannya tentang calon pendamping tidak mutlak pada sisi fisiologis (tampan, berduit). Kalaupun ada pandangan ke arah tersebut, kadarnya pun tidak terlalu tinggi, setidaknya mereka juga lebih objektif mengukur dengan kualitas diri untuk disesuaikan dengan kriteria calon yang diharapkan.
Lain halnya dengan mereka yang sudah mendekati 'kepala tiga'. Meski tidak bisa dipukul rata, namun tidak sedikit yang 'banting harga' di usia ini. Mereka yang ketika masih menjadi mahasiswi atau usia tidak lebih dari seperempat abad seringkali menampik kesempatan, menepis yang datang karena tingginya 'idealisme' dan patokan kriteria yang ditancapkan, mulai menurunkan kriteria calon, "Asal baik, sholatnya bener okelah". Bahkan diusia kepala tiga, ada saja yang lebih gila-gilaan soal jodoh yang bisa terlihat dari ungkapan-ungkapan seperti, "asal ada yang mau", "nunggu yang sholeh bener nggak datang-datang, yang ada ini juga bolehlah," atau yang lebih ekstrim, "syukur ada yang mau".
Patutlah menaruh hormat kepada para muslimah yang diusia kepala tiga atau lebih, tetap konsisten dengan mematok standar yang cukup realitis, Akhlak bagus (shaleh), jujur, amanah dan bertanggungjawab, berpenghasilan, serta memiliki jiwa pemimpin. Mereka tetap yakin bahwa Allah, dengan kerahasiaan-Nya sudah mengatur segala hal yang berkenaan dengan dirinya. Dengan tetap berkeyakinan seperti itu, kepercayaan dirinya mampu mengalahkan keresahan dan kegalauan yang terkadang muncul, "Hanya soal waktu, disinilah diuji kesabaran", "Mungkin Allah mentakdirkan untuk lebih lama hidup sendiri" hiburnya. Ada pula wanita-wanita yang karena alasan tertentu sengaja menunda pernikahan. Mereka tidak pernah menyesal terlambat menikah, atau menyesal telah menepis sekian banyak pemuda baik-baik yang datang kepadanya. Mereka, tetap tegar menatap hidup merengkuh masa depan yang menanti.
Namun bagi yang 'masih muda dan belum terlambat', tiada salahnya juga untuk tidak segera menepis datangnya calon pendamping hanya karena kriterianya sedikit dibawah standar, karena siapa tahu -Maha Suci Allah dengan segala kerahasiaan-Nya- dialah yang sengaja dikirimkan Allah untuk anda. Karena juga belum tentu, pujaan hati dengan label tinggi yang selama ini dinanti segera datang, bahkan bisa jadi masih jauh. Who knows? Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Jangan Takut Bilang Cinta
Publikasi: 17/05/2002 09:08 WIB
eramuslim - Tatkala usia terus merangkak naik sementara calon suami tak kunjung datang, segera keresahan mulai melanda. Pada masa-masa yang terbilang cukup rawan ini seringkali tanpa disadari, ada perilaku-perilaku yang mestinya tak layak dilakukan oleh seorang muslimah yang 'kadung' dijadikan teladan dilingkungannya. Ada muslimah yang menjadi sangat sensitif terhadap acara-acara pernikahan ataupun wacana-wacana seputar jodoh dan pernikahan. Atau bersikap seolah tak ingin segera menikah dengan berbagai alasan seperti karir, studi maupun ingin terlebih dulu membahagiakan orang tua. Padahal, hal itu cuma sebagai pelampiasan perasaan lelah menanti jodoh.
Sebaliknya, ada juga muslimah yang cenderung bersikap over acting. terlebih bila sedang menghadiri acara-acara yang juga dihadiri lawan jenisnya. Biasanya, ia akan melakukan berbagai hal agar “terlihat”, berkomentar hal-hal yang tidak perlu yang gunanya cuma untuk menarik perhatian, atau aktif berselidik jika mendengar ada laki-laki shaleh yang siap menikah. Seperti halnya wanita dimata laki-laki, kajian dengan tema “lelaki” pun menjadi satu wacana favorit yang tak kunjung usai dibicarakan dalam komunitas muslimah.
Haruskah terus menerus bersikap membohongi diri seperti contoh pertama diatas. Betapa lelahnya kita ketika harus berbuat seperti itu sementara seolah tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu dan berharap semoga Allah segera mendatangkan pilihan-Nya. Atau masihkah tidak merasa malu untuk menghinakan diri dengan aksi over acting dan 'caper'.
Menurut Fauzil Adhim, banyaknya muslimah yang belum menikah di usianya yang sudah cukup rawan bukannya tidak siap, tetapi karena mereka tidak pernah mempersiapkan diri. Kesiapan disini, termasuk di dalamnya adalah kesiapan untuk menerima calon yang tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebenarnya, meski jika ditilik kembali sesungguhnya lelaki tersebut sudah memiliki persyaratan yang 'sedikit' lebih dibanding lelaki biasa. Misalnya, setidaknya sholatnya benar, akhlaqnya baik, tidak berbuat syirik dan pergaulannya tidak jauh dari orang-orang shaleh. Artinya, lanjut Fauzil, tidak usah mematok kriteria terlalu tinggi. Walaupun sebenarnya, sah-sah saja untuk melakukannya.
Pada keadaan tertentu, seringkali para muslimah seperti tidak berdaya mengatasi kelelahannya mencari -menunggu- jodoh. Padahal, ada satu hal yang boleh dan sah saja untuk dilakukan oleh seorang muslimah, yakni menawarkan diri untuk dipinang. Hanya saja, selain masih banyak yang malu-malu membicarakannya, banyak pula yang menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tabu, karena tidak pernah dicontohkan oleh para orang tua kita. Asalkan pada lelaki yang baik-baik, dalam pandangan Islam sah-sah saja wanita menawarkan diri untuk dipinang.
Senada dengan Fauzil Adhim, Ustadz Ihsan Tanjung dalam salah satu rubrik konsultasi keluarga pernah mengatakan, seorang muslimah sebaiknya mengungkapkan perasaannya -keinginannya untuk dilamar- kepada seorang lelaki shaleh yang menjadi pilihannya, ketimbang dia lebih mungkin terkena dosa zina hati karena terus menerus mengharapkan si lelaki tanpa kejelasan atau kepastian.
Hanya saja, yang mungkin perlu diperhatikan adalah seberapa tinggi daya tawar yang dimiliki oleh para muslimah itu ketika dia harus mengungkapkan perasaannya. Pertanyaan yang sering muncul adalah "seberapa pantas dirinya" saat meminta si lelaki untuk melamar dan menikahinya. Untuk hal ini, sepantasnya bukan kata-kata terlontar dari mulut untuk mengkhabarkan kepantasan diri. Namun, dengan mempertinggi kualitas keshalehahan tanpa mengagungkan kecantikan wajah, mengkedepankan akhlaq yang baik sebagai pakaian sehari-harinya disamping juga ia perlu membenahi penampilannya untuk sekedar meningkatkan kepercayaan diri, dan menjaga mata pandangannya untuk selalu bercermin kepada hati, karena disanalah cinta dapat berkembang.
Bagi mereka, Kepentingan menghaluskan wajah tidak mengalahkan kepentingannya untuk menghaluskan jiwanya, karena kecantikan yang murni justru terpancar dari jiwa yang cantik (inner beauty). Kecantikan seperti inilah yang senantiasa tumbuh sepanjang waktu. Jika hal-hal itu sudah dipersiapkan sebaik mungkin dan terpatri menjadi hiasan diri, maka melangkahlah untuk menjemput impian. Namun demikian, perlu juga rasanya untuk melatih menata hati dan berjiwa besar jika terpaksa harus bertepuk sebelah tangan atau menerima kenyataan diluar harapan. Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Tiga Tipe Perempuan: Yang Mana Tipe Anda?
Publikasi: 10/05/2002 10:02 WIB
eramuslim - Islam tentu sangat memperhatikan kaum perempuan, dimana hal tersebut tidak berlaku dalam ajaran-ajaran sebelum kedatangan Islam. Posisi perempuan begitu penting (dipentingkan) sehingga sering terdengar suatu ungkapan bahwa tegaknya suatu negara (kelompok) sangat tergantung dengan perilaku perempuan dalam kelompok tersebut. Mungkin ada yang menganggap ini berlebihan, meski tidak bisa dipungkiri bahwa peran perempuan sangat berdekatan dengan kesuksesan dan juga kegagalan!
Dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak dibedakan peranannya dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam berusaha berbuat yang terbaik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Jelasnya, Alqur'an tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Beberapa ayat menjelaskan hal tersebut:
"Barangsiapa yang melakukan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia mukmin, mereka akan masuk surga ..." (QS. 4:124, 40:40)
"Barangsiapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia mukmin, kami hidupkan dia dalam kehidupan yang baik ..." (QS. 16:97)
"Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beriman diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan ..." (QS. 3:195)
"Tidaklah boleh bagi mukmin laki-laki dan perempuan merasa keberatan bila Allah telah memutuskan sesuatu perkara ..." (QS. 33:36)
"Orang-orang beriman laki-laki dan perempuan satu sama lain saling melindungi. Mereka sama-sama menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mentaati Allah dan Rasul-Nya. Allah menyayangi mereka ..." (QS. 9:71)
Begitu gamblangnya Al Qur'an memperhatikan makhluk perempuan, selain ayat-ayat diatas yang menunjukkan tidak adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya dengan pekerjaan, amal dan tindakan, Al Qur'an juga memberikan kepada kita penjelasan tentang beberapa tipologi perempuan, dimana bisa dikatakan, bahwa apa yang pernah terjadi pada masa lalu dan diabadikan dalam Al Qur'an agar menjadi pelajaran bagi kaum mukminin yang perempuan khususnya dan laki-laki pada umumnya. Karena, sekali lagi, masalah yang berhubungan dengan perempuan yang terjadi di muka bumi ini, hampir selalu terkait dengan kaum laki-laki.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk memperhatikan beberapa tipe perempuan yang pernah diterangkan Allah dalam Al Qur'an. Dimana Al Qur'an secara khusus membicarakan jenis-jenis perempuan berdasarkan amalnya. Untuk jenis perempuan ideal yang patut diteladani, seringkali Al Qur'an menyebut nama jelas. Namun untuk melukiskan perempuan "buruk" Al Qur'an tidak menyebut nama secara langsung.
Tipe pertama adalah type wanita saleh yang diwakili oleh Maryam. Nama Maryam disebut beberapa kali dalam ayat-Nya selain juga menjadi salah satu nama Surat dalam Al Qur'an. Ia adalah type perempuan saleh yang menjaga kesucian dirinya, mengisi waktunya dengan pengabdian yang tulus kepada Rabb-nya. Karena kesalehahannya itulah ia mendapat kehormatan menjadi ibu dari kekasih Allah, Isa alaihi salam, tokoh terkemuka di dunia dan akhirat (QS. 3:45).
"Dan Maryam putra Imran, yang menjaga kesucian kehormatannya. Kami tiupkan roh Kami dan ia membenarkan kalimah Tuhan-Nya dan kitab-kitab-Nya dan ia termasuk orang yang taat" (QS. 66:16).
Maryam adalah tipe perempuan saleh. Kehormatannya terletak dalam kesucian, bukan dalam kecantikan. Tentu masih banyak deretan nama-nama perempuan saleh baik yang tersebut dalam hadits-hadits Nabi maupun dalam sejarah.
Al Qur'an juga menerangkan tipe-tipe perempuan pejuang untuk menjadi contoh bagi para muslimah. Tipe yang kedua ini dicontohkan dengan sempurna oleh Asiyah binti Mazahim, istri Fir'aun yang hidup dibawah kekuasaan suami yang melambangkan kezaliman. Asiyah dengan teguh memberontak, melawan dan mempertahankan keyakinannya apapun resiko yang diterimanya. Semuanya ia lakukan karena ia memilih rumah di Surga, yang diperoleh dengan perjuangan menegakkan kebenaran, ketimbang istana di dunia, yang dapat dinikmatinya bila ia bekerja sama dengan kezaliman. "Dan Allah menjadikan teladan bagi orang-orang yang beriman perempuan Fir'aun, ketika ia berdo'a: Tuhanku, bangunkan bagiku rumah di surga. Selamatkan aku dari Fir'aun dan perbuatannya. Selamatkan aku dari kaum yang zalim." (QS. 66:11).
Al Qur'an memuji perempuan yang membangkang kepada suami yang zalim. Pada saat yang sama Al Qur'an juga mengecam perempuan yang menentang suami yang memperjuangkan kebenaran, seperti istri Nabi Nuh alaihi salam dan istri Nabi Luth alihi salam. Dalam kaitannya dengan hal ini, Al Qur'an juga menambahkan satu contoh perempuan yang mendukung kezaliman suaminya (sebagai contoh lawan dari Asiyah) yakni, istri Abu Lahab.
Selain Asiyah, ada pula contoh-contoh perempuan pejuang meski suami-suami mereka bukanlah orang-orang zalim, melainkan para pejuang kebenaran. Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar, Nusaibah binti Ka'ab, adalah contoh nama-nama yang bersama suami mereka bahu-membahu memperjuangkan agama Allah.
Tipe ketiga yang dijelaskan dalam Al Qur'an adalah tipe perempuan penggoda. Jelas untuk yang satu ini diwakili oleh Zulaikha penggoda Nabi Allah Yusuf alaihi salam. Dalam kisah Zulaikha menggoda Yusuf inilah, Al Qur'an menunjukkan kepandaian perempuan dalam melakukan makar dan tipuan. Manakah tipe anda dari ketiga tipe tersebut? Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama/dari buku: Meraih Cinta Ilahi, Jalaluddin Rakhmat)

Menikah, Tunda Sebelum ...
Publikasi: 22/04/2002 13:02 WIB
eramuslim - Menikah? Mungkin hanya orang-orang yang mempunyai alasan yang sangat khusus saja yang tidak ingin menjalaninya. Sebagai manusia, menikah adalah sesuatu yang fitrah yang sudah digariskan Allah karena memang manusia memiliki kecenderungan terhadap setiap lawan jenisnya. Fase itu seolah menjadi sesuatu yang "wajib" dilalui pada batas usia tertentu (baligh) guna mendapatkan ketenangan hidup, kasih sayang bahkan rahmat Allah.
Rasulullah Muhammad saw pun dengan tegas mengatakan, bahwa bukan menjadi bagian ummatnya orang-orang yang membenci nikah, karena menikah adalah sunnahnya. Sungguh luar biasa ajaran yang dibawa Nabi Allah tersebut, disatu sisi Islam melarang ummatnya untuk mendekati zina, namun disisi lain sangat menganjurkan untuk menyegerakan menikah sebagai langkah tepat menjaga kesucian diri. Bahkan Allah pun masih memberikan toleransi bagi ummat-Nya untuk melakukan polygami jika memang hal tersebut menjadi satu-satunya solusi bagi permasalahan yang menyangkut urusan seksual seorang laki-laki, meski dalam hal ini mesti digarisbawahi bahwa masih dalam koridor menuju kesempurnaan taqwa dan kebersihan diri.
Namun pada kondisi seperti sekarang ini, saat perbandingan laki-laki jauh lebih banyak dari jumlah kaum hawa, saat semakin sulitnya mencari laki-laki sholeh yang tetap teguh dengan akhlaq mulianya di zaman serba modern ini, saat lebih semakin sulitnya menemukan laki-laki yang memiliki komitmen perjuangan dan pembelaan terhadap Islam yang begitu tinggi, sangatlah mungkin menumbuhkan perasaan "risau" direlung-relung hati para muslimah yang juga senantiasa memperbaiki akhlaq dan meningkatkan ketaqwaan kepada Rabb-nya. Sementara dalam benak dan khayal mereka, laki-laki pejuang dan pembela agama Allah-lah yang sangat menjadi dambaannya sebagai teman dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Karena nyatanya, diseperempat abad usianya, belum satupun datang menghampiri, meski ribuan lainnya mungkin begitu berharap kepada gadis cantik, berakhlaq baik, terpelajar yang sangat komitmen dengan agamanya. Namun dengan kelembutannya, ia menolaknya karena alasan kebersamaan perjuangan yang lebih diutamakannya. Nyatanya juga, dikematangan berpikir dan kedewasaan bersikapnya, belum juga seorang pun memberanikan diri menyatakan kesiapan membangun mahligai taqwa berdua menuju kesempurnaan beragama.
Meski janji Allah tidak teragukan lagi, bahwa laki-laki baik untuk wanita-wanita baik dan laki-laki tidak baik untuk wanita tidak baik pula. Meski meski disisi lain, Allah kerap menguji keberimanan hamba-Nya dengan ujian yang memberikan hikmah kesabaran bagi yang mampu melewatinya. Namun disinilah hakikat penciptaan hati manusia yang mudah dibolak-balikkan. Bahwa manusia kadang tetap teguh dengan keberimanannya meski ujian seberat apapun menggelayutinya, namun sepersekian detik berikutnya hatinya bisa begitu mudah terguncang oleh cobaan yang lain, terlebih cobaan yang berkaitan dengan hal-hal yang berdekatan dengan emosi seperti, orang tua, jodoh dan lain-lain.
Hal itu terbukti dari sekian banyaknya wanita-wanita muslimah yang begitu resah dan galau hatinya saat-saat memasuki usia pernikahan karena belum tergambarkan sesosok bayangan pun mengenai calon pendamping. Sementara usia terus merambat naik, seolah sosok bayangan itu terasa semakin menjauh dan terbang menghilang. Pada fase inilah terkadang banyak muslimah yang 'menggadaikan' kesholehahannya untuk 'ditukar' dengan laki-laki yang jauh dari harapannya saat masih menjadi aktifis dahulu. "Yang biasa aja harus nunggu kepala tiga dulu, apalagi yang luar biasa" komentarnya. Ini memang fase yang amat rentan bagi seorang muslimah, namun disinilah fase pembuktian muslimah-muslimah yang konsisten dan yakin akan janji Allah.
Khawatir, galau, gundah, resah dan segenap perasaan ketakutan tidak mendapatkan jodoh memang sangat peka dirasakan oleh kalangan muslimah, terlebih saat usia memasuki dasawarsa kedua. Karena bisa jadi -pikir mereka- semakin tambah usia mereka, semakin kecil probabilitasnya karena jumlah laki-laki belum menikah yang seumur mereka disinyalir terus berkurang. Saat seperti ini pulalah yang kemudian secara tidak disadari memindahkan fokus perhatian tidak sedikit para muslimah, dari ghirah meningkatkan ketaqwaan memperbaiki kualitas diri menjadi semangat mencari pasangan hidup. Padahal, sangat berbanding lurus antara peningkatan kualitas diri dengan peluang mendapatkan jodoh yang berkualitas.
Bicara soal kualitas, perlu kiranya memperhatikan kembali hal-hal yang mungkin belum ditingkatkan oleh para muslimah berkenaan dengan soal kesiapan mengarungi rumah tangga. Karena tentu saja, -ini yang sering dilupakan- yang menentukan kesiapan bukan hanya kita yang seringkali hanya melihat segi zahir saja, seperti usia dan materi. Padahal Allah-lah sang penentu utama kesiapan seseorang dalam memasuki jenjang rumah tangga. Sangat bisa, Allah menetapkan kita dalam status tidak memiliki persiapan apa-apa meski secara usia sudah lebih dari cukup dan materi juga tidak ada masalah.
Sudahkah kita berusaha meningkatkan kesabaran seperti dicontohkan Rahmah istri Nabi Ayub alaihi salam. Ia begitu sabar dan ikhlas hidup dalam kesengsaraan dan penuh kehinaan bersama sang suami, karena baginya kebahagiaan dalam kemuliaan dimata Allah-lah yang menjadi tujuannya.
Sudahkah kedewasaan dan kematangan bersikap kita diupayakan seperti kedewasaan Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah saw. Meski harta berlimpah ditangan, tidak membuatnya sombong terhadap suami yang berpenghasilan kecil. Kelebihan usia juga bukan alasan untuk tidak patuh dan tidak hormat kepada suami.
Sudahkan kecemerlangan berpikir Aisyah radiallahu anha menjadi pelajaran bagi kita untuk dicontoh. Laki-laki, biasanya selalu bersikap rasional. Maka, yang diinginkannya pula dari pasangannya adalah hal-hal yang rasional, masuk akal. Istri yang cerdas dan mampu mengiringi pembicaraan dalam setiap diskusi tentu akan lebih menyenangkan bagi sang suami. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas ilmu dan wawasan (dengan banyak membaca misalnya) menjadi sesuatu yang perlu dilakukan pada masa-masa pranikah.
Sudahkah sifat-sifat penyayang dan pelindung seperti yang diajarkan Asiyah istri Fir'aun kita usahakan terpatri menjadi bagian dari sifat kita. Sehingga, suami pun tidak akan merasa salah dalam menjatuhkan pilihannya kepada anda karena dia akan menemukan kehangatan kasih sayang itu pada diri anda. Tentu tidak hanya suami, kelak anak-anak kita pun besar dalam buaian kehangatan dan perlindungan ibu semacam Asiyah ini.
Sudahkah juga, semangat pengorbanan tertanam dalam diri ini seperti Nusaibah binti Ka'ab yang mempersembahkan suami dan anak-anaknya untuk perjuangan membela agama Allah.
Memang sulit untuk menyamai keteladanan Rahmah, Khadijah, Aisyah, Asiyah, Nusaibah dan juga berbagai karakter utama dari banyak sahabiah lainnya. Setidaknya semua itu menjadi contoh kepada kita, bahwa dengan keteladanannya itu mereka mampu membahagiakan suami-suami mereka.
Namun bukan berarti saudara-saudara muslimah yang sudah menikah juga sudah lebih baik kualitasnya dan sudah memiliki keteladanan yang mendekati dari para sahabiah itu, sehingga mereka diberikan kesempatan oleh Allah untuk 'lebih dulu' berjodoh. Bagaimana dengan fenomena pertengkaran rumah tangga dan perceraian yang juga banyak melanda para aktifis pengajian?
Tentu disinilah letak keadilan Allah. Dia seolah menunjukkan kepada hamba-Nya yang belum menikah tentang sebab-sebab keretakan rumah tangga, yang antara lain karena rendahnya kualitas diri yang dimiliki sebelum memasuki bahtera rumah tangga. Termasuk juga, Allah tunjukkan kepada para muslimah, betapa laki-laki, makhluk yang kelak menjadi pendamping hidupnya, juga bukan makhluk sempurna. Bukan tidak mungkin mereka lah yang menyebabkan istri-istrinya kehilangan kesabaran dengan ulahnya yang menyakitkan. Atau membuat sang istri menjadi orang-orang yang sombong karena memanjakannya dengan harta. Suami juga bisa sangat berperan dalam upaya pembodohan istri, ketika mereka juga bukan type manusia pembelajar atau bahkan melarang istrinya meningkatkan keilmuan dan wawasannya. Wallahu a'lam bishshowab (Bayu Gautama)
Khitbah Bukan Berarti Halal Ini-Itu
Publikasi: 17/04/2002 08:52 WIB
eramuslim, Aam, sebut saja begitu, sudah satu tahun yang lalu dikhitbah Anto, pria yang dikenalnya melalui suami salah satu teman se pengajiannya. Awalnya mereka sepakat menunda waktu pernikahan mereka hanya enam bulan setelah khitbah, namun karena saat mendekati waktu yang sudah ditentukan Anto belum juga mendapatkan kepastian soal kesiapan dirinya menikahi Aam, akhirnya pernikahan mereka tertunda kembali. Sampai kapan?
Kasus yang dialami Aam dan Anto, tentu bukan barang baru, tetapi juga bukan hal yang usang karena hingga sekarang hal seperti yang dialami kedua 'sejoli' itu juga masih sering terjadi. Hambatan-hambatan menjelang waktu pernikahan bisa datang silih berganti atau mungkin juga hambatannya "itu-itu saja" namun tidak pernah tersingkirkan. Ia bisa datang dari diri kedua calon pasangan tersebut, berupa kesiapan mental, kesiapan materi (termasuk disini, biaya pernikahan dan biaya pasca nikah) ataupun hal-hal lain yang bisa jadi diluar jangkauan mereka berdua, antara lain yang berkaitan dengan orangtua (soal kecocokan, menunggu "bulan baik" dan lain-lain).
Menikah, merupakan satu dari beberapa hal yang mesti disegerakan dan ini menjadi kewajiban atas muslim lainnya (dalam hal ini orang-orang terdekat) untuk membantu mempermudah prosesnya. Orang tua, tentu sangat signifikan perannya dalam mengusahakan pernikahan bagi anak-anaknya yang sudah cukup umur (baligh), terlebih jika anaknya adalah wanita. Ini penting, karena saat ini justru tidak sedikit penghalang terselenggaranya pernikahan itu tidak lain adalah orang tua sendiri. Selain orang tua, saudara atau sanak famili juga mempunyai kewajiban yang tidak sepele berkaitan dengan pelaksanaan nikah ini.
Yang sering kali tidak disadari para orang tua adalah mereka menganggap bahwa kewajibannya adalah sekedar mencarikan jodoh yang baik (bagi anak wanita), padahal mengusahakan sesegera mungkin penyelenggaraan pernikahan itu sendiri seharusnya menjadi perhatian yang penting. Karena ada kecenderungan, pengawasan, pembinaan yang ketat dan disiplin terhadap anak-anak mereka menjadi kendur, ketika si anak sudah dikhitbah. Para orang tua merasa kewajibannya untuk mengawasi sang anak sudah 'tergantikan' oleh calon suami si gadis. Sungguh, belum ada hak apapun bagi calon suami tersebut karena mereka belum ada ikatan apapun dan jelas antara mereka berdua bukan muhrim.
Berdasarkan pengalaman yang ada dan sering terjadi, hal-hal seperti itu (kendurnya pengawasan orang tua) terlihat dari interaksi yang terjadi antara dua sejoli calon suami istri itu. Sering kali mereka merasa boleh melakukan ini-itu dengan dalih, toh sebentara lagi juga akan menjadi suami/istri karena sudah khitbah. Padahal, justru disaat-saat antara khitbah dan menikah inilah kedua calon suami/istri semakin memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta senantiasa menjaga kehormatannya hingga masanya tiba saat akad nikah. Karena diseberang lain, syaithan penggoda orang-orang beriman tengah berancang-ancang siap menerkam kelengahan dua pasang manusia yang menunggu saat pelaksanaan nikah yang memang sering kali membawa kepada perbuatan dosa zina jika keduanya tidak bisa bersabar menahan gejolak nafsu. Dari mulai zina hati hingga zina badan, naudzubillahi min dzalik.
Tidak hanya orang tua, masyarakat pun bisa berperan dalam menciptakan kondisi dimana anak-anak muda disekitarnya berpotensi berbuat dosa zina. Mereka yang awalnya sangat anti dengan model-model berpacaran dikalangan anak muda dan senantiasa melakukan pengawasan terhadap anak-anak muda dilingkungannya, khususnya yang berkaitan dengan soal berpacaran, kemudian bisa 'memaklumi' dua calon pasangan yang berjalan berdua-duaan didepan mata mereka hanya karena mereka sudah mempunyai 'ikatan' lamaran. Padahal juga, sebelum dilamar, si gadis selalu dikuntit dan ditunggui kerabat atau orang tua jika hendak kemana-mana.
Contoh lain, saling bertelepon sampai berjam-jam (bahkan tiap hari) sangat mungkin menimbulkan bunga-bunga dihati yang menyebabkan zina hati dan ada rasa selalu ingin bertemu, maka kemudian akhirnya bertemu, jadilah zina mata. Syaitan tak pernah lengah mengkompori manusia melakukan dosa-dosa besar, sedetikpun cukup untuk membuat manusia lupa diri dan selanjutnya nafsu manusia sendiri yang akan menjadi pendorong ke arah dosa. Jangan beri kesempatan!
Kalau memang alasannya adalah komunikasi, mungkin masih lebih baik menggunakan media tulisan (surat atau email), asalkan isi tulisannya tidak juga menumbuhkan bunga-bunga pendorong nafsu. Untuk komunikasi menggunakan telepon, sebaiknya dibatasi pada kebutuhannya terhadap persoalan yang perlu dibicarakan, singkat, jelas, fokus. Tutup telepon jika pembicaraan sudah keluar dari hal yang mesti dibicarakan. Sikap ini butuh perjuangan dan ketegasan dari kedua calon pasangan bahwa mereka sama-sama tidak ingin mengawali pernikahan yang sungguh suci dengan kekotoran hati.
Sedangkan untuk bertemu, sebaiknya dibuat seminimal mungkin dan tidak mencari-cari alasan (yang terkadang tidak rasional dan hanya menuruti nafsu) untuk bertemu. Pertemuan sebaiknya dibuat sesingkat mungkin dan harus ditemani oleh orang tua atau kerabat si wanita. Uniknya, karena saking 'sopannya', para orang tua juga terkadang merasa risih atau "tidak ingin mengganggu" privacy kedua calon tersebut. Padahal semestinya ia tahu bahwa sikapnya itu sangat berperan menimbulkan benih-benih zina yang mengotori hati keduanya.
Sekali lagi, makna 'menyegerakan' adalah agar kedua calon pasangan terhindar dari dosa-dosa zina. Jika memang pernikahan itu harus tertunda sekian waktu, kurangi potensi zina mata dan hati dengan shaum sunnah dan olah raga, juga menghindari makanan dari protein hewani tinggi. Tambahkan pertahanan diri dengan memperbanyak berhubungan dengan Allah lewat shalat-shalat sunnah, dzikir dan amal shaleh lain, perbanyaklah berdo'a mohon kekuatan dari Nya. Wallahu a’lam bishshowwaab. (Bayu Gautama)
Pilih Mana: Prestasi Atau Eksploitasi
Publikasi: 03/04/2002 14:00 WIB
eramuslim - “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al-Azhab. 35)
Seorang ibu yang baru saja melahirkan tampak sedikit kecewa dengan kabar yang baru saja ia diterima dari seorang suster yang membantu persalinannya. Suster mengatakan bahwa anaknya yang keempat ini ternyata perempuan lagi.

“Perempuan?” kening si ibu mengkerut.
“Coba dicek lagi suster, mungkin suster salah lihat, sebab hasil USG beberapa bulan lalu, terlihat dalam kandungan saya anak saya laki-laki!” desak si ibu yang masih tampak lemah.

“Benar Bu, anak Ibu perempuan, tidak mungkin salah apa lagi tertukar, karena hanya Ibu saja yang melahirkan hari ini di sini. Sama saja antara laki-laki dan perempuan Bu. Yang penting bagaimana Ibu mendidiknya kelak menjadi anak yang sholeh. Di mata Allah, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.” Ujar suster bijaksana, namun si ibu masih tampak kecewa, hal itu terlihat jelas dari raut wajahnya.

Disebuah pusat perbelanjaan seorang perempuan cantik dengan pakaian ketat berdiri di pintu masuk menawarkan rokok pada setiap laki-laki yang ia temui. Tidak sedikit dari laki-laki yang ditemuinya itu bukannya membeli rokok yang ditawarkan, namun hanya menikmati keindahan tubuh dan wajah cantik yang memang disengaja dibuka oleh para perempuan cantik tersebut, bahkan tak jarang ada yang sengaja mencolak-colek.
Mereka bisa apa? resiko pekerjaan, paling begitu jawab mereka , kasihan ….
Lain lagi kejadian di sebuah Program Pascasarjana sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkemuka. Seorang perempuan yang masih sangat muda duduk diantara wisudawan menunggu giliran mendapatkan ijazah dari Rektornya. Kecerdasan dan kepintarannya mengantarkannya memiliki kesempatan melanjutkan studi ke tingkat Pascasarjana dengan beasiswa yang ia dapatkan melalui persaingan yang tidak semua orang dapat memenangkannya. Orang tua dan sanak keluarganya pun kagum dengan prestasinya.
Gambaran kejadian pertama menunjukkan betapa dalam masyarakat yang sudah sangat moderen ini masih saja ada keluarga yang keberatan dengan kelahiran anak perempuan.
Seolah-olah perempuan hanya akan memberatkan beban keluarga saja. Padahal setiap jiwa itu sudah Allah tentukan rezekinya.
Kejadian kedua tidak kalah menyedihkannya, keberadaan perempuan hanya dijadikan pelengkap berhasilnya sebuah produk dipasaran.
Namun kita masih memiliki harapan, dibalik forum diskusi dan seminar tentang perempuan, dibalik eksploitasi terhadap fisik perempuan masih ada perempuan muslimah istiqomah mempertahankan dan menunjukan identitas serta jati dirinya, bahwa perempuan itu juga bisa berprestasi, sama halnya dengan laki-laki.
Perempuan bukan penyebab kemiskinan dan perempuan itu bukan merupakan sekedar pelengkap, apalagi penyedap. Dalam pandangan Allah, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Allah menyediakan bagi keduanya ampunan dan pahala yang besar. Namun tidak sedikit yang masih menganggap remeh perempuan, padahal setelah kedatangan Rasulullah, Islam mengangkat derajat kaum perempuan ke tempat yang sangat terhormat sebagai anak,
istri, ibu dan anggota masyarakat.
Tidak sedikit yang memuja-muja maupun yang mencela perempuan, bahkan perempuan disebut-sebut sebagai sumber kehancuran maupun kesuksesan para pemuka dunia, sehingga muncul ucapan “dibalik kesuksesan orang-orang besar ada perempuan”, atau bila seorang pemuka mengalami kehancuran, maka yang muncul adalah ucapan “selidikilah perempuannya”.
Laki-Laki Dan Perempuan Berasal Dari Sumber Yang Sama.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptalan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (QS.4:1)
Perempuan adalah penyempurna kekurangan yang ada pada diri laki-laki, begitu juga sebaliknya, laki-laki diciptakan untuk menyempurnakan kekurangan perempuan, sehingga Allah menjadikan keduanya berpasang-pasangan, agar keduanya merasa tentram dan dapat berbagi. Sehingga tidak ada yang berhak merasa dirinya lebih baik dari yang lainya.
Laki-laki dan perempuan berasal dari sumber yang sama, keduanya di mata Allah memiliki darajat yang sama, namun sangat disayangkan masih banyak pandangan negatif terhadap keberadaan perempuan. Mereka menganggap perempuan hanya memiliki sedikit kecakapan, perempuan hanya dijadikan untuk memuaskan dahaga seksual, kehormatanya dapat dimiliki dengan memberinya sejumlah harta, dapat ditalak kapan saja, bahkan lebih tragis lagi, perempuan dianggap sandal jepit yang dapat dipakai dan dilepas kapan saja.
Pandangan jahiliyah ini masih berkembang di tengah masyarakat, mereka memingit para perempuan dirumah, tidak boleh keluar dengan alasan apapun termasuk untuk belajar dan bekerja. Padahal mencari ilmu adalah hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Bahkan istri Nabi tidak hanya belajar, tapi beliau juga mengajarkan ilmu-ilmu fiqh dan periwayatan hadis disamping ahli dalam menciptakan syair, sastra dan ilmu bahasa lainnya. Rasulullah mengatakan “Janganlah kamu melarang hamba-hamba Allah yang perempuan untuk mendatangi masjid-masjid Allah” (Hadis Riwayat Muslim).
Dibalik itu, tidak sedikit perempuan dieksploitasi dan mengeksploitasi dirinya sendiri. Kita lihat saja iklan-iklan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perempuan, menampilkan perempuan yang membuka aurat, yang ditonjolkan bukan kualitas produknya melainkan justru sisi sensual perempuan yang menjadi bintang iklan produk itu.
Hal ini diakui oleh mantan pragawati terkenal yang kini mendapat hidayah dari Allah. Betapa pekerjaannya dulu sebagai peragawati hanya bermanfaat untuk kepentingan pemilik bisnis fashion dan benar-benar menjauhkan ia dari Allah karena setiap saat bergelimangan maksiat. Dengan mengenakan busana muslimah, ia kini benar-benar merasa menjadi perempuan terhormat.

Pandangan Barat dan kaum feminisme sekarang ini yang memandang perempuan muslimah dikebiri hak dan kewajibanya sangatlah tidak beralasan. Lupakah kita pada sejarah bahwa sebelum kedatangan Islam, setiap keluarga malu jika melahirkan anak perempuan.
Mereka tidak segan-segan membunuh bayi perempuan mereka, karena mereka beranggapan memiliki anak perempuan merupakan aib. Tapi setelah kedatangan Islam, semuanya erbalik, bahkan Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sangat terhormat.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah sama (meski secara fisik berbeda). Mereka berasal dari sumber yang sama, derajat mereka sama di sisi Allah, mereka memiliki peluang yang sama untuk maju, tumbuh dan berkembang. Jika persamaan ini yang dikumandangkan kaum feminisme dan Barat, sungguh mereka sanggat ketinggalan kereta sekali. Karena persamaan dalam kondisi ini telah menjadi jaminan Al-Quran.
Namun perlu dingat, ada perbedaan mendasar yang tidak mungkin bisa dipaksakan sama. Perempuan bisa mendapatkan pendidikan tinggai layaknya laki-laki, perempuan bisa mencari nafkah sebagaimana halnya laki-laki, perempuan bisa menjadi kepala rumah tangga jika suaminya meniggal. Namun ada tiga hal penting yang tidak akan pernah mungkin dilakukan laki-laki yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui. Realita ini harus diakui sebagai kodrat dan fitrah.

Allah telah mengangkat derajat kaum perempuan, Allah telah memuliakan kaum perempuan. Syurga terletak di bawah kaki ibu, Rasul pun mengatakan orang yang pertama yang harus dihormati itu adalah perempuan yaitu ibu, bahkan perempuan sholehah nilainya jauh melebihi keindahan seluruh isi alam semesta ini.
Untuk itu, eksploitasi fisik terhadap keberadaan perempuan adalah sebuah kesalahan besar, namun anehnya tidak banyak perempuan yang menyadarinya, bahkan mereka beranggapan hal itu merupakan aktualisasi diri dan prestasi tersendiri dalam ehidupan mereka, aneh kan!
Eksploitasi Terhadap Perempuan
Telingga kita mungkin sudah kebal mendengar cerita klasik tentang eksploitasi fisik perempuan. Dengan alasan dapat meningkatkan devisa negara, pemerintah tanpa malu sedikitpun melegalkan ribuan tenaga kerja perempuan meninggalkan keluarga, anak dan suaminya untuk menjual tenaga sebagai pembantu rumah tangga ke luar negri.
Mata kita juga mungkin sudah bosan melihat di media televisi, perempuan tanpa malu bahkan bangga memamerkan tubuhnya, beradegan mesra dengan orang yang bukan mahramnya, berlenggak-lenggok di atas cat walk, berpose seronok di majalah porno.
Bahkan hati kita mungkin sudah keras, ini terbukti kita tak mampu berbuat apa-apa atas dilokalisasikannya sebuah daerah untuk transaksi memuaskan nafsu si hidung belang, dimana perempuan di sana adalah konsumsi utama mereka.
Allah menciptakan perempuan dengan keindahan fisik dan kelembutan tutur kata. Makanya tidak heran dikatakan perempuan itu adalah perhiasan dunia. Keindahan fisik ini menjadi komoditas bagi mereka yang hanya mementingkan diri sendiri.
Mereka tidak segan-segan menjadikan fisik perempuan sebagai barang dagangan yang mudah untuk diperjualbelikan, sebagaimana banyak kasus yang terjadi sekarang.
Jika kita berjalan-jalan di pasar Induk Jakarta Timur, maka akan kita temui banyak sekali perempuan-perempuan yang bekerja mengangkat barang yang seharusnya bukan merupakan pekerjaan mereka. Pada pasar yang ramai di malam hari itu akan kita temui perempuan-perempuan setengah baya yang tetap terjaga menunggu pikulan. Padahal pada malam hari yang dingin itu alangkah lebih baik bila ia berada di rumah menemani anak-anaknya belajar atau istirahat.

Kita mungkin masih ingat tragedi Kartini, tenaga kerja Indonesia yang hamil di luar nikah di Arab Saudi. Malang sekali nasibnya, dia menjual tenaga ke luar negeri, bukan Real yang di dapat tapi hukuman mati yang harus ia hadapi. Tidak saja siksaan fisik yang dialami perempuan yang tereksploitasi fisiknya tapi juga harga diri dan kehormatan sering mereka pertaruhkan untuk sekedar dapat menyambung hidup, benar-benar tidak adil!
Perempuan-Perempuan Berprestasi
Jika kita membalik lembaran sejarah, kita akan mendapati tauladan perempuan-perampuan terhormat dan berprestasi, serta memberikan kontribusi terhadap zaman ini. Mereka telah membuktikan perannya sebagai perempuan, sehingga mereka menjadi suri tauladan, tidak hanya pada zamanya saja tapi juga hingga akhir zaman ia tetap ditauladani.
Ummul mukminin, Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Rasulullah telah membuktikan prestasinya, tidak saja di mata manusia, tapi juga di mata Allah. Ia tidak saja sebagai istri, tapi ia adalah seorang pengusaha perempuan yang paling suskses pada zamannya. Ia adalah perempuan terhormat, lagi kaya raya. Ia perempuan pertama yang mengimani Rasul di saat yang lain mengingkari, ia yang membela perjuangan Rasul disaat yang lain memusuhi.
Kesuksesan bisnisnya digunakannya untuk perjuangan dakwah Rasurullah. Tidak terhitung berapa pengorbanan harta yang telah dikeluarkan Khadijah untuk perjuangan Islam dan kaum muslimin. Khadijah telah membuktikan perannya sebagai istri yang membantu perjuangan suaminya untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT.
Dalam bidang pendidikan perempuan yang paling antusias menuntut ilmu adalah Aisyah, istri yang paling dicintai Rasulullah. Ingatannya kuat, dari beliau para sahabat banyak belajar hadis dan hukum Islam lainnya. Ia adalah seorang perempuan yang sangat pemberani dalam perang hingga Allah, Rasul dan para sahabat memberikan kemuliaan kepada beliau.
Dalam sejarah Indonesia tercatat seorang pahlawan perempuan yang prestasinya terus terukhir sepanjang zaman, ialah Cut Nyak Dien, perempuan Aceh yang mengobarkan semangat jihat membela tanah air. Disamping memimpin perang, beliau tidak lupa mengajarkan baca tulis Al-quran kepada masyarakat. Sebuah sikap yang sulit dicari tandingannya pada zaman sekarang ini.
Pada abad 20 yang baru saja kita tinggalkan, kita mengenal sosok perempuan cerdas dan memiliki komitmen kuat terhadap perjuangan Islam. Ia adalah Zainab Al-Ghazali. Perjuangannya menegakkan kalimatullah di bawah pemimpin tirani tidak menggentarkannya meski berhadapan dengan binatang buas dalam penjara pengap yang menjadi hari-harinya semasa dia dipenjara. Namun perjuangannya tidak pernah surut walaupun pecutan dan tamparan menjadi selimutnya di penjara.
Dan masih banyak lagi nama-nama indah terukir di sepanjang masa karena prestasi yang ditorehkan dalam bidangnya masing-masing.
Pentingnya Kesadaran Yang Tinggi
Dalam zaman yang penuh fitnah ini, dimana setiap saat perempuan mudah saja tergelincir kepada jurang kemaksiatan-jika tidak dieksploitasi, mereka yang justru mengeksploitasi dirinya- maka perlu kesadaran yang tinggi bagi perempuan agar terhindar dari segala bahaya.
Kesadaran yang tinggi akan mengantarkan kita kepada kepahaman akan iman dan hakikat Islam. Sebagai konsekwensinya kita akan berbuat untuk mencapai prestasi dan ridha Allah, kita akan memperbaiki diri dan tingkah laku kita sesuai dengan tuntutan dan syariat Allah, kita akan mendidik jiwa dan perasaan kita agar jangan sampai terpengaruh oleh rayuan dan kemilau dunia yang menyesakkan.
Kesadaran yang tinggi itu disertai dengan pemahaman kita terhadap hakekat dan kodrat kita sebagai perempuan. Kesadaran yang tinggi merupakan keistimewaan yang tumbuh sejalan dengan pertumbuhan iman dan kemantapan aqidah sejalan dengan kesadaran hati seseorang akan adanya kiamat dan hari penghisab-an yang akan menunggu setiap saat.
Kesadaran yang tinggi itu akan mampu memberikan sebuah benteng bagi keselamatan diri, aqidah dan jasad. Dan kesadaran itu akan terefleksi dalam akhlak, pergaulan dan keistiqomahan dalam menghindari lingkungan yang tidak baik, serta senantiasa menjadi penebar kebaikan dan mampu menanggulangi berbagai penyakit yang muncul dalam masyarakat.
Perhiasan Dunia
Sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan sholehah. Ia adalah harapan agama, yang diharapkan dapat melahirkan generasi rabbani. Perhiasan itu tidak mudah didapat, harganya terlalu mahal, dan menjaganya pun tidaklah mudah. Setiap abdi Allah ingin mendapatkannya, namun tidak semua bisa memilikinya. Ia memberikan kesejukan dikala hati gersang, ia menyegarkan pandangan di kala mata suram.

Perhiasan dunia itu, dalam kehidupannya menampakkan kemuliaan dirinya. Bagaikan sekumtum mawar yang sedang mekar, harumnya tergambar dari pribadinya yang santun. Tunduk pandangannya, tegas bicaranya. Sedikitpun tidak ada keraguan jika meninggalkannya di rumah.
Ia menjaga harta suaminya, mendidik anak-anaknya dan senantiasa menjaga kehormatan diri dan suaminya.
Dalam kehidupan sehari-hari ia senantiasa diselimuti prestasi. Ia senantiasa bekerja keras untuk meraihnya. Dia tahu mana kegiatan yang di sukai Rabb-nya, untuk itu ia tidak pernah putus asa. Ia senantiasa menjaga kesucian dirinya. Tidak mudah mengeksploitasi diri dan kehormatannya, apa lagi hanya sekedar menggodanya. (Yesi Elsandra)
Sumber: Kebebasan wanita (Abdullah Halim Abu Syuqqah), Juru dakwah muslimah (M. Hasan Buraighisy)
Menjaring Cinta Di Dunia Maya

Publikasi: 26/03/2002 11:14 WIB
"Etha"
"25 tahun, wanita, Jakarta"
eramuslim - Barisan kata diatas adalah kata-kata yang biasa muncul di layar monitor komputer dalam sebuah dialog antar dua layar yang biasa disebut chatting. Sebuah fasilitas dialog dunia maya (internet) yang sedang digemari terutama oleh kalangan muda dan profesional. Penggunaannya kemudian tidak hanya sebagai sarana komunikasi seperti halnya telepon, surat ataupun email.
Internet dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan begitu memanjakan para penggunanya. Hanya dengan memainkan jari jemari sekedar menekan 'tuts' dan mengklik 'mouse' sepersekian detik saja anda sudah mampu menembus dunia tanpa batas ruang dan waktu. Dan salah satu yang sedang digemari dan tetap banyak penggunanya hingga saat ini adalah chatting.
Di kalangan muslim, fasilitas chatting awalnya digunakan untuk ajang silaturahim dan taushiah. Namun seiring perkembangan kebutuhan serta kesibukan para penggunanya, disamping juga sifat 'memanjakan' yang diberikannya, fasilitas tersebut tidak hanya menggantikan peran surat yang dianggap 'tradisional' disamping juga karena faktor kelambatan penyampaian informasinya, telepon yang biayanya relatif lebih mahal terlebih jika harus menggunakan sambungan interlokal, bahkan media-media silaturahim dengan acara 'tatap muka' pun bisa tergantikan dengan fasilitas satu ini, karena anda bisa mengirimkan gambar (pic = singkatan dari 'picture') ke layar teman bicara anda.
Awalnya, setiap pengguna (user) pemula adalah coba-coba atau sekedar iseng karena diberitahu teman sedkit tentang 'nikmat'nya ber-chat ria di depan layar komputer. Awalnya pula anda akan seperti orang 'bego' saat barisan kata-kata muncul di layar monitor anda dan kemudian anda tertarik untuk menjawab setiap pertanyaan yang muncul. Namun kemudian setelah sekian lama mencoba, anda mulai menikmati dan membenarkan cerita teman anda tentang nikmatnya chatting. Anda sudah mulai faham istilah-istilah seperti; asl, btw, thx, fyi, dan lain-lain dimana sebagian istilah tersebut juga berlaku dalam pengiriman surat elektronik (email) ataupun kode-kode seperti :), :(, :D, :p, :)), ;-| dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, secara tidak sadar anda mulai sering senyum-senyum bahkan tertawa sendirian seolah lawan bicara anda yang letaknya entah dimana itu sedang berada persis didepan anda.
Tebar Pesona di Dunia Maya
Bisa dipastikan, kecenderungan setiap chatter (para pengguna fasilitas chat) adalah menyembunyikan identitas aslinya, hal itu terlihat dari nickname yang mereka gunakan sebagai identitas awal mereka. Namanya bisa terkesan sangat asing atau tidak sedikit yang kadang konyol bahkan mengada-ada. Co-keren, co-cute, barbiegirl, ce-manis, whitesoul dan lain-lain adalah sedikit contoh dari jutaan nickname yang biasa mangkal di berbagai chatroom.
Sudah menjadi sifat manusia untuk tidak percaya dengan orang lain, terlebih yang baru dikenalnya. Itulah salah satu alasan kenapa para chatter cenderung menyembunyikan identitas aslinya. Tidak hanya pada nama, bahkan informasi yang berkenaan dengan usia, tempat tinggal (lokasi), pekerjaan dan tempat kerja, sampai --ini yang paling sering dirahasiakan-- marital status!
Sikap kehati-hatian yang menjadi alasan awal untuk menyembunyikan identitas itu kemudian berlanjut dalam obrolan berikutnya, selanjutnya dan seterusnya. Bisa dikatakan, karena awalnya sudah memalsukan identitas -kalau tidak terlalu kasar untuk disebut berbohong- maka jawaban-jawaban atau pernyataan seterusnya akan cenderung palsu juga. Uniknya, meski para chatter seolah sudah saling mengerti bahwa masing-masing lawan bicara cenderung 'omong palsu' karena mereka pun melakukan hal yang sama, para chatting mania itu ternyata sangat menikmati obrolan (palsu) tersebut.
Maka tidaklah mengherankan jika chatting kemudian berkembang menjadi suatu arena 'tebar pesona' diantara para penggunanya. Mulai dari atraksi intelektual, untaian kata indah menyentuh hati (biasanya dilakukan terhadap lawan jenis) hingga rayuan gombal pun tidak lepas menghiasi layar monitor anda. Meski demikian tidak semua chatroom berisi hal-hal penuh kepalsuan dan juga para chatter yang cenderung berbohong, karena tentu masih ada chatroom-chatroom yang lebih mengkedepankan aspek-aspek dialog bermanfaat dengan para chatter yang juga melakukan chatting dengan tujuan yang relatif lebih jelas, lebih bernas ketimbang sekedar tebar pesona atau curhat-curhatan. Untuk kelompok yang satu ini, bahkan mereka tidak segan-segan keluar dari chatroom jika pembicaraan sudah mengarah kepada hal yang sia-sia dan kurang bermanfaat.
'Pacaran' di Dunia Maya
Sebuah situs Islam lokal di Indonesia yang menyediakan fasilitas konsultasi dan tanya jawab seringkali mendapatkan email-email dengan pertanyaan yang hampir sama, seperti, "bolehkah ta'aruf dengan lawan jenis melalui internet/chatting?" atau bahkan "apa hukumnya mencari pasangan hidup dari hasil chatting?"
Bahkan ada netters yang terang-terangan mengakui bahwa dirinya lebih 'pede' (percaya diri) melakukan obrolan melalui chatting atau email daripada harus bertemu langsung. Di kalangan pemuda-remaja muslim, chatting dianggap sebagai wadah yang lebih 'safety' untuk melakukan silaturahim atau berdiskusi ketimbang harus bertatap muka dengan resiko berkhalwat. Maka dengan anggapan yang bisa dibilang terburu-buru itu, maraklah chatroom-chatroom itu dipenuhi oleh para muslim-muslimah. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang notabenenya berlabel aktifis.
Pada satu sisi, kemajuan teknologi memang tidak dapat dibendung lajunya dan sebagai muslim yang juga ingin maju sudah tentu tidak ingin ketinggalan dalam mengikuti perkembangan dan trend teknologi terbaru jika tidak ingin disebut 'gaptek' atau gagap teknologi. Namun disisi lain tanpa disadari telah menggeser sedikit demi sedikit norma-norma pergaulan yang awalnya menjadi sesuatu yang tabu dilakukan antar lawan jenis. Misalnya, yang biasanya 'tidak berani' berbicara langsung dengan alasan menundukkan pandangan dan menghindari berkhalwat, kini bebas ber 'haha-hihi' di ajang chatting meski satu sama lain belum betul-betul saling mengenal.
Tidak sampai disitu, dari mulai mentertawakan bersama hal-hal yang lucu yang muncul dari barisan kata-kata di layar monitor sampai pengungkapan identitas diri yang sebenarnya, memberikan jawaban-jawaban atau solusi atas setiap permasalahan teman bicaranya, yang kesemuanya masuk dalam skenario tebar pesona para chatter, dimana hal itu tidak berani mereka lakukan di dunia nyata dengan alasan tidak 'pede' karena berbagai kekurangan fisik dan nonfisik yang dimilikinya, muncullah benih-benih harapan baru bahwa ingin menjadikannya lebih dari sekedar teman bicara atau berdiskusi. Ajaib memang, manusia-manusia yang selama ini mengalami gejala inferiority, internet mampu menyulapnya menjadi manusia superior yang penuh percaya diri, setidaknya selama ia masih berada di dunia maya.
Jadilah hari-hari selanjutnya penuh pesona bunga merona cinta. Ayunan jari jemari diatas tuts keyboard seakan menjadi saksi betapa mereka sedang dibuai asa merenda masa depan. Barisan kata-kata yang tertuang di layar monitor mulai terukir indah penuh makna, perhatian bahkan kasih sayang dan cinta. Setelah itu, timbullah keinginan untuk copy darat, istilah para chatter untuk melakukan pertemuan atau tatap muka secara langsung untuk mengakhiri rasa penasarannya selama ini akan wujud asli dari si pembuai maya.

Ups! Sampai disini hati-hati karena bisa jadi tanpa disadari anda sudah melakukan zina hati. Jika chatting yang anda lakukan sudah mengarah kepada hal-hal yang tidak ada bedanya dengan layaknya orang berpacaran, seperti mengumbar pesona untuk menarik hati, memberikan perhatian yang berlebihan yang belum sepantasnya anda lakukan, memberikan atau menaruh harapan yang berlebihan akan cinta dan cita masa depan.
Bukan berarti juga ada larangan melakukan chatting untuk tujuan ta'aruf pra nikah. Hanya saja masalahnya, hal itu tidak dikondisikan dan dikomunikasikan sedemikian baik dan terjaga dari permainan hati yang bisa jadi syaitan bermain di dalamnya (na'udzubillaahi min dzalik).
Jika kita bisa berbicara (soal hati dan kecenderungan terhadap lawan jenis) dengan kadar yang sewajarnya, dengan hati yang tetap terjaga dari kemungkinan munculnya hasrat yang cenderung kepada nafsu, dengan sikap dan kata-kata yang tidak akan merusak dan menghilangkan hakikat tujuan dari ta'aruf dan ukhuwah itu sendiri serta tidak malah terjebak pada permainan kata-kata perhatian (taushiah) berselubung cinta, tentu masih bisa dibenarkan. Namun masalahnya, seberapa dari kita yang benar-benar siap dan sanggup melakukan hal tersebut. Dan jika secara jujur dalam hati ini merasa berat, sebaiknya hindari dan lebih baik memilih lawan bicara yang sejenis untuk lebih menjaga hati tetap bersih. Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Wanita: Antara Idealisme, Emansipasi dan Karir
Publikasi: 12/03/2002 07:25 WIB
eramuslim - Salah satu masalah yang tidak pernah tuntas didiskusikan adalah wanita, ia menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu, sekarang dan masa yang akan datang. Masalah itu tetap tidak akan tuntas, karena wanita telah diperlakukan dan memperlakukan dirinya tidak sesuai dengan fitrah mereka, wanita di hinakan, dipuja dan tuntutan kesetaraan disegala bidang yang sering dikenal dengan istilah emansipasi dan karirisasi tidak pernah menemukan titik temu dengan hukum Allah.
Beragam Pandangan Tentang Wanita
Dalam sejarah perjalanan umat manusia, sikap ambivalen terhadap posisi wanita tidak pernah berakhir. Hal ini merupakan provokasi dari kaum sekular, pemahaman salah dari agama -agama ghairul islam (non Islam) filsafat serta kepentingan politik.
Di salah satu pihak mereka sangat menghinakan wanita dengan mengatakan sabar yang terpaksa, angin yang jahat, maut, neraka jahim, ular berbisa, dan api tidaklah lebih berbahaya dari pada wanita, hal ini merupakan pandangan agama Hindu terhadap wanita. Wanita dianggap makhluk yang berbahaya melebihi ular berbisa. Agama Yahudi tidak memberikan tempat terhomat kepada wanita, dalam pandangan agama ini wanita tidak mempunyai hak kepemilikan, hak waris, makhluk yang terkutuk.
Selanjutnya agama Kristen tidak kalah memandang hina terhadap wanita, seperti yang dikatakan pendeta Paus Tertulianus, “Wanita merupakan pintu gerbang syeitan, masuk ke dalam diri laki-laki untuk merusak tatanan Ilahy dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.” Sedangkan Paus Sustam mengatakan, “Wanita secara otomatis membawa kejahatan, malapetaka yang mempunyai daya tarik, bencana terhadap keluarga dan rumah tangga, kekasih yang merusak serta malapetaka yang menimbulkan kebingunggan.”
Rata-rata agama non Islam tersebut hanya memandang wanita sebagai seonggok jasad yang siap menghancurkan laki-laki, mereka tidak menghormati wanita, padahal mereka lahir dari rahim para wanita, benar-benar aneh!!!.
Di sisi lain wanita sangat didewakan, disanjung dan dipuja, namun hanya sebatas pemuasan dahaga dan nafsu seksual kaum laki-laki saja. Walaupun mendapatkan kedudukan “terhormat” dan kebebasan atas hak asasinya, namun tetap saja wanita mengalami kesengsaraan, karena wanita dihormati hanya sebatas kemolekan tubuh dan masalah seksual belaka, yang pada akhirnya meraka tetap beranggapan wanita hanyalah sebagai sampah, habis manis sepah dibuang.
Lain halnya dalam pandangan agama Islam, laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Keduanya mendapat pahala yang sama di sisi Allah sesuai dengan tingkatan iman dan amal yang mereka lakukan, hal ini dikatakan Allah dalam surat Al-Mukmin ayat 40, “Barang siapa yang beramal sholeh baik laki-laki maupun perempuan sedangkan mereka beriman, maka mereka akan masuk surga dengan tiada terhingga.”
Islam menjunjung tinggi derajat wanita, ia ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat di dunia ini, tidak ada yang boleh menghinakannya karena dalam hadis telah dikatakan “Syurga itu terletak di bawah telapak kaki ibu” (HR. Ahmad), Bahkan Rasul mengatakan wanita itu lebih berharga dari keindahan seluruh isi alam ini, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.” (HR. Muslim).
Untuk menjaga kesucian serta ketinggian derajat dan martabat kaum wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum syariat yang akan memberikan batasan dan perlindungan bagi kehidupan wanita, semuanya itu untuk kebaikan wanita, agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan Allah terhadap dirinya, semuanya merupakan bukti bahwa Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.
Propaganda Emansipasi dan Karirisasi
Gerakan emansipasi tumbuh sejak awal abad XX. Anehnya propaganda gerakan ini justru munculnya dari laki-laki dan hanya terdapat sedikit saja wanita. Awalnya emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan kesempatan pendidikan akademis bagi wanita. Seruan ini cukup mendapat simpati karena aktivitasnya mengarah kepada peningkatan kecerdasan, keleluasaan generasi baru yang lebih cakap dan berkualitas.
Namun seiring perkembangan zaman mereka tidak saja menyerukan pentingnya mendapatkan pendidikan, tapi dengan berkedok emansipasi mereka mulai meneriakkan persamaan derajat, kebebasan, peningkatan karier di segala bidang (karirisasi). Terjadilah gerakan besar-besaran untuk mendapatkan kesempatan agar bisa tampil di luar, bekerja dan melakukan aktivitas apa saja layaknya laki-laki. Dengan alasan wanita yang tinggal di rumah adalah wanita yang terpasung eksistensi dirinya, tidak menunjang usaha produktivitas, wanita secara intelektual sama dengan laki-laki, dengan hanya menjadi ibu rumah tangga dianggap wanita kehilangan partisipasi dalam masyarakat.
Mereka meneriakkan emansipasi dan karirisasi. Karena bagi mereka apa yang dikerjakan laki-laki dapat pula dikerjakan oleh perempuan. Mereka menyamakan segala hal antara laki-laki dan perempuan, padahal kita tidak dapat menutup mata ada hal-hal mendasar -mungkin mereka lupa- tidak akan mungkin dapat disamai.
Wanita karier, begitu kita sering mendengar istilah ini. Disebut wanita karier karena dalam sehari-hari mereka berjejel di lapangan kerja yang seharusnya menjadi pekerjaan laki-laki. Ciri-ciri wanita karier ini menurut seorang penulis di Inggris adalah, mereka tidak suka berumah tangga, tidak suka berfungsi sebagai ibu, emosinya berbeda dengan wanita non karier, dan biasanya menjadi wanita melankolis.
Disadari ataupun tidak, timbul dilema baru dalam dirinya dan kemelut berkepanjangan di dalam masyarakat. Mereka harus bekerja banting tulang untuk mencari nafkah yang seharusnya merupakan tugas laki-laki. Laki-laki menjadi kehilangan kesempatan pekerjaan karena diserobot wanita karier, hal ini menimbulkan masalah psikologis tersendiri bagi laki-laki.
Informasi mengenai gerakan emansipasi dan karirisasi mendapatkan porsi publikasi politis dan bisnis secara besar-besaran. Oleh karena itu bagi mereka yang dicurigai menghalangi gerakan emansipasi disebut sebagai diskriminasi gender. Biasanya agama sering dijadikan kambing hitam sebagai media yang menghalangi gerakan tersebut, bahkan ada yang berani menghujat agama Islam merupakan agama yang mengekang kemajuan wanita.
Dan anehnya mereka yang mengaku muslim tidak sedikit yang menunjukkan perlawanan terhadap aturan syariat yang di buat Allah. Aneh memang, padahal sudah jelas-jelas tanpa Islam, wanita tidak akan pernah maju, dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Bisa dibandingkan bagaimana Islam menempatkan wanita pada posisi yang sangat terhormat, sedangkan agama lain, apa yang ia katakan terhadap perempuan, mereka hanya menganggap perempuan sebagai keranjang sampah, hina dan menyesatkan.
Seharusnya kita jujur, tanpa kedatangan Islam wanita tidak akan pernah seperti sekarang. Lalu masihkan kita berani mengatakan Islam menyebabkan wanita-wanita terbelakang? Sungguh pemikiran bodoh yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Wanita Bekerja, Why Not?
Nyonya Jane Martan Seasih Duta Besar Gresia untuk PBB mengatakan “Melahirkan adalah fungsi utama seorang wanita, wanitalah yang menangani pendidikan anak-anaknya.” Memang sudah fitrahnya wanita memiliki empat keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki, haid, hamil, melahirkan, menyusui. Kempat fungsi ini mempengaruhi sifat dan tingkah laku wanita dalam masyarakat. Fungsi ini tidak akan bisa digantikan oleh laki-laki, namun ada pekerjaan laki-laki sekarang yang banyak digantikan oleh wanita, yaitu mencari nafkah.
Dalam perspektif Islam wanita tidak dibebani mencani nafkah, baik untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, yang bertanggung jawab adalah ayahnya jika ia belum berkeluarga, suaminya jika ia telah berkeluarga, saudara laki-laki dan pamannya jika ayah dan suaminya tidak ada. Dispensasi ini akan memberikan peluang kepada wanita untuk dapat mendidik anak-anaknya, mengurus suaminya, sehingga dapat dilindungi dari pelecehan atau penistaan.
Namun wanita bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk membantu meringankan beban keluarga bukanlah sesuatu yang haram. Pada prinsipnya Islam mengarahkan kaum wanita supaya dalam bekerja harus mengutamakan tugas fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya agar kelak dapat dipersiapkan menjadi penerus risalah yang dibawa Rasul.
Ia tidak melanggar fitrah dan syariat yang telah ditetapkan, hendaklah ia tetap menjaga kehormatan keluarga, sehingga tidak muncul peluang bagi kerusakan moral dan tersebarnya fitnah terhadap wanita di tengah masyarakat.
Adapun pekerjaan yang dilakukan itu hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut, pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan dan sesuai fitrah wanita, misalnya dokter kandungan, perawat, guru, dosen. Dalam pelaksanaanya, tidak bercampur baur dengan laki-laki. Jam kerja yang dilakukan tidak melebihi kewajiban pokoknya mengurus keluarga. Syarat lainya adalah adanya persetujuan dari ayah, suami atau saudara laki-laki yang bertanggungjawab terhadap wanita tersebut.
Dengan memperhatikan aturan tersebut, wanita tetap dapat menjaga jati dirinya sebagai hamba Allah yang shalihah. Ia tidak akan melanggar syariat dan fitrah dirinya. Ia akan tetap menjaga harkat dan matrabat diri dan keluarganya, sehingga kemampuan dan ilmu yang ada pada dirinya dapat bermanfaat untuk orang lain, ia pun dapat membantu meringankan beban keluarga tanpa harus mengorbankan harga dirinya. (yelsandra@yahoo.com
Bidadari Surga Itu ...
Publikasi: 06/03/2002 08:57 WIB
eramuslim - Menjelang perang Uhud dimulai, ia bersama suaminya, Zaid bin Ashim dan kedua anaknya, Habib dan Abdullah keluar ke bukit Uhud. Lalu Rasulullah saw bersabda kepada mereka, "Semoga Allah memberikan berkah kepadamu semua." Setelah itu wanita bidadari perang uhud itu berkata kepada beliau, "Berdo'alah kepada Allah semoga kami dapat menemani engkau di surga kelak, ya Rasulullah!" Lalu Nabi saw berdo'a, "Ya Allah jadikanlah mereka itu teman-temanku di Surga." Maka wanita itupun berkata lantang, "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku."
Dialah Ummu Amarah yang dikenal dengan nama Nusaibah bin Ka'ab Al Maziniay yang menjadi bidadari surga karena perannya membela Rasulullah saat pasukan muslimin terdesak pada perang Uhud. Bersama Mush'ab bin Umair -yang kemudian menemui syahid setelah mendapatkan puluhan tusukan di tubuhnya- Nusaibah menghadang Qam'ah, orang yang dipersiapkan membunuh Rasulullah dalam perang tersebut. Nusaibah sendiri harus menderita dengan dua belas tusukan dan salah satunya mengenai lehernya.
Kata-kata Nusaibah "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku" setelah ia mendapati Rasulullah mendoa'kan dirinya dan keluarganya menjadi teman-teman Rasul di surga, terdengar begitu tegar dengan kesan yang amat mendalam. Mungkin karena ketidakpeduliannya terhadap urusan dunia dengan segala apa yang bakal menimpanya itulah yang kemudian menjadikannya salah seorang bidadari di surga.
Kini, 15 abad setelah Nusaibah tiada, masihkah ada diantara kita yang berani dengan lantang dan mantap mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan Nusaibah. Masihkah ada diantara kita yang tidak mempedulikan persoalan dunia dan apapun yang dikehendaki Allah selama kita di dunia menimpa diri ini. Mungkin ada, tapi entah dimana dan siapa.
Kalaupun ada, yang jelas dia adalah Nusaibah-Nusaibah abad modern. Kalaupun ada juga, ia tentu tidak akan bersaksi bahwa dialah orangnya, karena seperti Nusaibah bin Ka'ab, ia tidak pernah bersaksi bahwa ia adalah pembela Rasulullah dan agama Allah, melainkan Rasulullah lah yang memberikan kesaksian, "Tidaklah aku menoleh ke kanan dan ke kiri pada peperangan Uhud melainkan aku melihat Nusaibah (Ummu Amarah) berperang membelaku." (Al Ishabah).
Dimana Nusaibah kini, yang siap menyerahkan seluruh hidupnya untuk membela Allah dan Rasul-Nya, yang menjadikan seluruh anggota keluarga adalah mujahid pejuang Allah, yang lebih mengutamakan indahnya surga Allah daripada kenikmatan-kenikmatan dunia yang sesaat dan serba semu, yang tidak pernah khawatir dan merasa takut tidak mendapatkan kesenangan di dunia, karena dimatanya, kesenangan menjadi teman Rasulullah di Surga menjadi keutamaannya.
Dimana Nusaibah kini, yang Allah dengan segala janjinya lebih ia yakini dari segala kepentingan dan urusan dunianya, yang menikah dengan suami yang juga siap menyerahkan hidupnya untuk Allah semata, yang siap menjadikan anak-anaknya tameng Rasulullah di setiap medan perang.
Bisa jadi, bila ada Nusaibah kini, ia akan siap kehilangan segala kenikmatan dunianya, ia rela menjual kesenangan dunianya untuk harga yang lebih mahal, yakni surga Allah. Ia tak pernah bersedih, murung ataupun marah akan setiap ketentuan Allah atas dirinya, ia percaya bahwa Allah akan bersikap adil dengan segala kehendaknya atas setiap manusia, ia begitu yakin, jika tidak ia dapatkan kenikmatan dunia dengan segala perhiasannya, pasti ia akan mendapatkan yang jauh lebih indah kelak sebagai balasan dari amal dan kesabarannya menerima semua ketentuan-Nya. Tapi, dimanakah Nusaibah kini? Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu Gautama)

Wanita Dicipta Untuk Dilindungi
Publikasi: 18/02/2002 16:31 WIB
eramuslim - Allah SWT tidak menciptakan wanita dari kepala laki-laki untuk dijadikan atasannya. Tidak juga Allah SWT ciptakan wanita dari kaki laki-laki untuk dijadikan bawahannya. Tetapi Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dekat dengan lenganya untuk dilindunginya, dan dekat dengan hatinya untuk dicintainya.
Allah tidak menciptakan wanita sebagai komplementer atau sebagai barang substitusi apalagi sekedar objek buat laki-laki. Tetapi Allah menciptakan wanita sebagai teman yang mendampingi hidup Adam tatkala kesepian di surga. Juga Allah ciptakan wanita sebagai pasangan hidup laki-laki yang akan menyempurnakan hidupnya sekaligus sebab lahirnya generasi, disamping tunduk dan beribadah kepada Allah tentunya.
Tetapi mengapa tetap saja ada laki-laki yang tunduk di bawah kaki wanita. Mengemis cintanya, berharap kasih sayangnya dengan menggadaikan kepemimpinan, bahkan kehormatan dan harga dirinya.
Wanita dipuja bagai dewa, disanjung bagai Dewi Shinta, yang banyak menyebabkan laki-laki buta mata, buta telingga, bahkan buta mata hatinya. Namun ada juga yang menganggap rendah wanita. Wanita dinista, dihina. Kesuciannya dijadikan objek yang tidak bernilai harganya. Tenaganya dieksploitasi bagaikan kuda. Kelembutannya dijadikan transaksi murahan yang tak seimbang valuenya.
Wanita dijadikan sekedar pemuas nafsu belaka, bila habis madunya, dengan seenaknya di buang ke keranjang sampah, atau dianggap sandal jepit yang tak berguna.

Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita melihat mereka menjajakan diri di gelapnya malam yang mencekam. Relakah kita melihat mereka membanting tulang mengumpulkan ringgit atau real dengan mayat terbujur kaku sebagai resikonya?
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita membiarkannya seperti seonggok jasad hidup yang tidak memiliki nilai guna?
Jika wanita itu adalah ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, dan anak kita, relakah kita membiarkannya beringas, liar, ganas, tidak berpendidikan, bodoh, dunggu, hanya karena ketidakmampuan ayah memberi nafkah, karena ketidakmampuan kita medidik dan mencintainya, karena ketidakmampuan kita melindunginya, sebagaimana Allah menciptakan wanita dari tulang rusuk laki-laki, dekat dengan lengannya untuk dilindunginya, dekat dengan hatinya untuk dicintainnya.
Ia tetap wanita, yang diciptakan Allah SWT dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Tidak bisa manusia dengan akalnya yang kerdil ini mengganti kedudukannya apa lagi fitrahnya.
Ia bagaikan sekuntum bunga terpelihara, tidak semua kumbang bisa menghisap madunya. Lemah lembutlah dalam memperlakukannya, karena kalau tidak, ia bisa seganas srigala.
(elsandra/yelsandra@yahoo.com)
Inilah Hidup
Publikasi: 08/03/2004 11:00 WIB
eramuslim - Hidup ini memang menyajikan berbagai cerita dan berbagai fenomena yang menakjubkan. Tak terbayangkan. Seorang ayah yang dia hanya bisa bekerja dan bekerja bagi keluarga, kemiskinan yang menimpa mereka itu adalah garis hidup yang mustahil diubah (anggapan mereka).
Di sisi lain, seorang remaja yang hanya memikirkan bagaimana tampil cantik dan menarik. Mereka tak berpikir bahwa hidup ini menuntut orang untuk berjuang, dan ada orang di luar sana yang hanya bisa merenungi dan menerima nasib menjadi orang yang tidak beruntung. Ada juga orang yang hanya bisa memperhatikan, mengamati dan berusaha menghibur mereka yang merasa kurang beruntung.
Inilah hidup. Sekali lagi, inilah hidup. Dunia memang aneh. Allah menciptakan semua ini pasti memberikan pelajaran yang berharga, bagi orang-orang yang berpikir. Islam mengajarkan umat manusia untuk berzuhud terhadap dunia, qonaah (menerima) dan istiqomah sebagai napak tilas di jalan surga. Inilah salah satu fenomena hidup yang sempat terekam oleh mataku…..
Ketika kutelusuri jalan menjelang maghrib, kulihat laki-laki 40-an sedang mendendangkan sebuah lagu di sebuah restoran mewah. tampak orang-orang di sana ada yang acuh, ada sedikit memberi perhatian. Pernahkah kalian bayangkan bagaimana perasaan laki-laki itu tatkala melihat orang-orang yang kelihatannya lebih sukse dari dia? Pernahkah terpikir oleh kalian apa yang terlintas dalam benaknya takala menyadari mereka lebih beruntung darinya? Aku juga tak tau itu. aku juga tak tahu seberapa besar kekuatan kesabaran, keikhlasan dan kepasrahan yang ada di benaknya. Aku juga tak tahu di mana di menyimpan keping-keping kesonbongan dan rasa malu. Aku rasa di sudah mampu berdamai dengan takdir. Dia orang yang tegar di jalan kehidupan. Ya…. Merekalah pahlawanku masa kini.
Kata orang pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan harta, jiwa dan darah yang dimiliki untuk kepentingan bangsa dan Negara. Pahlawan adalah orang yang tidak membebani Negara dan mampu mengangkat derajat bangasa di mata dunia.
Tapi entah kenapa menurutku pahlawan di masa bukan seperti definisinya tepatnya untuk kasus yang satu ini. Pahlawan masa kini bukan lagi orang yang rela mengangkat senjata dan mengorbankan nyawa. Pahlawanku bukan pula para politikus, pejabat pemerintahan ataupun pe-men, batman dan supermen. Pahlawanku adalah pahlawan yang rela pergi pagi pulang sore. Dengan berbekal keikhlasan dan keyakinan bahwa nanti sore dia akan membawakan sesuatu untuk keluarganya. Merekalah pahlawna masa kini ku. Yang hidup sederhana, tanpa embenani orang lain. Yang hidup pas-pasan tanpa membebani Negara dan tak mengemis surat pembebasan utang pada Negara .
is_ismi@yahoo.com
buat teman2ku jazakillah atas masukannya
Berbicara, Mendulang Pahala atau Dosa?
Publikasi: 04/03/2004 09:32 WIB
eramuslim - Bicara adalah kebutuhan.. Dengan bicara gagasan-gagasan yang tersimpan di kepala, dan emosi yang tersimpan di hati jadi bisa ditangkap oleh orang lain. Hal ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi kita. Bahkan menyehatkan! Apalagi bila kemudian gagasan dan emosi kita ini direspon oleh lawan bicara, tentu ini makin membuat kita merasa diperhatikan.
Begitu banyak orang yang merasa diterima di sebuah lingkungan hanya gara-gara dia bisa mendominasi pembicaraan atau karena orang-orang mau mendengarkan kata-katanya, juga mengagumi isi ceritanya. Respon yang positif ini akan mendorong seseorang untuk melakukaan hal yang sama di lain tempat dan waktu.
Sebaliknya banyak orang yang merasa ditolak hanya gara-gara dia tidak bisa mengimbangi lawan bicaranya, atau tak ada yang mengagumi cerita-ceritanya, bahkan tak ada yang mau mendengarkan kata-katanya.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya. Semua kata yang keluar dari lisan seorang muslim seharusnya punya konsekuensi yang lebih besar dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Ini disebabkan seorang muslim berbicara diawali dengan pemahaman atas apa yang dia bicarakan dan pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia bicarakan, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Pemahaman atas apa yang dia bicarakan membuat seorang muslim tidak bicara “ngaco”. Ilmu menjadi dasarnya, baik ilmu yang diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal, bahkan ilmu dari pengalaman hidup sekalipun. Pemahaman terhadap ilmu ini akan membuat seorang muslim bisa bijaksana memilah kata-kata yang tepat, sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan orang yang diajak bicara.
Pengetahuan tentang konsekuensi atas apa yang dia bicarakan pun akan mendorong seorang muslim untuk menjaga lisannya agar hanya mengeluarkan kata-kata terbaik yang mengandung kemanfaataan dan keselamatan bagi orang lain. Bukan sekedar kata-kata basa-basi dengan harapan mendapat decak kagum dari orang lain. Bukan juga kalimat-kalimat manis yang diluncurkan hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, tanpa ada nilai manfaatnya bagi orang lain.
Dalam beberapa hal, ini masih bisa ditolerir pada batas-batas tertentu. Namun bila kemudian menjadi kebiasaan yang berkepanjangan dikhawatirkan bisa menjerumuskan kita pada kata-kata dusta tanpa kita sadari, hanya untuk tujuan ini; tujuan pengakuan dari orang lain. Sungguh, sebuah kebohongan yang kita ucapkan sekali, dan kemudian kita ulangi kedua kali bahkan sampai ketiga kalinya tanpa adanya penyesalan akan menjadikan kita terbiasa olehnya.
Satu kata kebaikan yang keluar dari lisan seorang muslim pun punya konsekuensi bahwa dialah orang pertama yang melaksanakan kata-katanya tersebut. Apa pun kata-kata itu; diucapkan langsung ataupun dalam bentuk tulisan. Bukan suatu yang mudah memang. Kadang tuntutan ini membuat kita jadi takut mengajak orang lain pada kebenaran. Akhirnya kita lebih memilih diam. Padahal satu kebaikan yang kita sebarkan melalui kata-kata kita, kemudian orang lain ikut melaksanakan, maka pahalanya akan mengalir kepada kita tanpa mengurangi pahala orang yang melaksanakannya sedikit pun. Apalagi jika kebaikan itu terus menyebar dan dilaksanakan oleh banyak orang, terus dan terus.
Begitu murahnya Allah memberikan balasan berlipat-lipat atas kebaikan yang telah kita ucapkan kepada orang lain, walau itu hanya sepatah kata. Jika kemudian Allah juga menuntut kita untuk melaksanakan kata-kata kita, itu bukan bermaksud untuk memberatkan, tapi untuk menunjukkan kepada kita bahwa apa pun yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawabannya.
Berbicara untuk kebaikan dan kemanfaatan akan mudah kita lakukan jika ini sudah menjadi kebiasaan.Tanpa diformat terlebih dahulu, semuanya akan mengalir dengan sendirinya. Mudah dan ringan. Tentu saja bagi yang belum terbiasa harus memformat awal semua kebaikan di dalam kepala dan hati kita, kemudian kita ingatkan diri kita untuk mengulanginya kembali, melaksanakan sedikit demi sedikit apa yang kita mampu, berulang-ulang, sampai kemudian menjadi kebiasaan yang keluar secara otomatis. Yang jelas memang butuh waktu dan proses. Dengan demikian gagasan-gagasan dan emosi yang tersimpan di kepala dan hati bisa kita keluarkan dengan lebih baik, tanpa menimbulkan kesia-siaan bagi diri kita juga bagi orang lain.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kemurkaan Allah atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu perbuat.” (ash shaff : 2-3).
Wallahu a’lam
Kinan Nasanti
naniks_22@yahoo.com
Asalkan Ada Abang...
Publikasi: 27/02/2004 11:16 WIB
eramuslim - Hmmm… kupandangi Al Quran bersampul kuning keemasan itu. Warnanya tak pudar walaupun telah sepuluh tahun ia tinggal di rak buku ruang tamuku. Lembarannya tak cacat sedikitpun walau sering kubaca. Dan satu kali dalam satu tahun aku memandangi takjub maharku itu seperti ini...
Suamiku baru saja pulang kerja. Dia tampak lelah. Kusiapkan air hangat untuknya sore ini. Makanan dan minuman kesukaannya telah kuhidangkan di meja makan lebih awal. Sprei tempat tidur telah kuganti. Kordin telah kucuci dan kupasang lagi. Seluruh bagian rumah telah kubersihkan.
”Kok senyum aja sih dari tadi?” suamiku menegurku. Aku hanya bisa tertawa kecil. ”Nggak pa pa. Pingin sedekah aja. He he...”
Suamiku membalas seyumanku dan pergi mandi.
Saat ditutup, kuamati pintu kamar mandi itu... dan sekeliling rumah ini. Rumah kontrakan penuh kenangan. Sebentar lagi rumah ini akan menjadi milik kami karena pemilik sebenarnya akan pindah ke luar kota dan menjualnya pada kami. Suamiku pun bekerja lembur akhir-akhir ini untuk melunasinya.
Malam ini aku dan suamiku menikmati makan malam sebelum isya. Kebetulan anak-anak sedang liburan di rumah neneknya. Rumah jadi terasa sepi.
Terdengar suara motor berderu melewati rumah kami sekali waktu. Terdengar pula suara televisi tetangga sebelah rumah dan sesekali tawa mereka.
Dari seberang meja makan kupandangi suamiku itu. Baju koko telah dipakainya. Dia telah siap untuk berangkat ke masjid. Wajahnya tak berubah, masih seperti itu... kalem. Hanya jenggotnya saja yang kian lebat. Hmmm... dia masih dengan pendiriannya. Subhanallah...
Pulang suamiku dari masjid, aku baru saja selesai mencuci piring.
”Abang baru inget. Sepuluh tahun lalu abang nikahin kamu ya, dek? Pantes dari tadi seyum aja. Ngerayain yang kayak gitu2 nggak level kan, dek?! Nah, mendingan pijetin abang nih, abang capek banget hari ini.”
Ha ha ha... masih. Dari dulu emang manja bapak ini.
Tapi tidak saat dia datang ke rumahku sepuluh tahun lalu. Aku hanya bisa mendengar percakapan hangat itu dari balik pintu kamarku. Ayahku meragukannya. Yaaah, aku rasa adalah hal yang wajar bila setiap orang tua ingin anaknya hidup berkecukupan. Dan yaaah, memang untuk hidup di jaman sekarang, pekerjaan suamiku yang tidak tetap mungkin tidak bisa mencukupi hidup kami nanti. Maklumlah, baru lulus kuliah. Tapi suamiku percaya, insya Allah, Allah akan memudahkannya.
Sempat kututup telingaku saat suara ayahku mendominasi percakapan hari itu.
Aku hampir saja menangis. Aku tak mau ta’arufku sia-sia. Dan untuk tidak menjadi isteri seorang yang shalih seperti dia adalah suatu kerugian bagiku. Namun tak lama ibuku datang ke kamarku dengan terseyum dan menanyakan jawabanku. Rupanya aku menutup telingaku terlalu lama hingga aku tak menyadari bahwa saat itu suamiku tengah memberi pengertian pada ayahku dan akhirnya meyakinkan beliau.
Seminggu pertama aku dan suamiku tinggal di rumah orang tuaku. Karena rumah yang dikontrak suamiku baru bisa dipergunakan setelah seminggu itu, ya rumah ini. Selama seminggu itu dia sibuk sekali. Entah apa saja yang dikerjakannya. Dan setelah minggu itu berlalu, ada rasa khawatir di wajahnya saat ia mengatakan padaku, ”Dek, di rumah itu... nggak ada apa-apanya.”
Ia menatapku sendu.
Sebenarnya aku dan suamiku berasal dari keluarga yang cukup berada. Hanya saja mungkin itu masalah harga diri bagi kaum lelaki, aku juga tidak begitu mengerti.
Di tengah kekhawatirannya itu ku katakan padanya, ”Abang... asalkan ada ember biar adek bisa nyuciin baju abang, asal ada paku dan tali biar adek bisa ngejemur, asal ada api biar adek bisa masak buat abang, asal ada alas buat kita tidur, asal ada kain buat nutup jendela, asal ada sapu biar rumah kita tetap bersih, asal cukup air, asal bisa beli bayam dan tempe, dan selang sehari kita shaum... insya Allah, itu bukan masalah bagi adek.”
Ia tersenyum, masih dengan tatapan yang sendu itu. Hhh... aku jadi sedih. Sejak ta’aruf dulu, dia telah mengatakan segala kemungkinan hidup kita nanti. Dan aku telah menyatakan kesiapanku... insya Allah, aku sanggup menghadapi apapun... bersamanya...
Esok harinya kamipun pindah. Selama seminggu itu aku memang tak diizinkannya untuk melihat kontrakan itu. Dan saat aku sampai di sana... Subhanallah, ruang tamu mungil dengan perabotan terbuat dari rotan yang cukup untuk diduduki empat orang saja. Rak buku yang biasa kulihat di rumahku menjadi penghalang ruang tamu dengan ruang makan. Rak buku itu memang dibuatkan khusus oleh ayahku untukku. Beliau tahu hobiku membaca buku. Wah, pantas saja aku tak melihat rak itu di rumah akhir-akhir ini.
Aku melihat-lihat seluruh rumah itu. Ruang makan yang sederhana hanya tersedia dua bangku di situ dengan meja kecil yang cukup untuk makan kita berdua saja. Di kamar tidur ternyata telah ada sebuah tempat tidur, lemari baju dan meja hias. Di sebelah kamar itu ada ruang kosong, untuk kamar anak-anak kelak. Di dapur telah ada peralatan masak hadiah dari ibuku dan ibu mertuaku. Di bagian belakang rumah itu ada kamar mandi. Di luarnya telah ada sapu ijuk dan sapu lidi plus tempat sampah. Di tempat mencuci telah ada ember dan gayung.
Semua jendela telah berkordin.
Belum sempat aku mengomentari rumah itu, suamiku berkata, ”Dek, abang lupa beli tali sama paku buat jemuran.”
Hi hi hi. Aku tertawa cekikikan. ”Adek kira rumahnya bener-bener kosong nggak ada apa-apanya.”
”Yaaah... maksud abang gak ada apa-apanya dibandingin rumah adek.”
Hi hi hi... abang.
Dulu yang kupinta pada Allah adalah hanya seorang suami seperti abang, yang sholih, yang mau usaha, yang optimis, tawakal. Jadi di manapun kita tinggal, seperti apapun keadaanya, sekurang apapun fasilitasnya, asalkan
ada abang... hidupku udah lengkap.
Princess LL
(untuk pangeranku, datanglah pada ayahku dan jabatlah tangan beliau. Katakanlah dengan bangga ”Sir, your daughter is in a good hand, insya Allah.”)
wife_wannabe@eramuslim.com
Karena Nama adalah Harapan
Publikasi: 25/02/2004 09:27 WIB
eramuslim - Beberapa hari lalu saya menerima email dari seorang teman. Isinya tentang seorang ayah di Amerika yang memutuskan untuk menambahkan 2.0, kode yang biasa dipakai dalam produk software, di belakang nama anaknya yang baru lahir. Unik, menunjukkan bagaimana dunia komputer sudah semakin dalam memasuki kehidupan mereka.
Banyak cerita di balik proses kreatif orang tua memberi nama anaknya. Pemberian nama dengan kode software tadi hanya salah satunya. Orang tua lainnya mungkin punya cara sendiri untuk memberi nama anaknya. Ada yang bolak balik membuka buku berisi berbagai nama-nama indah, ada yang bertanya pada orang yang dianggap mengerti, ada yang memberi nama berdasarkan nama tokoh yang dikaguminya, bahkan ada juga yang memberi nama sesuai dengan kejadian alam yang terjadi ketika sang anak lahir.
Seorang yang saya kenal, menjelang kelahiran anaknya berniat membeli koran yang terbit dengan bonus pengumuman nama-nama peserta yang lulus UMPTN. Yang dilihat tentu saja bukan siapa yang masuk, karena seingat saya tidak ada anggota keluarganya yang mengikuti UMPTN ketika itu. Alasannya adalah, beliau ingin melihat nama-nama peserta yang masuk, siapa tahu ada nama yang cocok dan sesuai dengan kata hatinya.
Cara yang paling umum dilakukan berkait dengan pemberian nama adalah dengan menelusuri daftar nama-nama indah beserta artinya. Sumbernya bisa dari buku-buku atau dari situs di internet. Menarik juga menjelajahi dunia nama-nama anak ini. Banyak nama yang sebelumnya saya tidak tahu artinya, jadi lebih mengerti maknanya setelah melihat daftar itu.
Menurut salah seorang ulama, pemberian nama yang baik adalah salah satu kewajiban orang tua. Dan diantara nama-nama yang baik yang layak diberikan adalah nama Muhammad. Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Jabir ra dari Nabi saw beliau bersabda: namailah dengan namaku dan janganlah engkau menggunakan kunyahku.
Islam memandang ada keterkaitan antara sebuah nama dengan orang yang menyandang nama itu. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: Aslam semoga Allah menyelamatkannya dan Ghifar semoga Allah mengampuninya (H.R Bukhari dan Muslim). Ibnu Al Qoyim berkata, barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya.
Berkait dengan arti nama, seorang penyair Inggris berkata, apalah arti sebuah nama. Seorang teman pernah mengomentari ini dengan mengatakan, memangnya ada ya orang yang mau dipanggil ember? Komentar yang sederhana, tapi benar adanya. Umumnya orang akan merasa lebih nyaman bila dipanggil dengan panggilan yang baik.
Bagi para orang tua, tugas yang mereka emban tidak berhenti hingga memberi nama yang berarti baik saja. Tapi tugas selanjutnya yang juga perlu diperhatikan berkait dengan nama adalah mendidik anak-anak mereka sesuai dengan namanya. Jika tidak, bisa jadi nama yang disandangnya akan menjadi sumber ejekan teman-temannya. Seorang anak yang diberi nama yang berarti pemberani, misalnya, tentu akan lebih baik bila dididik supaya anaknya tidak menjadi cengeng dan penakut.
Hal yang perlu diperhatikan orang tua ketika memberi nama selain makna yang terkandung di dalamnya adalah kesesuaian nama dengan jenis kelamin anak. Adalah suatu hal yang tidak boleh dilakukan bila orang tua mengetahui bahwa nama tersebut adalah nama seorang wanita kemudian diberikan pada seorang laki-laki, atau sebaliknya. Hal ini terkait dengan tasyabbuh (menyerupai) laki-laki dengan wanita atau sebaliknya, karena Rasulullah telah melaknat orang yang berbuat seperti itu. Secara umum, pemberian nama sesuai jenis kelamin juga menghindarkan anak dari peluang diejek teman-temannya kelak dan mempermudah pendataan.
Memberi nama, bisa jadi sebuah proses yang sulit-sulit gampang bagi para orang tua. Nama adalah harapan orang tua. Sebuah harapan agar kelak anak-anaknya dapat mewujudkan apa-apa yang menjadi cita-cita mereka. Bagi orang tua yang saat ini sedang menanti kelahiran anaknya, dan sedang berusaha mencari nama terbaik untuk sang anak, mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk dan memberi kemudahan dalam proses menemukan nama terbaik.
afiati
ummuhafiz@eramuslim.com
Memahami Program Sekularisasi Partai Kristen
Salah satu program PDS, satu-satunya partai Kristen di Indonesia adalah adalah menjamin pemisahan negara dengan agama. Kampanye sekularisme atu misi gereja? baca di CAP Adian Husaini, MA ke-41

Harian The Jakarta Post, edisi 26 Januari 2004, memuat profil Partai Damai Sejahtera (PDS), satu-satunya partai Kristen di Indonesia yang lolos seleksi sebagai kontestan Pemilu 2004. Beberapa program partai ini diantaranya adalah: kebebasan beragama dan proteksi terhadap kebebasan tersebut (Freedom of religion and protection for that freedom) dan menjamin pemisahan antara negara dengan agama (to ensure separation of state and religion).

Mengapa sebuah Partai Kristen memperjuangkan pemisahan agama dengan negara (sekularisasi)? Inilah yang perlu kita telusuri. Apakah ajaran Kristen memang memerintahkan seperti itu?

Partai Damai Sejahtera (PDS) dipimpin oleh seorang pendeta Kristen fanatik bernama Ruyandi Hutasoit, yang oleh The Jakarta Post, disebutkan juga sebagai “president of the Doulos Foundation, focusing on social services.”

Koran ini tampak tidak terbuka sepenuhnya dalam menjelaskan tentang Doulos foundation, atau Yayasan Doulos. Yayasan Doulos ini jelas bukanlah sekedar yayasan sosial semata. Kaum Muslim di Indonesia sudah sangat mengenal Doulos, yang merupakan yayasan misi Kristen, dan mempunyai target mengkristenkan masyarakat Indonesia.

Perlu diingat, bahwa Komplek Kristen Doulos pernah diserang penduduk pada tanggal 16 Desember 1999, yang mengakibatkan komplek itu habis terbakar, seorang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Komplek Kristen itu telah bertahun-tahun diprotes umat Islam, karena melakukan aksi Kristenisasi (pemurtadan) terhadap umat Islam.

Pemda Jakarta Timur pun sudah memerintahkan agar Komplek itu ditutup. Yayasan Doulos yang berlokasi di Jalan Tugu No 3-4, Rt 04/04, Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur, sudah lama memicu kontroversi diantara warga setempat. Awal Oktober 1999, ratusan masyarakat setempat sudah membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada Walikota Jaktim Andi Mapaganthy, yang isinya berkeberatan dengan keberadaan yayasan tersebut.

Surat itu juga telah mendapat rekomendasi dari Muspika Kecamatan Cipayung Jaktim bernomor 231/1.75, tertanggal 11 Oktober 1999, yang isinya meminta agar kegiatan Yayasan Doulos segera ditutup.

Dalam sebuah pertemuan di Balai Kecamatan Cipayung yang dihadiri sekitar 500 umat Islam, telah disampaikan tuntutan tersebut kepada pihak kecamatan, Danramil, dan Kapolsek.

Yayasan Doulous oleh warga setempat dinilai telah melakukan proyek Kristenisasi terselubung, dengan berkedok pendirian RS Ketergantungan Obat, RS Jiwa, dan Sekolah Tinggi Theologia. Berdasarkan bukti-bukti aktivitas kristenisasi Yayasan Doluos tersebut dan keresahan warga setempat, maka Walikota Jaktim, melalui suratnya bernomor 3488/1.857.2, memerintahkan Yayasan Doulos untuk menghentikan kristenisasinya.

Juga, Yayasan ini dianggap melanggar surat keputusan Ditjen Bimas Kristen Protestan No 5 tahun 1993 tanggal 29 Januari 1993. Di dalam diktum keempat keputusan tersebut, dinyatakan bahwa Yayasan Doulos tidak dibenarkan menjalankan fungsi dan tugas sebagai gereja dan atau mengarah kepada pembentukan gereja. Aktivitas Doluos pun dinilai bertentangan dengan SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 tanggal 1 Agustus 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama.

Fakta tentang Yayasan Doulos in penting untuk dicatat, bahwa Doulos yang dipimpin oleh Ruyandi Hutasoit memang jelas-jelas merupakan kelompok misionaris Kristen. Adalah menarik, bahwa dalam partai PDS, misi Kristen itu dengan halus disembunyikan. Bahkan, partai ini ikut-ikutan mendukung gerakan pemisahan agama dengan negara.

Pemisahan agama dengan negara sebenarnya bertentangan dengan ajaran Kristen dan tidak dikehendaki oleh kaum Kristen yang taat beragama. Logisnya, setiap orang beragama, pasti bercita-cita menjadikan negaranya dikelola dan diatur sesuai dengan ajaran agamanya.

Dalam ceramahnya di Sekolah Tinggi Theologi Kristen Jakarta, pada tanggal 21 April 1970, Prof. Dr. Hamka, yang ketika itu menjadi ketua umum MUI, menyatakan, baik Islam maupun Kristen, harusnya tidak dapat mengkhayalkan negara yang terpisah dari agama, karena jika negara terpisah dari agama, hilanglah tempat dia ditegakkan.

Islam memandang bahwa negara adalah penyelenggara atau pelayan atau khadam dari manusia. Sedang manusia adalah kumpulan dari pribadi-pribadi. Maka tidaklah dapat tergambar dalam pemikiran bahwa seorang pribadi, karena telah bernegara, dia pun terpisah dengan sendirinya dengan agamanya.

Menurut Hamka, tidaklah mungkin orang yang benar-benar beragama menjadi sekuler, apa pun agamanya.

Dikatakan oleh Buya Hamka di hadapan para tokoh dan aktivis Kristen: "Payahlah memikirkan bahwa seorang yang memeluk suatu agama, sejak dia mengurus negara, agamanya itu musti disimpannya. Anggota DPR kalau pergi ke sidang, agamanya tidak boleh dibawa-bawa, musti ditinggalkannya di rumah. Kalau dia menjadi menteri, selama Sidang Kabinet, agamanya musti diparkirnya bersama mobilnya di luar. Dan kalau dia menjadi Kepala Negara haruslah jangan memperlihatkan diri sebagai Muslim atau Kristen selama berhadapan dengan umum. Simpan saja agama itu dalam hati. Nanti sampai di rumah baru dipakai kembali. Saya percaya bahwa cara yang demikian hanya akan terjadi pada orang-orang yang memang tidak beragama. Sebab memang tidak ada pada mereka agama yang akan disimpan dirumah itu, atau diparkir di luar selama Sidang Kabinet".

"Kalau dia seorang Muslim yang jujur atau seorang Kristen yang tulus, agama yang dipeluknya itulah yang akan mempengaruhi sikap hidupnya, di luar atau di dalam parlemen, di rumah atau di Sidang Kabinet, dalam hidup pribadi atau hidup bernegara. Dia akan berusaha melaksanakan segala tugasnya bernegara, menurut yang diridhai oleh Tuhan yang dia percayai. Dan dia akan menolong agamanya dengan kekuasaan yang diberikan negara kepadanya menurut kemungkinan-kemungkinan yang ada. Begitulah dia, kalau dia Islam. Begitulah dia, kalau dia Kristen."

Hamka berkesimpulan, seorang Kristen yang benar, tidaklah akan mau menerima gagasan, kalau dengan gagasan itu mereka diajak memisahkan kegiatan hidup dengan yang diajarkan oleh Isa Almasih.

Padahal, Almasih telah memerintahkan ummatnya untuk menegakkan Syariat Musa, dimana satu titik pun, satu noktah pun, tidak boleh diubah. Jadi ketiga agama langit, yaitu Islam dan Yahudi, dan Nasrani, sebenarnya merupakan agama aqidah dan syariat. Demikianlah pendapat Buya Hamka.

Di dalam Bible dikatakan: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu, siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekali pun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga." (Matius 5:17-19)

Memang, jika hukum Taurat diterapkan, kaum Kristen sekarang ini bisa kelabakan dan sulit “bernafas”.

Karena itu, misalnya, sejak lama mereka mengembangkan salah satu model interpretasi Bible, yang disebut model “interpretasi moral” dengan cara membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dalam Bible.

The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu.

Padahal, dalam Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi hutan, burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon.

“Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu.” (ayat 8).

Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk “Binatang yang haram dan yang tidak haram.” Dalam ayat 35 disebutkan: “Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu.”

Karena begitu beratnya hukum Taurat itulah, maka berbagai usaha dilakukan untuk meninggalkannya. Sebenarnya, sebagaimana disebutkan dalam catatan sebelumnya, sejak awal abad ke-20, kaum misionaris Kristen telah menjadikan sekularisasi sebagai musuh besar mereka.

Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, sekulerisme telah ditetapkan sebagai musuh besar dari Geraja Kristen dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). (Lihat buku The Theology of Mission and Evangelism, 1980).

Seorang aktivis Kristen dari Yabina Bandung, bernama Herlianto, menulis sebuah buku berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? yang dengan cukup jelas memaparkan kehancuran gereja-gereja di Eropa, gara-gara serbuan arus sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.

Sebagai contoh, di Amsterdam, yang 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen, sekarang tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada tahun 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atai imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur -- terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Di negara-negara Kristen Barat itu, nilai-nilai agama Kristen sudah hancur. Masyarakat sudah tidak peduli nilai-nilai Kristen. Pemimpin yang jelas-jelas melakukan kejahatan seksual seperti Bill Clinton tetap dipilih. Bahkan, hal-hal yang jelas-jelas ditentang oleh Kristen, seperti homoseksualitas dan aborsi, sudah menjadi tradisi. Semua itu adalah akibat arus sekularisasi dan liberalisasi.

Tentu kita bertanya, mengapa sebuah Partai Kristen (PDS) yang dipimpin pendeta misionaris fanatik begitu bersemangat memperjuangkan sekularisasi di sebuah negeri Muslim (Indonesia) dan berjuang keras agar negara dipisahkan dari agama?

Jawabnya tidak terlalu sulit ditebak, karena mereka tidak ingin bangsa Muslim ini menjadi bangsa yang taat kepada nilai-nilai Islam. Mereka ingin kaum Muslim hancur dan jauh dari nilai-nilai dan hukum agama Islam, sehingga mudah menjadi mangsa pemurtadan.

Mereka paham, bahwa sekularisme adalah senjata pemusnah massal yang ampuh untuk memusnahkan nilai-nilai agama, sebagaimana yang terjadi di wilayah Kristen.

Al-Quran menyebutkan: "Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup." (QS Al Baqarah:217).

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannam orang-orang kafir itu akan dikumpulkan." (QS Al Anfal:36).

Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka memberi penjelasan tentang ayat tersebut: "Perhatikanlah betapa di zaman sekarang, orang-orang menghambur-hamburkan uang berjuta-juta dolar tiap tahun, bahkan tiap bulan, untuk menghalang-halangi jalan Allah yang telah dipegang teguh oleh kaum Muslimin. Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam.

Diantara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya.

Demikian juga propaganda anti-agama, mencemohkan agama, dan menghapuskan kepercayaan sama sekali kepada adanya Allah, itupun dikerjakan pula oleh orang kafir dengan mengeluarkan belanja yang besar. Yang menjadi sasaran tiada lain daripada negeri-negeri Islam.” Demikian Hamka.

Karena itu, kita dapat memahami, jika sekularisme menjadi program partai misionaris Kristen di Indonesia, karena mereka memang berkepentingan untuk memuluskan misinya, melemahkan aqidah dan akhlak kaum Muslim. Tetapi, dapatkah kita memahami, jika ada umat atau tokoh politik atau tokoh Islam yang mengkampanyekan hal yang sama dengan kelompok misionaris Kristen itu? Wallahu a’lam. (KL, 28 Januari 2004).

Kuku, Gigi, dan Cinta Seorang Perempuan
Publikasi: 02/03/2004 09:41 WIB
eramuslim - “Cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi.”
Perumpamaan di atas terilhami melalui sebuah dialog dalam adegan film “Bulan Tertusuk Ilalang” karya Garin Nugroho. Betapa menakjubkan. Dan kalimat itu mengingatkan saya pada kenangan tentang sahabat saya dan mamanya ketika masa-masa SMP-SMU dulu.
Kala itu, nyaris setiap hari saya main ke rumahnya yang jauh di selatan kota. Saya tahu dia anak orang kaya. Papanya, pimpinan sebuah instansi pemerintah terkemuka di kota saya dan mamanya adalah ibu rumah tangga biasa. Saya tak heran mendapati barang-barang bagus dan bermerk di rumahnya yang masih dalam tahap renovasi. Sofa yang empuk, televisi yang besar. Saya hanya bisa berdecak kagum sekaligus iri.
Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa isi rumah itu makin kosong dari hari ke hari. Perabotan yang satu per satu lenyap dan televisi yang ‘mengkerut’ dari 29 inchi ke 14 inchi. Perubahan paling mencolok adalah wajah mama sahabat saya. Suatu saat ketika ia berbicara, tak sengaja saya dapati suatu kenyataan bahwa mama sahabat saya itu kini ompong! Kira-kira 2-3 gigi depannya hilang entah kemana.
Saya tak berani –lebih tepatnya tak tega – untuk bertanya. Saya juga tak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, sebuah suara, jauh di lubuk hati saya bergema : “Sesuatu yang buruk telah terjadi di rumah itu!”
Benarlah, tanpa diminta akhirnya sahabat saya datang berkunjung ke rumah saya. Setengah berbisik, ia bercerita bahwa papanya selingkuh dengan perempuan lain dan karenanya, nyaris tak pernah pulang ke rumah. Dan ini bukan main-main, perempuan itu hamil dan menuntut pertanggung jawaban papanya.
Dengan emosi ia bercerita bahwa papanya mengajaknya ke rumah perempuan itu dan meminta sahabat saya untuk memanggilnya dengan sebutan “Mama”. Sebuah permintaan menyakitkan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh sahabat saya. “Mamaku cuma satu” tangkisnya tegar saat itu. Dan misteri tentang gigi mamanya yang tiba-tiba ompong, barang-barang mewah dan perabot yang satu per satu menghilang dari rumahnya pun terkuak sudah. Semuanya adalah akibat ulah papanya jua.
Dan setengah frustasi ia mengadu pada saya bahwa ia harus menanggung semua beban berat itu sendirian karena kakak satu-satunya yang kuliah di luar kota tak peduli dan tak mau memikirkan masalah itu. Mamanya pun –yang lemah lembut— tak bisa berbuat banyak dengan kelakuan suaminya. Ia cuma bisa pasrah, gigi yang ompong itu buktinya. Dan saya? Hanya doa dan motivasi yang bisa saya berikan agar sahabat saya itu tabah dan tak putus berdoa.
Toh sekarang, setelah lama peristiwa itu berlalu, doa sahabat saya pun dijawab oleh Tuhan. Ketika itu menjelang kelulusan SMU, ia bercerita pada saya bahwa papanya sudah ‘sembuh’, bertobat, dan kembali ke pangkuan istri dan anak-anaknya. Nasib the other women itu entah bagaimana. Sampai di sini persoalan beres. Dan saya takjub mendengarnya, senang sekaligus heran.
Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai semudah itu? Nurani keadilan saya berontak. Saya tak habis pikir, betapa mudahnya mama sahabat saya itu memaafkan dan menerima kembali suaminya setelah semua yang dilakukannya. Lelaki itu tak cuma berkhianat, tapi juga menyakiti fisiknya, merontokkan gigi-gigi depannya, tak menafkahi anak-anaknya dan nyaris mengosongkan isi rumahnya. Dan ia memaafkannya begitu saja. Sebuah kenyataan yang ternyata banyak juga saya temui di masyarakat kita. Perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga yang bisa diselesaikan dengan mudah, hanya dengan kata maaf. Mungkin inilah yang disebut orang sebagai “CINTA”!
Papa sahabat saya adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, dan ketika ia meletus, laharnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja, melukai fisik dan terutama hati dan jiwa istri dan anak-anaknya.
Mama sahabat saya adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku. Memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tak peduli jika kuku itu dipotong, bahkan jika jari itu cantengan dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi.
Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang saya yakin tak cuma dimiliki oleh mama sahabat saya itu. Cinta yang terwujud dalam sebuah tindakan agung : “Memaafkan”. Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, butuh energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.

Fatma
ngangeni@yahoo.com
Keterikatan Hati Ini
Publikasi: 13/02/2004 09:26 WIB
eramuslim - Seorang hamba yang dhoif, merasakan cintanya yang amat sangat pada kekasih hatinya, belahan hatinya dan tempat ia berbagi rasa. Kekasih hati yang sangat ia cintai
Demikian besar cinta dan keterikatan hati tersebut, ia pelihara dan sirami karena cinta Allah semata. Berdua sudah demikian lama merasakan nikmatnya rasa sakinah mawaddah warahmah dalam sebuah biduk rumah tangga.
Sering kali mereka dipisahkan oleh jarak dan waktu dan berkali kali itu juga rasa kesepian rindu dan kangen yang wajar timbul dari hati manusia yang dhoif. Demikian besar arti satu sama lain sehingga ketiadaan yang satu membuat yang lain merasakan ada rongga dan lubang di dalam hati mereka, ada sesuatu yang hilang. Hati yang meronta dan menjerit karena rindu sang kekasih. Yang makin menyadarkan besarnya arti masing masing
Terhenyak sejenak dalam sebuah malam senyap dan sunyi, teringat sebuah paragraf di sebuah buku Memoar Hasan Al Banna yang mengisahkan kisah seorang syaikh bernama syaikh Syalbi
***
Sudah menjadi kebiasaan kami -- dalam rangka memperingati maulid nabi--setiap malam sejak tanggal 1 hingga 12 rabiul awwal secara berombongan dan bergiliran selalu mengunjungi rumah salah seorang ikhwan. Malam itu tibalah giliran rumah syaikh Syalbi ar rijal yang menjadi jadwal kunjungan.
Kami pun berangkat seperti biasanya setelah isya. Kami berangkat secara berombongan dengan penuh kegembiraan. Saya melihat rumah syaikh Syalbi sangat terang, bersih dan rapi. Dihidangkanlah serbat, kopi dan qirjah seperti biasanya. Kami duduk dan meminta nasehat nasehat syaikh syalbi.
Ketika kami hendak pergi, ia berkata dengan senyum yang lembut, "Datanglah kalian besok pagi pagi sekali agar kita bisa menguburkan Ruhiyah bersama sama." Ruhiyah adalah putri beliau satu satunya. Allah mengaruniakan Ruhiyah kepadanya kurang lebih setelah sebelas tahun dari usia pernikahannya. Ia sangat mencintainya sehingga hampir tidak pernah meninggalkannya sekalipun sedang sibuk bekerja. Ruhiyah kemudian tumbuh menjadi seorang gadis. Ia menamainya Ruhiyah karena putrinya ini menempati kedudukan 'ruh' pada dirinya. Tentu kami terperanjat," Kapan ia meninggal?" tanya kami spontan. "Tadi menjelang magrib." jawabnya tenang.
"Kenapa syaikh tidak memberitahukan kami semenjak tadi, sehingga kami dapat mengajak kawan yang lain untuk kemari bersama sama?
Ia menjawab, "Apa yang telah terjadi meringakan kesedihanku. Pemakaman telah berubah menjadi peristiwa yang membahagiakan. Apakah kalian masih menginginkan nikmat Allah yang lebih besar lagi daripada nikmat ini?" Pembicaraan akhirnya berubah menjadi seperti pelajaran tasawuf yang disampaikan oleh syaikh Syalbi.
Beliau mengemukakan bahwa kematian putrinya itu adalah kecemburuan Allah kepada hatinya. Memang sesungguhnya. Allah merasa cemburu kepada para hambaNya yang sholih apabila sampai terikat dengan selainNya atau apabila ia berpaling kepada selainNya. Beliau mengambil buku dalil dengan kisah Ibrahim AS. Hati Ibrahim terikat dengan Ismail, sehingga akhirnya Allah SWT memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Ismail.
Ketika hati Nabi Ya'qub terikat dengan Yusuf Alalh swt pun membuat Yusuf hilang dari sisinya sekian tahun. Oleh karena itu jangan sampai hati seorang hamba itu terikat dengan selain Allah swt. Kalau tidak demikian maka sebenarnya ia adalah pendusta dalam hal pengakuan kecintaannya......[dikutip dari Memoar Hasan Al Banna, halaman 80-81]

****
Keterikatan...yah keterikatan hati ini.
Ya Allah sudahkah kutempatkan ia pada tempatnya yang semestinya??
Engkaulah yang menguasai hati hati ini ya Allah.
Tempatkanlah dia pada tempat yang semestinya.
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah esenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)."
ani_soekarno@yahoo.com
Tsukuba, 21 November 2002
catatan kecil yang tercecer
tuk suamiku tercinta semoga Allah mengikat hati kita dengan cintaNya
Apa Bedanya Nyamuk Dengan Kita?
eramuslim - Dua malam yang lalu, seperti biasa aku duduk didepan meja bundarku. Aku ditemani pena yang menggelayut erat dalam lipatan jariku berpikir mengumpulkan hal-hal baru yang menarik dan dapat kurangkai dalam kata-kata. Ya, itulah kebiasaanku, menulis di tengah heningnya malam dan kegelapannya. Sebuah kebiasaan yang telah dipahami dengan sendirinya oleh para rekan dan keluargaku.
Belum lama aku tenggelam dalam perenunganku, dan belum sebuah masalah pun yang tergambar dalam otakku. Tiba-tiba sebuah sengatan tajam menusuk kulit telingaku, lalu pindah ketanganku.... Pikiranku buyar.. tapi ternyata kebuyaran itu membentuk sebuah hal baru yang muncul dalam pikiranku.
Seekor nyamuk telah menggangguku. Aku berusaha menepuknya, tapi sayapnya lebih cepat membawa lari mungil tubuhnya. Aku mencoba buka jendela, dan dengan cara itu ada gerombolan nyamuk lain yang langsung menerjang masuk. Kuhantam mereka dengan satu kibasan.... Luar biasa ternyata mereka mampu menghindar dengan berpencar.... Sungguh baru kali ini aku melihat ada sebuah umat yang dengan jalan berpencar dan berbeda arah malah mampu menyelamatkan kehidupannya. Mereka adalah nyamuk-nyamuk yang pandai.
Kalau begitu alangkah lemahnya manusia, yang selalu merasa paling pandai dan merasa paling kuat, bahkan merasa selalu ingin menguasai dunia ini dengan kekuatan... Padahal mereka kadang malah tertipu dengan keangkuhannya, merasa kuat, tapi untuk membunuh serangga kecil itu dengan satu kibasan saja kadang tak mampu...
Kalau manusia mau berpikir, bahwa antara manusia yang berakal, hewan yang berinsting, tumbuhan yang berkembang, ataupun benda mati yang diam semuanya tak akan ada kekuatan apapun kecuali berkat karunia ilahiyah semata. Tapi itulah yang kerap dilupakan.
Aku menemukan beberapa kesamaan antara nyamuk dan manusia.
Pertama, nyamuk mencari jalan hidupnya dengan mengisap darah, namun terkadang ia berlebihan dalam isapannya sehingga kecil badannya tak mampu menampung semua hasilnya tadi. Begitupun ia terus mengisap tak mau berhenti, hingga akhirnya perutnya kembung dan hampir pecah dengan sendirinya... Sungguh ia mencari hidup melalui jalan kematian, dan mencari jalan keselamatan namun disarang bahaya.
Kalau lah boleh kita qiyaskan maka ia tak jauh beda dengan orang serakah dan pecandu narkoba, pada isapan dan hirupan pertamanya ia merasa melihat surga dan kebahagiaan, sehingga ia tertuntut untuk kedua, dan ketiga kalinya bahkan seterusnya... Hingga menjadi sebuah kedahagaan tersendiri jika ia tak mengulanginya. Sementara ia tidak menyadari bahwa kefanaan telah mengintai dirinya dengan taring-taring yang menyeringai.
Kedua, nyamuk adalah mahluk yang tak mempunyai siasat mencari hidup yang baik. Hal itu dapat kita lihat saat ia hinggap pada tubuh manusia, ia tak hinggap kecuali dengan membawa dengungan suara yang yang menandakan akan kedatangannya. Akhirnya secara otomatis tubuh yang ia hinggapi tadi akan sgera menampiknya dan menggagalkan usahanya.
Toh kalau boleh kita kiyaskan maka ia tak lebih bagaikan seorang politikus yang bodoh, yang banyak ngoceh sana-sini, dan mengumbar statement tanpa karuan yang akhirnya statemen-statemen itu malah menghancurkanya, dan membuat musuh dapat berbuat sekehendak hati padanya, bahkan menyerangnya dengan serangan balik yang tidak ia sadari...
Ketiga, nyamuk yang dengan keringanan tubuhnya mampu hinggap di tubuh manusia dengan hampir tak terasa sedikitpun. Tapi sengatan dan gigitan yang ditimbulkan olehnya betul-betul perih dan menyakitkan. Ini bisa dianalogikan seperti seorang yang dengan segala senyum manisnya berusaha untuk memikiat hati orang lain, hingga saking indah dan mesranya senyum itu, kita tak mempunyai sedikit prsangka buruk kepadanya. Tapi ternyata dibalik senyum nan indah dan bersahaja itu tersimpan sejuta tujuan nan jahat bahkan sanggup mengahancurkan dan "menyengat" kita jika maksud dan tujuannnya telah tercapai.

Diterjemahkan dari Kitab AN-NAZARAT Oleh Musthofa Luthfi el Manfaluthi.
vhemy@yahoo.com
Sepucuk Surat dari Sahabat Dakwah FSLDK (We Miss U)
Publikasi: 19/02/2004 09:42 WIB
eramuslim - Hujan semakin deras mengguyur Depok. Jaket hijauku kurapatkan ke tubuh. Masjid Ukhuwwah UI cukup sepi, hanya beberapa orang ikhwan terlihat asyik menekuri mushaf Al-Quran di lantai bawah. Aku tidak mungkin balik ke Surabaya hari ini, karena besok masih ada bahan proposal yang harus aku cari di perpustakaan. Alhamdulillah, ada adik ikhwan teman seperjuangan FSLDKN XII yang akan menjemput.
Sekedar mengusir sepi, kuayun langkah ke arah mading. ‘Info FSLDK’, tulisan itu segera menyita perhatianku. FSLDK kembali mengadakan aksi serentak penolakan terhadap pelarangan jilbab di sekolah negeri oleh pemerintah Perancis. Targetnya Kedubes Perancis untuk Indonesia ‘di-PHK’. Wonderfull! Ghirahku menggelora. Aku ingat semua kenangan setahun lalu, suka duka FSLDKN XII.
“Afwan Mas, ana telat”. Suara seorang ikhwan mengagetkanku. Beriringan kami menuju mobil di depan gerbang mesjid. Di sepanjang jalan, Ahmad dengan sedih bercerita tentang kondisi tim FSLDK sekarang yang kurang semangat, kurang solid dan sederet kondisi lainnya. “Untuk mengkoordinir aksi jilbab Perancis itu saja sulit”, katanya.
Rona sedih mulai membayang di wajahku. Teringat betapa ikhwah-ikhwah sebelumnya yang penuh ghirah mengemban amanah ini. Aku ingat, waktu itu juga kami sempat mengalami ‘kelemahan ghirah’, sampai seorang ukhti mempersembahkan sebuah rangkaian kata mutiara yang tersusun indah, sebuah taushiyah. Seorang ukhti yang selalu mengusung amanah dakwah dengan penuh ghiroh jihad, walaupun kanker tengah menggerogoti tubuhnya. Semoga Allah merahmatimu di FirdausNya, ukhti fillah!
Untuk antum yang sedang mengemban amanah di Lembaga Dakwah Kampus –bersama Forum Silaturrahminya- serta antum yang mengemban amanah di wajihah mana pun, kubuka kembali copy surat taushiyah yang masih kusimpan indah sampai hari ini. Semoga untaian hikmahnya menyalakan kembali ghiroh juang kita, di wajihah mana pun kita.
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Subhanallah, nahmaduhu wa nastaghfiruhu, Ash-sholatu wassalamu ‘ala rasuluhu, Muhammad SAW.
Ana awali tulisan ini dengan merangkai basmalah dan istighfar, semoga Allah menjaga untaian kata ini dari berbagai fitnah, dan menjadikannya semata untuk perbaikan dakwah. Sebab, pada Allah lah semuanya bermuara. Nur-Nya lah yang akan mampu menunjuki kita pada perbaikan kualitas dalam mengemban amanah mewarisi misi para Nabi ini, Insya Allah.
Bersama bait-bait nada ‘La Tas-aluni’ dari klub nasyid Tarbiyah, ana menekan tuts-tuts keyboard, mengajak kita semua merenungi kembali dan bertanya kembali tentang kehidupan kita ini. “La tas-aluni ‘an hayati, fahia asrorul hayat …” (Jangan kalian tanya tentang hidupku. Ia adalah kehidupan yang penuh misteri... )
Kesempurnaan adalah sebuah hal yang mustahil kita raih, dalam kapasitas apa pun. Namun, cukup lah ke-Maha Sempurna-an Allah menjadi motivasi bagi kita untuk terus meningkatkan kualitas amal kita. Karena, kita bergantung kepada zat yang Maha Sempurna, akan kah kita ‘merasa nyaman’ dengan berbagai kekerdilan diri kita tanpa upaya perbaikan yang kontinyu?
Ikhwah,
FSLDK adalah sebuah amanah besar yang ada di pundak kita saat ini, dan di sekeliling kita, begitu banyak ikhwah yang setia menanti karya-karya besar kita untuk akselarasi dan sinergisasi gerak dakwah lewat wajihah Lembaga Dakwah Kampus ini. Perjalanan amanah ini menuntut profesionalisme kerja dari kita semua. Amanah yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Ikhwah,
Adalah layak untuk kita mengevaluasi perjalanan amanah kita sampai hari ini. Sudah optimalkah kita menjalankan amanah kita? Puluhan juta, bahkan ratusan juta dana yang kita habiskan tiap dwitahunan dalam washilah FSLDK, adakah itu sebanding dengan manfaat yang kita peroleh dalam penataan LDK se-Indonesia? Mari membuat daftar pertanyaan sebanyaknya!
Ikhwah,
Kalau jawabnya kita belum optimal, apa penyebabnya? Apakah pemahaman kita tentang washilah ini yang kurang, kemampuan kita kah yang terbatas, atau –naudzu billah- ruh dakwah kita kah yang mulai hambar? Kalau jawabnya tidak sebanding, apa yang harus kita lakukan? Manajemen kita kah yang harus diperbaiki, atau memang washilah ini kurang tepat guna?
Mari cari jawaban dari tiap pertanyaan itu!
Ikhwah,
Ana –dan ana yakin antum juga- punya sebuah ‘mimpi indah’. Mimpi yang membuat ana sedih, ketika di pagi hari ana dihadapkan pada kenyataan bahwa ana harus membuka jendela kamar. Kesedihan yang kemudian ana sadari semestinya menjadi bahan bakar ruh jihad dan nafas harokah islamiyyah. Antum tau, ketika itu aroma yang tertangkap oleh indera pembau adalah aroma kering … aroma kelelahan zaman menanti hadirnya sosok-sosok mujahid dakwah yang mengusung SEMANGAT BARU, menapaki jejak-jejak pemuda Ash-Habul Kahfi mencari ridho Ilahi.
‘Kegelisan zaman itu seakan berbisik lewat angin yang berhembus perlahan, bersama mentari yang mengintip malu di balik awan. Dia bergumam: kapan kah gerangan para warotsatul anbiya’ itu berteriak lantang untuk menebar semerbak harum syariat Islam di bumi ini?
SEMANGAT BARU JEJAK PEMUDA ASH-HABUL KAHFI MENCARI RIDHO ILAHI …………………….
Mimpi itu ikhwah, ana yakin bukan lah cerita negeri dongeng, atau lakon kartun yang utopi. Mimpi itu hanyalah sebuah harapan sederhana, yang berkisah tentang dakwah yang semerbak, bak bunga-bunga mekar di taman firdaus.
Bayangkan ……………..
Suatu hari antum terbangun di sepertiga akhir malam, sekitar jam 3 WIB. Setelah memanjatkan doa, antum bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Air wudhu mengaliri anggota tubuhnya meninggalkan kesejukan yang lembut. Lalu pakaian sholat yang harum mulai antum rapikan di tubuh yang ringkih ini. Sesaat sebelum lafaz niat qiyamullail antum lantunkan, indera pendengar antum menangkap sayup-sayup suara tangis yang syahdu menyayat hati. Subhanallah, suara itu milik tetangga sebelah kanan rumah yang sedang qiyamul lail juga. Bukan suara tangis menahan malu karena aib yang tercoreng akibat pergaulan anak gadisnya, bukan pula korupsi yang dilakukan sang ayah atau sejenisnya. Antum pun tertegun sesaat, sembari menggeser posisi sajadah yang mulai ‘kumal’ di ujungnya, pertanda sering dipakai sujud.
Tarikan nafas perlahan berusaha menghadirkan segenap molekul tubuh, dalam ‘perjalanan cinta’ yang akan antum lakukan, menemui zat yang antum akui sebagai Ilah, zat yang padaNya, semua harap dan cinta bermuara. “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu, hal adullukum ‘alaa tijaarotin tunjiikum min ‘adzabin aliim? Tu’minuuna billaahi wa rosuulihii wa tujaahiduuna fi sabiilillah …” lamat-lamat lantunan kalam ilahi itu kembali menyita perhatian antum. Suara itu mengalun syahdu diiringi sesekali isak tangis, seirama dengan tiap kata yang terucap. Pemiliknya tak lain adalah pemuda tetangga sebelah kiri rumah antum.
Perniagaan yang menguntungkan … Rabb … indah nian ni’matMu pada kami yang hina ini. Takbiratul ihram pun antum lantunkan penuh kasyahdua., Kesyahduan yang membawa rindu membuncah, bertemu dengan Rabb sekalian alam.
Suara adzan di masjid mengakhiri untaian do’a panjang antum. Sebuah doa yang berisi pengaduan akan begitu banyak kelemahan dan kesalahan diri, dalam mengemban amanah menjadi khalifah Allah di bumi, amanah yang sebelumnya ditolak oleh seluruh langit dan bumi. Do’a itu berharap pula akan pertolongan Allah untuk para mujahidun di berbagai belahan bumi. Mereka … para pahlawan sejati yang telah menukar Ridha Allah dengan harta, tenaga, dan jiwa mereka.
Mereka … para petarung yang tak pernah surut walau selangkah, dan tak pernah henti walau sejenak. Mereka yang dengan lantang selalu meneriakkan: ALLAHU AKBAR!!! Dalam tiap ritme perjuangannya.
Hampir saja antum tidak mendapat tempat dalam barisan jamaah shalat shubuh, karena antum tiba terlambat, tepat saat muadzzin membaca iqomat. Seluruh jamaah berdiri dalam shaf yang rapi. Pakaian rapi melengkapi wajah-wajah teduh yang selalu terbasuh air wudhu itu. Allah … serasa shalat bersama jamaah para shahabat, degan Rasulullah SAW menjadi sang imam. Kerinduan akan jannhNya semakin membuncah.
Jam menunjukkan pukul tujuh ketika antum membaca doa keluar rumah, dan mengawali langkah dengan kaki kanan. Antum akan menuju kampus hari ini. Di halte, bus kampus berhenti ‘menjemput’ antum. Dengan riang antum menyapa pak sopir lewat salam : “assalamu’alaikum pak, shobahal khoir …”. Tentu antum tak perlu berkelit kesana kemari menghindari bersentuhan dengan non-mahrom, karena bus hanya terisi kaum sejenis dengan antum; Tak Ada Ikhtilath!
Sampai di kampus, antum menikmati kuliah dengan tenang, tanpa harus khawatir akan terkena zina mata, zina hati de-el-el, karena semuanya berjalan dalam sebuah sistem qurani. Setiap bahasan akan mampu meningkatkan ruhiyah antum. Satu lagi … semua fasilitas dapat antum nikmati GRATIS!, karena zakat, infak dan shadaqah kaum muslimin lebih dari cukup untuk membiayai semuanya. SUBHANALLAH ….!!!
Innamal Mu’minuuna ikhwah … Hari itu antum lalui dengan aktivitas yang membangun ‘kesalihan pribadi dan ummat’. Antum saksikan pula bagaimana Allah memenangkan hambaNya lewat ukhuuwwah yang terangkai indah. ISLAM ADALAH RAHMATAN LIL ‘ALAMIN.
Sekarang … buka lah mata antum, lihat lah kembali realita! Ternyata, kita belum dalam dunia indah tadi! Kita masih di sini! Di Sumatera, di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua … yang masih menanti perjuangan para mujahid. Kita masih berjuang di sini! Di FKI Rabbani, Salam, JN UKMI, JMMI, Pusdima, Sentra Kerohanian Islam, UKM Birohmah, dan lainnya. Berjuang lewat wajihah LDK tuk sebuah tujuan mulia: TEGAKNYA IZZAH ISLAM WAL MUSLIMUN!
Dan … perjalanan perjuangan itu ikhwah. Masih jauh … hampir tak bertemu ujung. Penuh aral nan melintang, penuh onak dan duri. Karena Langkah ini adalah langkah-langkah abadi,
Menapak tegak laju tanpa henti. Tak pernah rasa rugi menapak jalan ini, Syurga Allah menanti
Sekali lagi ikhwah, kita masih di sini! Di jalan dakwah ini! Kita di sini untuk berjuang! Setia mengusung cita: HIDUP MULIA ATAU SYAHID MENGGAPAI SYURGA!
Karena itu ikhwah … Mari berkarya, dengan yang terbaik yang kita punya tentunya. Jangan pernah malas dan jemu berkorban untuk perniagaan ini! Berjuanglah ikhwah! Dan teruslah berjuang! Sampai Allah, RasulNya dan orang-orang mukmin menjadi saksi akan perjuangan itu. AllahuAkbar!!!
syahidah01@plasa.com
Antum = Kalian.
Ana=Saya.
Izzah=Kemuliaan.
Ikhwan=Saudara Muslim Laki-laki.
Akhwat=Saudara Muslimah Perempuan.
Ikhwah=Teman-teman.
Akhi=Saudaraku (untuk laki-laki).
Ukhti=Saudaraku (untuk perempuan).
Afwan=Maaf.
Taushiyah=Nasihat.
Ghiroh=Semangat.
Wasilah=Sarana.
Wajihah=Organisasi.